Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menanggapi soal laporan terhadap dirinya dan delapan hakim Mahkamah Konstitusi lain ke Polda Metro Jaya. Ia mengatakan, itu merupakan hak para pelapor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Jadi begini, setiap warga negara punya hak dan kewajiban. Termasuk melapor ke aparat penegak hukum," kata dia saat pelantikan Majelis Kehormatan MK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis, 9 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meski demikian, Anwar enggan menanggapi lebih jauh soal pelaporan tersebut. Ia meminta kepada semua pihak agar menanti proses hukum yang berlangsung.
"Saya tidak bisa berkomentar lebih jauh. Silakan mengikuti proses perjalanan masalah ini," ujar Anwar.
Anwar Usman dan delapan hakim lainnya dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh seorang advokat, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Laporan ini buntut dari gugatan yang diajukan Zico ke Mahkamah Konstitusi.
Ia mengajukan gugatan terhadap UU MK No.7 Tahun 2020 soal pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2022. Dia mengajukan gugatan tersebut setelah kisruh soal pemberhentian Hakim MK Aswanto oleh DPR yang kemudian diganti oleh Guntur Hamzah. Gugatan Zico tercatat dengan nomor perkara 103/PUU-XX/2022.
Dalam putusannya, MK menolak permohonan Zico secara seluruhnya. Terdapat pendapat berbeda (Dissenting opinion) dari tiga hakim MK dalam putusan tersebut. Pendapat berbeda itu diajukan Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Yang kemudian menjadi masalah, menurut Zico adalah adanya perubahan kata dalam bagian pertimbangan hukum putusan tersebut.
Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra pada 23 November 2022 yaitu:
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:
"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."
Zico menilai perbedaan kata itu memiliki makna berbeda dan mengadukan masalah ini ke MK. Buntutnya, MK mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK untuk mengusut kasus ini.
"Keputusan tersebut diambil lewat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang digelar pada Senin, 30 Januari 2023," kata Juru bicara MK Enny Nurbaningsih dalam keterangan tertulisnya hari ini.
Atas kejadian ini, Angela Foekh, kuasa hukum Zico, membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada 1 Februari 2023.
Selanjutnya, Zico ajukan surat ke Jokowi...
Selain ke polisi, Zico juga mengirimkan surat keberatan kepada Presiden Jokowi dalam kasus pengubahan putusan MK. Surat tersebut diserahkan Zico ke Sekretariat Negara pada Selasa kemarin, 7 Februari 2022.
Kuasa hukum Zico lainnya, Viktor Santoso Tandiasa, menyatakan permohonan yang diajukan kliennya ke Jokowi ini mengacu pada Pasal 6 ayat 3 UU MK yang berbunyi sebagai berikut:
Hakim Konstitusi hanya dapat dikenai tindakan Kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali dalam hal:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
b. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Tanpa adanya persetujuan tertulis dari Jokowi, kata Viktor, maka Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin tidak dapat memberikan perintah kepada polisi, Polisi pun tidak dapat melakukan tindakan kepolisian kepada Hakim Konstitusi. Sementara, Viktor menduga kuat terdapat adanya keterlibatan Hakim Konstitusi atas perubahan isi putusan.
"Oleh karenanya, untuk dapat menjadi terang benderang dan mendapatkan pelaku serta memberikan hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Viktor.
Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan juga menilai polisi tetap harus meminta izin ke Jokowi melalui Sanitiar Burhanuddin untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hakim MK.
"Apabila izin presiden sudah diberikan, Jaksa Agung yang memberi perintah kepada kepolisian agar penyidikan dimulai," kata hakim konstitusi periode 2003-2008 ini saat dihubungi.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 6 ayat 3 UU MK. "Yang disebut kedudukan protokoler yang sedikit banyak mengubah proses dalam hal terdapat tindakan kepolisian yang menyangkut penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap hakim konstitusi," kata dia.
Pandangan Maruarar ini berbeda dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md yang menilai polisi tidak perlu meminta izin ke Jokowi untuk memeriksa hakim MK.
"Saya kira enggak perlu izin dulu ya," kata mantan Ketua MK ini saat ditemui usai rapat bersama Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin, 6 Februari 2022.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin justru melempar urusan pengubahan putusan MK itu ke Mahfud Md. Ia meminta wartawan untuk bertanya ke Mahfud saja.
"Saya no comment," kata dia.
Pilihan Editor: Diperiksa MKMK, Zico Menduga Ada Dua File Yang Diubah Soal Pengubahan Putusan Mahkamah Konstitusi
FAJAR PEBRIANTO