Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jurus Perdata Limbah BLBI

Satuan Tugas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia menemukan setidaknya selusin masalah saat mengidentifikasi aset milik 48 obligor. Mengklaim akan memburu aset hingga ke luar negeri.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Potensi piutang obligor BLBI yang bisa ditagih mencapai Rp 110 triliun.

  • Aset obligor BLBI diperkirakan ada yang sudah beralih ke pihak lain dan berpindah ke luar negeri.

  • Satgas akan menagih dana BLBI Rp 470 miliar yang diterima Bank Dewa Rutji milik Sjamsul Nursalim.

DIBENTUK pada Selasa, 6 April lalu, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memaparkan temuannya beberapa hari kemudian. Di hadapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. dan sejumlah pejabat lain, satuan tugas yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban itu menyatakan potensi piutang yang bisa ditagih mencapai Rp 110,54 triliun. “Pada 1998, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie mengucurkan uang kepada 48 obligor. Ada yang sudah diselesaikan, ada yang belum,” ucap Mahfud pada Kamis, 17 April lalu.

Menurut Mahfud, selama sepuluh hari mengidentifikasi setiap aset yang diserahkan oleh para debitor, satgas menemukan setidaknya selusin masalah. Misalnya, ada barang atau aset yang sudah dijaminkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tapi digugat oleh pihak lain. Pengadilan lalu memenangkan gugatan tersebut karena aset yang dijaminkan dianggap milik orang lain. Ada juga barang yang telah dijual meski dijaminkan ke BPPN. Pun ada aktiva yang ternyata dimiliki oleh tiga orang. Pemilik lain menolak aset itu dijaminkan.

Presiden Joko Widodo membentuk Satgas BLBI lewat Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021. Tim itu bertugas menangani, menyelesaikan, dan memulihkan hak negara dalam kucuran dana BLBI. Satgas juga bisa mengajukan upaya hukum atau upaya lain di dalam dan luar negeri. Bekerja hingga 2023, satgas memiliki dewan pengarah yang beranggota sejumlah menteri bidang politik, ekonomi, dan penegak hukum.

Dari hitungan satgas, piutang yang berpotensi ditagih terdiri atas enam macam tagihan. Di antaranya berbentuk properti, kredit, rekening uang asing, saham, juga aset yang sudah berpindah ke luar negeri. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menyampaikan perburuan aset di luar negeri bisa dilakukan dengan meminta bantuan Interpol atau melalui perjanjian bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance). Dia mengatakan timnya akan memetakan skala prioritas tagihan hingga 2023. “Bisa kami lakukan sesuai dengan target,” ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sjamsul Nursalim tersangka kasus BLBI datang ke gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan, 9 April 2001./dok. TEMPO/Bernard Chaniago

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah mengucurkan dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun kepada 48 bank yang terkena dampak krisis keuangan 1997-1998. Pemerintah kemudian membentuk BPPN yang bertugas menagih semua dana bantuan tersebut. Di luar jalur pengadilan, ada tiga skema penyelesaian kasus BLBI, yaitu master settlement and acquisition agreement (MSAA), master refinancing and notes issuance (MRNIA), dan akta pengakuan utang (APU).

Presiden Megawati Soekarnoputri lalu mengeluarkan instruksi presiden sebagai dasar penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk obligor yang dinilai kooperatif dan telah menyelesaikan pembayaran utang. Selama 2003-2004, BPPN mengeluarkan SKL kepada 20 debitor. Lima di antaranya adalah obligor kakap yang mengambil skema MSAA. Mereka adalah Anthoni Salim, pemilik Bank Central Asia; Mohammad Hasan (Bank Umum Nasional); Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia); Sudwikatmono, pemilik Bank Surya; dan Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional).

Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan indikasi kurang bayar pada SKL Sjamsul Nursalim yang menerima dana Rp 47,2 triliun. Kepala BPPN kala itu, Syafruddin Arsyad Temenggung, menerbitkan SKL untuk Sjamsul pada April 2004 karena dianggap telah melunasi sisa utang senilai Rp 4,8 triliun. Namun KPK menduga Sjamsul baru membayar Rp 1 triliun. Dalam perkara ini, KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka, disusul Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Syafruddin 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambah hukuman itu menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Namun ia bebas lewat putusan kasasi di Mahkamah Agung pada 9 Juli 2019. Mahkamah menyatakan tak ada unsur pidana dalam perkara penerbitan SKL untuk BDNI milik Sjamsul. Pada Juni 2020, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa KPK.

Putusan ini menjadi salah satu dasar KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih pada 1 April lalu atau lima hari sebelum satgas terbentuk. “Penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum,” tutur Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

•••

SETELAH Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama-sama mempelajari putusan tersebut. Mereka bersepakat mengikuti putusan MA yang menyebutkan persoalan BLBI merupakan ranah perdata. Mahfud mengklaim sudah menimbang upaya perdata ini sejak Juli 2019, setelah MA mengeluarkan putusan kasasi yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung.

Keputusan tersebut makin bulat setelah KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih. Menemui Presiden Joko Widodo, Mahfud menyampaikan bahwa pemerintah masih memiliki peluang mengejar aset para debitor BLBI lewat jalur perdata. Mahfud pun mengusulkan pembentukan satuan tugas yang beranggota personel dari sejumlah lembaga negara, seperti Kementerian Keuangan, kepolisian, dan kejaksaan.

Tak hanya mengincar aset Sjamsul, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI turut menelisik 48 obligor yang menerima kucuran duit pada 1998. Tagihan kepada Sjamsul termasuk yang paling besar. Selain BDNI, Satgas akan menagih dana BLBI yang diterima Bank Dewa Rutji yang juga milik Sjamsul. Nilainya mencapai Rp 470 miliar. “Yang lebih besar lagi di BDNI dan sedang kami hitung,” ujar Mahfud.

Nurul Ghufron/TEMPO/Imam Sukamto

Sisa utang Sjamsul diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun. Seorang penegak hukum yang mengetahui perkara ini bercerita, Sjamsul menjaminkan aset, di antaranya PT Gadjah Tunggal yang ditaksir senilai Rp 7 triliun. Namun aset itu hanya laku Rp 2,1 triliun saat dilelang BPPN. Penegak hukum itu mengatakan perusahaan pemenang lelang diduga masih terafiliasi dengan Sjamsul. Menurut dia, persoalan itu bisa menjadi masalah pidana atau perdata baru.

Mahfud mengaku mendengar informasi ini dan berjanji menindaklanjutinya. Dia mengatakan kerja satgas tak mudah karena kasus BLBI ini limbah dari kejadian 23 tahun silam. “Yang penting bayar. Kalau tidak mau bayar, akan kami kejar,” ucapnya. Dia berharap para obligor, termasuk Sjamsul, sukarela membayar utang. Jika mereka menolak, ujar Mahfud, satgas akan melakukan upaya hukum. “Hukum perdata ada penyanderaan badan. Kalau tidak memenuhi kewajiban bisa berujung pidana.”

Kuasa hukum Sjamsul Nursalim dan Itjih, Otto Hasibuan, mempertanyakan rencana pemerintah menagih utang BLBI. “Kami rasa sudah selesai dengan diterbitkannya SKL untuk sisa utang BDNI,” ucap Otto. Selama ini, kata Otto, pemerintah tak pernah menagih utang BLBI kepada kliennya. Dia mengaku tak mengetahui soal dana BLBI yang mengalir ke Bang Dewa Rutji.

•••

PEMBENTUKAN Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan KPK tidak diikutkan karena menjadi lembaga penegak hukum pidana. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan lembaganya tak berwenang menempuh upaya perdata.  “KPK tugasnya ada enam: cegah, monitor, supervisi, koordinasi, penindakan, dan eksekusi,” ujar Ghufron. Namun dia menyatakan lembaganya siap membantu satgas jika diperlukan.

Upaya terakhir KPK adalah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam putusannya, tiga majelis hakim, yakni Salman Luthan, Askin, dan Syamsul Rakan Chaniago, berbeda pendapat. Salman sebagai ketua majelis hakim menilai putusan Pengadilan Tinggi yang memperberat vonis Syafruddin dari 13 tahun bui dan denda Rp 700 juta menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar sudah tepat. Hakim Askin menilai perkara tersebut sebagai pelanggaran administrasi. Sedangkan Syamsul berpendapat perkara itu urusan perdata.


Dalam memori peninjauan kembali, KPK menyebutkan soal dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim kasasi Syamsul Rakan Chaniago karena berjumpa dengan Ahmad Yani, kuasa hukum Syafruddin. Pertemuan itu terjadi sepekan sebelum putusan kasasi terbit. Berdasarkan call data records yang dimiliki KPK, terdapat beberapa kali komunikasi antara Syamsul Rakan dan Ahmad Yani. Di antaranya telepon satu jam sebelum pertemuan di sebuah kafe. Rekaman kamera pengawas menunjukkan keduanya berjumpa sekitar 27 menit di sana.

Syamsul mengklaim pertemuan itu tak membahas perkara Syafruddin. “Kami hanya minum kopi. Kami kan sudah kenal lama,” ucap Syamsul. Sedangkan Ahmad Yani mengatakan tak sengaja bertemu Syamsul Rakan di Cafe Segafredo Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. “Mungkin saja bertemu. Saya di sana bertemu banyak orang,” ujar Ahmad Yani. Badan Pengawas MA kemudian menghukum Syamsul Rakan sebagai hakim nonpalu selama enam bulan.

LINDA TRIANITA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus