Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Seperti Prabu yang Dipenjara Musuhnya

Politikus yang ditahan dalam kasus cek pelawat tabah menghadapi nasib. Ada yang rajin olahraga, ada yang menatap langit-langit.

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelan-pelan Agus Condro Prayitno menyeruput tehnya yang masih mengepul. Teh tanpa gula itu menguar melewati kumis lebatnya yang mulai memutih. Bola matanya bergulir ke atas, ke arah langit-langit, begitu gelas plastik lepas dari bibirnya. ”Saya ada penyakit gula,” kata lelaki 50 tahun itu, lirih.

Diabetes pula yang membuat tubuhnya lebih ramping ketimbang saat ia masih duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Baju polo biru gerau dengan celana katun warna serupa tampak gombrong membalut tubuhnya. ”Bukan penjara ini yang tiba-tiba bikin saya kurus,” ujarnya.

Sejak mengidap penyakit gula, ia menghindari asupan glukosa berlebihan. Itulah kenapa ia selalu menyisakan banyak nasi tiap kali pesan makanan di kantin penjara. ”Rp 15 ribu nasinya segini,” tangan kirinya seolah memegang piring, tangan kanan memperagakan gunungan.

Rabu pekan lalu adalah hari kelima ia menghuni rumah tahanan Polda Metro Jaya. Komisi Pemberantasan Korupsi memisahkannya dari para tersangka lain kasus cek pelawat, yang juga ditahan pada Jumat sepekan sebelumnya. Cuma Agus seorang yang dititipkan di penjara Polda.

Agus tinggal sendiri di sel seluas 3,5 x 10 meter. Tak ada tahanan lain. Ada lima dipan di kamar 11B blok khusus tahanan titipan itu. Dipan paling pinggir, yang lebih dekat ke pintu, ia hampari kasur lipat pemberian seorang sahabat yang membesuknya. Baju berserakan di dipan lain. Sebagian masih tersimpan di tas. ”Mirip kamar anak kos,” katanya.

Kendati tanpa kipas angin atau penyejuk udara, kamarnya tak terasa pengap. Udara dari luar menerobos ke dalam lewat tingkap di dinding belakang dan depan sel. Jendela dengan tinggi setengah meter dan lebar 3,5 meter itu tanpa kaca, hanya dihalangi jeruji besi. Lewat tingkap itu pula cahaya matahari masuk.

Siang hari ia biasanya keluar dari sel. Bila tak menonton televisi, ia berkeliling rumah tahanan. Pagi hari ia pergi ke lapangan bulu tangkis, menyaksikan sejumlah tahanan berolahraga. Ia sendiri tak tertarik. Kala lain, ia mengobrol dengan tahanan lain, termasuk dengan Komisaris Arafat Enanie, yang menghuni sel nomor 13 di blok yang sama. ”Kami tetanggaan,” ujar Agus.

Arafat tak ada di tempat pada Rabu prkan lalu. Ia dijemput Propam Mabes Polri untuk menjalani sidang kode etik. Malam sebelumnya, Arafat dan Agus mengobrol hingga larut sambil menonton sinetron.

l l l

Semua bermula dari kasus yang ia bongkar sendiri. Pada Agustus 2008, Agus mendatangi KPK dan melaporkan bau bacin di seputar pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom pada 2004. Kepada penyidik, ia mengaku telah menerima 10 lembar cek pelawat senilai Rp 500 juta, imbalan memilih Miranda. ”Saya dihantui perasaan bersalah,” ujarnya.

Agus menepis isu bahwa kasus itu ia bongkar lantaran sakit hati setelah istrinya, Ellya Nuraeni, ditolak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk maju jadi calon bupati di kampung halamannya di Batang, Jawa Tengah. Jauh sebelum itu, sejak 2005-2006, ia mengaku sudah ingin melaporkan kasus ini. ”Tapi enggak enak sama teman-teman,” kata kader Partai Banteng Bulat ini.

Keteguhannya muncul tatkala ia diperiksa penyidik KPK sebagai saksi untuk Hamka Yandhu dalam perkara aliran dana Bank Indonesia beberapa minggu sebelumnya. Tak ia duga sendiri, kepada penyidik ia bercerita tentang uang yang diterimanya pada saat pemilihan Miranda. Penyidik tersebut lantas menyarankannya untuk mengadukan kasus cek pelawat secara terpisah.

Pengakuannya tidak saja menggegerkan partainya tapi juga parlemen. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang menelusuri pencairan cek serupa menemukan 480 cek mengalir ke sedikitnya 30 anggota Dewan periode 1999-2004. Dianggap mencoreng partai, Agus lantas dipecat dari Dewan. Koleganya di PDI Perjuangan menjauhinya, terutama mereka yang terseret ke pusaran kasus ini.

l l l

Di Rumah Tahanan Salemba, Panda Nababan tetap berolahraga sebagaimana aktivitasnya di luar penjara. Bersandal jepit dengan setelan celana pendek dan kaus oblong, selama 30 menit ia lari pagi di luar selnya. Dibanding Max Moein, tetangga selnya, Panda paling tidak canggung beraktivitas di penjara. ”Bapak tabah dan tegar,” kata Putra Nababan, anak kedua Panda, Jumat lalu.

Belakangan, Panda lebih sering terlihat di selnya. Ia khusyuk memegang pena dan mengguratkannya ke kertas. ”Panda sedang menulis buku,” kata seorang koleganya. Di buku yang tengah ditulisnya, Panda bakal membeberkan seputar kasusnya dan awal perkenalannya dengan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. ”Seperti yang disampaikan Panda dalam rapat Komisi III dengan KPK pada 7 Oktober 2010,” kata pria yang tak mau disebut namanya ini.

Selain Panda dan Max, tersangka cek pelawat dari Partai Banteng Moncong Putih yang juga menghuni blok Q adalah Soewarno. Sisanya politikus Partai Golkar, yaitu Baharuddin Aritonang, Teuku Muhammad Nurlif, Asep Ruchimat Sudjana, dan Reza Kamarullah. Hengky Baramuli, juga dari Golkar, yang dibawa ke Salemba paling akhir, menggenapi penahanan semua tersangka cek pelawat ”sekuel dua”.

Mereka masing-masing menghuni sebuah ruangan 1,5 x 2,5 meter yang tak semuanya berkipas angin. Kecuali Panda, mereka jarang tampak berolahraga di luar sel.

Bila tak berada di lingkungan sel, mereka menemui sejawatnya yang berduyun-duyun menjenguk. Ketika libur Imlek pada Kamis pekan lalu, selain pengacara dan keluarga, bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra tampak menengok mereka.

Suasana serupa terjadi di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Keluarga, pengacara, dan politikus silih berganti menengok para tersangka cek pelawat yang ditahan di sini. Tersangka cek pelawat yang ditahan di Cipinang lebih banyak dibandingkan di Salemba. Jumlahnya 12 orang.

Mereka menolak dituduh menerima suap dalam pemilihan Miranda. Mereka tak merasa bersalah. ”Ini risiko perjuangan,” kata Petrus Selestinus, pengacara Matheos Pormes dan kawan-kawan yang ditahan di Cipinang, menirukan ucapan kliennya, Kamis pekan lalu. ”Tabah karena ini kasus politis,” kata Singap Panjaitan, pengacara Paskah Suzetta.

Pagi-pagi, para tahanan itu tetap berolahraga ringan. Bila tak membaca buku, pada waktu senggang mereka membaca berkas kasus. Demikian pula Paskah Suzetta. Sejak ditahan, bekas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional itu jadi punya banyak waktu luang untuk membaca buku.

Berbeda dengan di Salemba, di Cipinang mereka harus berbagi sel dengan tahanan lain seperti di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, tempat Ni Luh Mariani mesti sekamar dengan Engelina Pattiasina. Di Cipinang, Poltak Sitorus, misalnya, sekamar dengan Sutanto Pranoto di ruangan yang tanpa kipas angin atau penyejuk udara, sementara Matheos sekamar dengan tahanan kasus korupsi lain. ”Tak ada yang istimewa,” kata Petrus. Kelebihannya, meski bisa menampung lebih banyak orang, sel kasus cek pelawat paling banyak dihuni tiga orang.

l l l

Agus kembali meraih gelas tehnya. Diseruputnya teh yang kini sudah hangat-hangat kuku. Sampai Rabu pekan lalu, hanya satu-dua sahabatnya yang datang menengok. Penjenguknya kebanyakan aktivis organisasi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat.

Ia tak ambil pusing. Satu-satunya yang merisaukannya kini adalah ketiga anaknya, terutama si bungsu Ganesha Candra Utama, yang baru duduk di kelas lima SD. Sejak ditahan, Agus belum bertemu putri kesayangannya itu. Ellya tak mengajak Caca—panggilan si bungsu—saat menjenguknya pekan lalu. ”Anak-anak tak bisa ke sini karena sekolahnya belum libur,” ujar Agus.

Tatkala sang istri menjenguk, Agus meminjam telepon selulernya dan menelepon si bungsu di rumah. Setelah melepas kangen, Agus bertanya: ”Caca tahu ditahan itu apa? Itu lho, seperti Pak Prabu….” Maksudnya, Prabu Wijaya, tokoh dalam sinetron Putri yang Ditukar, yang dipenjara akibat muslihat musuhnya.

Anton Septian

Para penerima cek pelawat yang kini ditahan
FraksiMenerima
Golkar
1.Baharuddin AritonangRp 350 juta
2.Antony Zeidra Abidin*Rp 600 juta
3.Ahmad Hafiz Zawawi Rp 600 juta
4.Paskah SuzettaRp 600 juta
5.Reza Kamarullah Rp 500 juta
6.Asep Ruchimat Sudjana Rp 150 juta
7.T.M. NurlifRp 550 juta
8.Marthin Bria Seran Rp 250 juta
* (karena kasus penyelesaian BLBI dan diseminasi amendemen UU BI)
Fraksi PPP
9.Daniel TandjungRp 500 juta
10.Sofyan UsmanRp 250 juta
Fraksi PDI Perjuangan
11.Willem TutuarimaRp 500 juta
12.Sutanto PranotoRp 600 juta
13.Agus Condro Prayitno Rp 500 juta
14.Muhammad IqbalRp 500 juta
15.BudiningsihRp 500 juta
16.Poltak SitorusRp 500 juta
17.Rusman LumbantoruanRp 500 juta
18.Max MoeinRp 500 juta
19.Matheos Pormes Rp 350 juta
20.Engelina PattiasinaRp 500 juta
21.Ni Luh Mariani TirtasariRp 500 juta
22.SoewarnoRp 500 juta
23.Panda NababanRp 1.45 miliar

Belum ditahan karena sakit
FraksiMenerima
Golkar
1.Boby SuhardimanRp 500 juta
2.Hengky BaramuliRp 500 juta
Perkara dihentikan karena meninggal dunia
PDI Perjuangan
1.Jeffrey Tongas LumbanRp 500 juta
2.Aberson SihalohoRp 500 juta
Golkar
3.Azhar MuklisRp 500 juta
Status tersangka tapi tak ditangani KPK
TNI/polri
1.R. SulistyadiRp 500 juta (TNI/Polri)
2.Suyitno Rp 500 juta (TNI/Polri)
3.Darsup YusufRp 500 juta (TNI/Polri)
Menerima cek, status saksi
PPP
1.Uray Faisal HamidRp 250 juta
PDI Perjuangan
2.Suratal H.W.Rp 500 juta
3.Sukardjo Hardjo WirjoRp 200 juta
4.Zederick Emir MoeisRp 200 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus