Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelan-pelan Agus Condro Prayitno menyeruput tehnya yang masih mengepul. Teh tanpa gula itu menguar melewati kumis lebatnya yang mulai memutih. Bola matanya bergulir ke atas, ke arah langit-langit, begitu gelas plastik lepas dari bibirnya. ”Saya ada penyakit gula,” kata lelaki 50 tahun itu, lirih.
Diabetes pula yang membuat tubuhnya lebih ramping ketimbang saat ia masih duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Baju polo biru gerau dengan celana katun warna serupa tampak gombrong membalut tubuhnya. ”Bukan penjara ini yang tiba-tiba bikin saya kurus,” ujarnya.
Sejak mengidap penyakit gula, ia menghindari asupan glukosa berlebihan. Itulah kenapa ia selalu menyisakan banyak nasi tiap kali pesan makanan di kantin penjara. ”Rp 15 ribu nasinya segini,” tangan kirinya seolah memegang piring, tangan kanan memperagakan gunungan.
Rabu pekan lalu adalah hari kelima ia menghuni rumah tahanan Polda Metro Jaya. Komisi Pemberantasan Korupsi memisahkannya dari para tersangka lain kasus cek pelawat, yang juga ditahan pada Jumat sepekan sebelumnya. Cuma Agus seorang yang dititipkan di penjara Polda.
Agus tinggal sendiri di sel seluas 3,5 x 10 meter. Tak ada tahanan lain. Ada lima dipan di kamar 11B blok khusus tahanan titipan itu. Dipan paling pinggir, yang lebih dekat ke pintu, ia hampari kasur lipat pemberian seorang sahabat yang membesuknya. Baju berserakan di dipan lain. Sebagian masih tersimpan di tas. ”Mirip kamar anak kos,” katanya.
Kendati tanpa kipas angin atau penyejuk udara, kamarnya tak terasa pengap. Udara dari luar menerobos ke dalam lewat tingkap di dinding belakang dan depan sel. Jendela dengan tinggi setengah meter dan lebar 3,5 meter itu tanpa kaca, hanya dihalangi jeruji besi. Lewat tingkap itu pula cahaya matahari masuk.
Siang hari ia biasanya keluar dari sel. Bila tak menonton televisi, ia berkeliling rumah tahanan. Pagi hari ia pergi ke lapangan bulu tangkis, menyaksikan sejumlah tahanan berolahraga. Ia sendiri tak tertarik. Kala lain, ia mengobrol dengan tahanan lain, termasuk dengan Komisaris Arafat Enanie, yang menghuni sel nomor 13 di blok yang sama. ”Kami tetanggaan,” ujar Agus.
Arafat tak ada di tempat pada Rabu prkan lalu. Ia dijemput Propam Mabes Polri untuk menjalani sidang kode etik. Malam sebelumnya, Arafat dan Agus mengobrol hingga larut sambil menonton sinetron.
Semua bermula dari kasus yang ia bongkar sendiri. Pada Agustus 2008, Agus mendatangi KPK dan melaporkan bau bacin di seputar pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom pada 2004. Kepada penyidik, ia mengaku telah menerima 10 lembar cek pelawat senilai Rp 500 juta, imbalan memilih Miranda. ”Saya dihantui perasaan bersalah,” ujarnya.
Agus menepis isu bahwa kasus itu ia bongkar lantaran sakit hati setelah istrinya, Ellya Nuraeni, ditolak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk maju jadi calon bupati di kampung halamannya di Batang, Jawa Tengah. Jauh sebelum itu, sejak 2005-2006, ia mengaku sudah ingin melaporkan kasus ini. ”Tapi enggak enak sama teman-teman,” kata kader Partai Banteng Bulat ini.
Keteguhannya muncul tatkala ia diperiksa penyidik KPK sebagai saksi untuk Hamka Yandhu dalam perkara aliran dana Bank Indonesia beberapa minggu sebelumnya. Tak ia duga sendiri, kepada penyidik ia bercerita tentang uang yang diterimanya pada saat pemilihan Miranda. Penyidik tersebut lantas menyarankannya untuk mengadukan kasus cek pelawat secara terpisah.
Pengakuannya tidak saja menggegerkan partainya tapi juga parlemen. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang menelusuri pencairan cek serupa menemukan 480 cek mengalir ke sedikitnya 30 anggota Dewan periode 1999-2004. Dianggap mencoreng partai, Agus lantas dipecat dari Dewan. Koleganya di PDI Perjuangan menjauhinya, terutama mereka yang terseret ke pusaran kasus ini.
Di Rumah Tahanan Salemba, Panda Nababan tetap berolahraga sebagaimana aktivitasnya di luar penjara. Bersandal jepit dengan setelan celana pendek dan kaus oblong, selama 30 menit ia lari pagi di luar selnya. Dibanding Max Moein, tetangga selnya, Panda paling tidak canggung beraktivitas di penjara. ”Bapak tabah dan tegar,” kata Putra Nababan, anak kedua Panda, Jumat lalu.
Belakangan, Panda lebih sering terlihat di selnya. Ia khusyuk memegang pena dan mengguratkannya ke kertas. ”Panda sedang menulis buku,” kata seorang koleganya. Di buku yang tengah ditulisnya, Panda bakal membeberkan seputar kasusnya dan awal perkenalannya dengan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. ”Seperti yang disampaikan Panda dalam rapat Komisi III dengan KPK pada 7 Oktober 2010,” kata pria yang tak mau disebut namanya ini.
Selain Panda dan Max, tersangka cek pelawat dari Partai Banteng Moncong Putih yang juga menghuni blok Q adalah Soewarno. Sisanya politikus Partai Golkar, yaitu Baharuddin Aritonang, Teuku Muhammad Nurlif, Asep Ruchimat Sudjana, dan Reza Kamarullah. Hengky Baramuli, juga dari Golkar, yang dibawa ke Salemba paling akhir, menggenapi penahanan semua tersangka cek pelawat ”sekuel dua”.
Mereka masing-masing menghuni sebuah ruangan 1,5 x 2,5 meter yang tak semuanya berkipas angin. Kecuali Panda, mereka jarang tampak berolahraga di luar sel.
Bila tak berada di lingkungan sel, mereka menemui sejawatnya yang berduyun-duyun menjenguk. Ketika libur Imlek pada Kamis pekan lalu, selain pengacara dan keluarga, bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra tampak menengok mereka.
Suasana serupa terjadi di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Keluarga, pengacara, dan politikus silih berganti menengok para tersangka cek pelawat yang ditahan di sini. Tersangka cek pelawat yang ditahan di Cipinang lebih banyak dibandingkan di Salemba. Jumlahnya 12 orang.
Mereka menolak dituduh menerima suap dalam pemilihan Miranda. Mereka tak merasa bersalah. ”Ini risiko perjuangan,” kata Petrus Selestinus, pengacara Matheos Pormes dan kawan-kawan yang ditahan di Cipinang, menirukan ucapan kliennya, Kamis pekan lalu. ”Tabah karena ini kasus politis,” kata Singap Panjaitan, pengacara Paskah Suzetta.
Pagi-pagi, para tahanan itu tetap berolahraga ringan. Bila tak membaca buku, pada waktu senggang mereka membaca berkas kasus. Demikian pula Paskah Suzetta. Sejak ditahan, bekas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional itu jadi punya banyak waktu luang untuk membaca buku.
Berbeda dengan di Salemba, di Cipinang mereka harus berbagi sel dengan tahanan lain seperti di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, tempat Ni Luh Mariani mesti sekamar dengan Engelina Pattiasina. Di Cipinang, Poltak Sitorus, misalnya, sekamar dengan Sutanto Pranoto di ruangan yang tanpa kipas angin atau penyejuk udara, sementara Matheos sekamar dengan tahanan kasus korupsi lain. ”Tak ada yang istimewa,” kata Petrus. Kelebihannya, meski bisa menampung lebih banyak orang, sel kasus cek pelawat paling banyak dihuni tiga orang.
Agus kembali meraih gelas tehnya. Diseruputnya teh yang kini sudah hangat-hangat kuku. Sampai Rabu pekan lalu, hanya satu-dua sahabatnya yang datang menengok. Penjenguknya kebanyakan aktivis organisasi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat.
Ia tak ambil pusing. Satu-satunya yang merisaukannya kini adalah ketiga anaknya, terutama si bungsu Ganesha Candra Utama, yang baru duduk di kelas lima SD. Sejak ditahan, Agus belum bertemu putri kesayangannya itu. Ellya tak mengajak Caca—panggilan si bungsu—saat menjenguknya pekan lalu. ”Anak-anak tak bisa ke sini karena sekolahnya belum libur,” ujar Agus.
Tatkala sang istri menjenguk, Agus meminjam telepon selulernya dan menelepon si bungsu di rumah. Setelah melepas kangen, Agus bertanya: ”Caca tahu ditahan itu apa? Itu lho, seperti Pak Prabu….” Maksudnya, Prabu Wijaya, tokoh dalam sinetron Putri yang Ditukar, yang dipenjara akibat muslihat musuhnya.
Anton Septian
Para penerima cek pelawat yang kini ditahan | ||
---|---|---|
Fraksi | Menerima | |
Golkar | ||
1. | Baharuddin Aritonang | Rp 350 juta |
2. | Antony Zeidra Abidin* | Rp 600 juta |
3. | Ahmad Hafiz Zawawi | Rp 600 juta |
4. | Paskah Suzetta | Rp 600 juta |
5. | Reza Kamarullah | Rp 500 juta |
6. | Asep Ruchimat Sudjana | Rp 150 juta |
7. | T.M. Nurlif | Rp 550 juta |
8. | Marthin Bria Seran | Rp 250 juta |
* (karena kasus penyelesaian BLBI dan diseminasi amendemen UU BI) | ||
Fraksi PPP | ||
9. | Daniel Tandjung | Rp 500 juta |
10. | Sofyan Usman | Rp 250 juta |
Fraksi PDI Perjuangan | ||
11. | Willem Tutuarima | Rp 500 juta |
12. | Sutanto Pranoto | Rp 600 juta |
13. | Agus Condro Prayitno | Rp 500 juta |
14. | Muhammad Iqbal | Rp 500 juta |
15. | Budiningsih | Rp 500 juta |
16. | Poltak Sitorus | Rp 500 juta |
17. | Rusman Lumbantoruan | Rp 500 juta |
18. | Max Moein | Rp 500 juta |
19. | Matheos Pormes | Rp 350 juta |
20. | Engelina Pattiasina | Rp 500 juta |
21. | Ni Luh Mariani Tirtasari | Rp 500 juta |
22. | Soewarno | Rp 500 juta |
23. | Panda Nababan | Rp 1.45 miliar |
Belum ditahan karena sakit | ||
---|---|---|
Fraksi | Menerima | |
Golkar | ||
1. | Boby Suhardiman | Rp 500 juta |
2. | Hengky Baramuli | Rp 500 juta |
Perkara dihentikan karena meninggal dunia | ||
PDI Perjuangan | ||
1. | Jeffrey Tongas Lumban | Rp 500 juta |
2. | Aberson Sihaloho | Rp 500 juta |
Golkar | ||
3. | Azhar Muklis | Rp 500 juta |
Status tersangka tapi tak ditangani KPK | ||
TNI/polri | ||
1. | R. Sulistyadi | Rp 500 juta (TNI/Polri) |
2. | Suyitno | Rp 500 juta (TNI/Polri) |
3. | Darsup Yusuf | Rp 500 juta (TNI/Polri) |
Menerima cek, status saksi | ||
PPP | ||
1. | Uray Faisal Hamid | Rp 250 juta |
PDI Perjuangan | ||
2. | Suratal H.W. | Rp 500 juta |
3. | Sukardjo Hardjo Wirjo | Rp 200 juta |
4. | Zederick Emir Moeis | Rp 200 juta |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo