Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Alwin Akbar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk periode 2017-2020, mengungkapkan metode kaleng susu digunakan untuk menghitung estimasi kadar timah yang diperoleh perusahaan. Metode ini dipakai sudah sejak 2016 sampai dengan sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alwin mengatakan metode kaleng susu adalah salah satu cara untuk menghitung estimasi kadar timah yang ada di dalamnya dan itu merupakan model sampling. "Sampai hari ini metode itu masih dipakai di kapal hisap produksi karena itu ada rumusan ilmiahnya," kata dia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Rabu, 30 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, penghitungan kadar timah ini perlu dilakukan untuk menentukan grade atau nilai dari produk mineral logam tersebut. Sebab, grade ini juga menentukan harga jual. "Misalnya, dengan berat tertentu volume tetap dan visualisasi dari mata itu kira-kira grade-nya sekian persen," ujarnya.
Menurut dia, metode ini dipakai mulai dari eksplorasi, produksi di kapal hisap, serta pada hasil tambang yang dihasilkan dari masyarakat. Sebab, metode kaleng susu adalah cara penghitungan estimasi awal.
Alwin menyebut PT Timah melakukan tes kadar timah tidak hanya secara sampling melalui metode kaleng susu, tetapi juga menggunakan metode lain. Tidak hanya itu, Alwin mengklaim bahwa PT Timah pada 2016 sudah melakukan penambangan laut menggunakan kapal hisap dan penambangan darat dilakukan pada 2017 di Belitung.
Alwin Akbar menjadi saksi mahkota untuk terdakwa korupsi timah Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, dan MB. Gunawan, yang mana mereka didakwa ikut mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah. "Berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan," ujar ketua tim JPU Ardhito Murwadi.
Ketiganya juga didakwa ikut merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau Rp 300 triliun. Angka tersebut berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 28 Mei 2024.