Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yasman Hadi, 55 tahun, merasa sudah bekerja dengan baik sebagai anggota Dewan Pengawas Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas). Maka, ketika bosnya, yakni Menteri Negara BUMN Sugiharto, memecat dia, Yasman menolak tunduk. ”Pemberhentian itu tidak sesuai dengan prosedur. Saya tidak terima,” ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Yasman lalu memilih pengadilan tata usaha negara sebagai arenanya mengadu. Apalagi dia juga mengendus ada ”bau kepentingan politis” di balik pemberhentiannya itu. Maka, Yasman pun meminta pengadilan membatalkan pemecatan tersebut dan memulihkan hak-haknya.
Alkisah, pada Mei 2006, Menteri Negara BUMN meneken surat pemberhentian dengan hormat terhadap dua anggota Dewan Pengawas Perum Perumnas, yaitu Djoko Kirmanto dan Yasman Hadi.
Bagi Djoko, hal itu tak menjadi masalah. Soalnya, dia sudah lama mengirim surat pengunduran diri sebagai Ketua Dewan Pengawas. Saat itu dia menjabat Menteri Pekerjaan Umum, sehingga khawatir akan terjadi konflik kepentingan.
Akan halnya dengan Yasman, urusannya jadi panjang. Bukan karena ia tak menjabat menteri, Yasman menilai alasan pemecatan itu tak jelas. Pertama, dia tidak pernah minta pengunduran diri. Kedua, jika pemecatan itu dikaitkan dengan kinerjanya, ia tak pernah mendapat teguran lisan atau tertulis. Lagi pula, bunyi frasa ”diberhentikan dengan hormat” menunjukkan kinerjanya tidak buruk. ”Jadi, apa alasan pemberhentian saya?” ia bertanya.
Yasman memang punya pegangan. Ia menunjuk penjelasan Pasal 58 Undang-Undang tentang BUMN. Di sana ada sembilan kriteria untuk memberhentikan Dewan Pengawas sebelum masa kerja berakhir. Kriteria itu adalah ”tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah disepakati dalam kontrak manajemen, tidak dapat menjalankan tugas dengan baik, melanggar anggaran dasar dan atau peraturan perundang-undangan, dan dinyatakan bersalah dengan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Selain itu, kriteria lain adalah ”jika anggota dewan tidak melaksanakan tugas dengan baik, tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan, terlibat dalam tindakan yang merugikan perusahaan, meninggal dunia, dan mengundurkan diri”. Nyatanya, tak sebiji pun kriteria itu terpenuhi dalam surat pemecatan.
Masih ada peluru lain yang ditembakkan Yasman. Kata dia, pemberhentian itu bertentangan dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek good corporate governance pada BUMN. Pada ayat 2 pasal 10 yang mengatur komposisi Dewan Pengawas, tertera bahwa paling sedikit 20 persen anggota komisaris/dewan pengawas harus berasal dari kalangan di luar BUMN (independen).
Nah, Yasman adalah satu-satunya anggota Dewan Pengawas dari unsur independen. Ia diangkat oleh Laksamana Sukardi, yang kala itu menjabat Menteri Negara BUMN. Dengan pemberhentian dirinya, praktis tak ada lagi anggota Dewan Pengawas dari unsur independen. Artinya, semuanya dari unsur birokrat.
Tak bisa lain, Yasman menduga alasan utama pemecatan adalah sikap kritisnya selama ini. Dia menyatakan sudah lama mencium ketidakberesan di tubuh Perumnas. Untuk itu, ia mengaku aktif melaporkan berbagai kasus kepada atasannya di Kementerian BUMN. Bersama jajaran Dewan Pengawas lainnya, dia juga baru saja merampungkan la-poran evaluasi terhadap kinerja direksi Perumnas tahun 2005-2006.
Substansi laporan itu, kata Agoes Widjanarko, anggota Dewan Pengawas Perumnas lainnya, adalah merosotnya kinerja jajaran direksi. Dugaan sejumlah penyimpangan anggaran juga disebut dalam laporan itu. Namun tak ada respons dari Menteri Sugiharto.
Uniknya, laporan evaluasi Muchayat, seorang deputi bidang usaha di Kementerian BUMN, juga menyimpulkan hal serupa. ”Sudah kami serahkan ke Menteri, tinggal menunggu respons dari atas,” ujarnya kepada karyawan Perumnas, dalam satu pertemuan pada Selasa sore pekan lalu.
Tetapi semua tudingan itu ditampik Said Didu, Sekretaris Menteri BUMN. Kata Didu, sikap kritis Yasman bukan pertimbangan utama untuk memecatnya. Begitu pula jika ada dugaan bahwa Kementerian BUMN sedang membersihkan orang-orang Laksamana Sukardi. ”Tidak ada itu,” ujar Didu kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Didu menegaskan bahwa Kementerian BUMN ingin membenahi Perumnas, sehingga orang-orang yang masuk harus profesional. Sementara itu, karena Perumnas sebuah perusahaan umum, anggota Dewan Pengawas haruslah mewakili departemen terkait. ”Dewan pengawas independen tidak dikenal,” katanya. ”Saya tidak tahu kenapa Yasman (dulu) bisa masuk.”
Tetapi polemik itu kini hanya jadi ”kembang” pertikaian kedua belah pihak, karena arenanya sudah berpindah ke ruang hakim. Dalam sidang pada pertengahan Januari silam, tim pengacara Menteri Negara BUMN berpendapat bahwa Yasman mestinya tak perlu mempertanyakan alasan pemecatan dirinya. ”Karena itu merupakan penilaian subyektif Menteri,” ujar tim pengacara Menteri, yang beranggotakan Purwanto, Manuntut Simanjuntak, dan Eko Setiawan.
Menurut mereka, tak ada aturan yang dilanggar Menteri Sugiharto. Memang, pengacara mengakui ada keputusan Menteri BUMN tentang komposisi dewan pengawas independen. ”Namun tidak berarti harus mempertahankan Yasman.”
Lagi pula, Kementerian BUMN sedang menyusun revisi keputusan tersebut. Revisi itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.
Senada dengan Didu, tim pengacara menegaskan, untuk menyukseskan program Perumnas, ada beberapa instansi yang amat terkait dengan kerja lembaga tersebut. Sehingga, anggota-anggota Dewan Pengawas Perumnas mesti terdiri dari instansi itu. ”Sedangkan penggugat (Yasman) merupakan unsur independen yang diangkat oleh Laksamana Sukardi (Menteri Negara BUMN terdahulu) sebagai Ketua Ikatan Alumni ITB,” ujar tim pengacara.
Bagi Muji Kartika Rahayu, pengacara Yasman, soalnya adalah tidak adanya kesempatan membela diri bagi kliennya sebelum dipecat. Pemberhentian dengan hormat, kata dia, hanya penyiasatan hukum. ”Siapa pun yang diperlakukan seperti itu niscaya akan tercemar nama baiknya,” ujar Muji.
Jika urusannya soal nama baik, tampaknya keputusan Yusman maju ke pengadilan adalah pilihan terbaik. Cara ini bahkan didukung Said Didu. ”Pengadilan tempat penyelesaian yang paling bagus,” tuturnya. Jadi, klop!
Maria Hasugian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo