Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Skorsing dan akhir sukses buyung

Kantor pengacara adnan buyung nasution di gedung prince, jakarta, ditutup, setelah buyung divonis skorsing 1 tahun oleh menkeh. buyung masih menyelesaikan doktornya di belanda.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR Adnan Buyung Nasution akhirnya bubar juga. Kantor Pengacaranya yang megah dan semula menempati 1 1/3 lantai di gedung Prince, Jalan Jenderal Sudirman dan sebuah lagi di Jalan Juanda, Jakarta, Jumat pekan lalu resmi ditutup. "Itulah alternatif terbaik yang bisa diambil," ujar Nyonya Ria Sabariah Sabarudin, istri Buyung, yang bersama anaknya, Iken Basya Rinanda, mengumumkan penutupan kantor suaminya di depan sekitar 25 wartawan Ibu Kota. Buyung sendiri sampai kini masih bermukim di Belanda, menyelesaikan program doktornya di negeri itu. Tutupnya kantor pengacara terkenal, dan termasuk lima besar di antara kantor pengacara di Indonesia, seperti diduga, akibat sampingan dari vonis Menteri Kehakiman, Mei lalu. Ketika itu Buyung selaku pengacara dijatuhi hukuman berupa skorsing 1 tahun karena dianggap melakukan Contempt of Court, ketika menjadi pembela perkara subversi Dharsono. Kendati skorsing itu, menurut Ismail Saleh, hanya berlaku untuk Buyung pribadi, dan terbatas tidak boleh beracara di sidang, toh akibatnya fatal untuk kantor tersebut. "Sebagian besar klien mengundurkan diri. Kian banyak klien yang mundur tentu menjadi tekanan yang berat bagi perusahaan. Keadaan semakin buruk, sehingga penutupan kantor tidak terelakkan lagi," ujar Iken, membacakan pernyataan pers Buyung. Merosotnya kantor Buyung itu memang sudah terasa sejak ketua majelis hakim Dharsono, mengadukan Buyung, karena merasa terhina oleh sikap Buyung menginterupsi hakim, ketika majelis membacakan vonis perkara itu, Januari 1986. Sebagian klien Buyung mulai meninggalkan kantor terkenal itu. Apalagi, setelah itu, vonis seperti susul-menyusul menimpa Buyung. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, semula memvonis Buyung akibat kasus itu dengan pemecatan seumur hidup. Keputusan itu kemudian diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi DKI menjadi skorsing 6 bulan. Giliran berikutnya organisasi advokat, Ikadin, yang ikut didirikan Buyung, memvonis pengacara kawakan itu melanggar kode etik, karenanya memberikan peringatan keras. Kendati vonis-vonis itu masih menunggu keputusan akhir dari Menteri Kehakiman pengaruhnya besar bagi kantor Buyung. "Banyak orang tidak mengerti dan bertanya kepada Abang, apa sudah boleh berpraktek lagi," ujar Buyung, yang suka dipanggil Abang, ketika itu. Akibat lainnya, klien yang baru ragu-ragu meminta jasa kantor Buyung. Tapi bukan hanya klien yang mundur dari kantor Buyung di awal tahun itu. Beberapa orang rekannya, seperti Victor Sibarani dan Otto Hasibuan, juga meninggalkan Buyung, mendirikan kantor baru. Toh, kantor Buyung, kendati menciut dari 1 1/3 lantai menjadi 1/2 lantai di Prince Building, masih tetap berkibar. Pukulan yang mematikan baru diterima Buyung ketika Menteri Kehakiman menjatuhkan vonisnya. "Ketika putusan itu jatuh, kami tidak menduga bahwa akhirnya kantor ini harus ditutup," kata Buyung di pernyataan persnya. Ternyata, sisa klien yang masih setia kepada pengacara terkenal itu, di antaranya Bank of America, akhirnya memilih cabut. "Orang bisnis 'kan berpikir untung rugi dan tidak mau mengambil risiko. Mereka menyangka kalau memakai kantor kami tidak akan menang bila berperkara," kata M. Assegaff, yang bergabung di kantor Buyung sejak 1971 sampai tutup. Hanya dua bulan setelah keputusan Menteri itu keluar, kantor Buyung, yang masih mempekerjakan sekitar 9 pengacara dan 15 karyawan biasa, mulai ambruk. Konon pemasukan di dua bulan terakhir menciut hingga di bawah pengeluaran yang Rp 40 juta sebulan. Apalagi, kesembilan rekan Buyung, yang masih tersisa, mengaku tidak mampu lagi meneruskan perusahaan. Sebab itu, di akhir Juni lalu, Buyung memutuskan kantor itu ditutup saja. "Saya tidak menangis gara-gara kantor itu ditutup. Tapi saya benar-benar menangis membayangkan nasib 15 karyawan yang setia selama belasan tahun. Kalau para pengacara, mereka tetap akan hidup dan bisa membuka kantor baru, tapi bagaimana nasib sopir, tukang ketik, tukang jaga malam," kata Buyung mclalui telepon kepada TEMPO, Sabtu pekan lalu. Assegaff mengaku tidak mampu lagi mcneruskan kantor yang pernah jaya itu. Sebab itu, ia memilih membuka kantor sendiri. "Kami berpisah secara baik-baik, bagaimanapun saya tentu harus memikirkan masa depan saya," ujar Assegaff. Rekannya, John Kusnadi, yang kini bergabung ke kantor Albert Hasibuan mengeluarkan ucapan senada. "Bagaimana, ya? Saya 'kan juga harus mencari makan dengan prospek yang lebih baik," kata John, yang ikut di kantor Buyung sejak didirikan. Tragis, memang. "Itulah akhir yang tragis," kata Mulya Lubis, bekas rekan Buyung di LBH, yang mendampingi istri Buyung di konperensi pers tersebut. Didirikan pada 1969, kantor itu dengan cepat melambung sehingga menjadi kantor pengacara terkemuka di Indonesia pada awal 1970-an, dengan tahun keemasan antara 1976 dan 1980. "Kesibukan penanganan perkara ketika itu luar biasa, sehingga terpaksa dibuka cabang di Bandung, Surabaya, dan di Samarinda," tutur Assegaff. Ternyata, dengan vonis Menteri Kehakiman, semua itu berakhir. "Belum pernah penurunan perkara sampai sedrasti sekarang ini," ujar John Kusnadi. Buyung, yang kini tinggal di rumah sewaan kecil seluas 3 X 3,5 meter di Utrecht. Belanda, menganggap semuanya itu hanya risiko peruangannya menegakkan hukum. "Semua perjuangan itu ada risikonya, ketika Malari Abang ditahan, kini periuk nasi Abang dihapuskan. Tapi sayangnya, akibat hukuman itu yang tertimpa adalah karyawan keal. Kalau saya malah semakin kuat dan masyarakat semakin terbuka matanya melihat ketidakadilan itu," kata Buyung, sebagaimana biasanya, berapi-api. Karni Ilyas, Laporan Happy S., dan Bunga S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus