Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi tindakan kriminal di jalanan atau yang disebut klitih kini semakin meresahkan warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh aparat kepolisian maupun masyarakat untuk memberantas fenomena klitih ini. Alih-alih mereda, aksi klitih justru semakin merajalela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan rilis Catatan Akhir Tahun Polda DIY, menunjukkan adanya tren kenaikan kasus klitih selama 2021. Total pelaku yang teridentifikasi sejumlah 102 orang yang notabene masih berstatus pelajar atau remaja. Hal ini diungkapkan oleh Wakapolda DIY, Brigjen Slamet Santoso, saat jumpa pers pada akhir tahun 2021 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jumlah laporan yang sudah masuk ke Polda DIY selama 2021 mencapai 58 kasus. Ada peningkatan jumlah kasus dari tahun sebelumnya yang hanya sejumlah 52 kasus,” katanya.
Menanggapi hal itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyu Kustiningsih, menyarankan agar upaya pemberantasan aksi kriminal klitih dilakukan dengan cara menghidupkan kembali komunalitas di masyarakat. Komunalitas yang ia maksud yakni partisipasi aktif dari masyarakat untuk untuk terlibat langsung di lapangan.
“Misalnya, warga menghidupkan kembali kegiatan Poskamling di masa pandemi yang mulai meredup. Selain bertujuan mengamankan langsung, warga juga turut mengajak anak muka yang suka nongkrong tidak jelas untuk mengikuti ronda malam tersebut,” kata dia seperti dikutip Tempo dari laman ugm.ac.id, Selasa, 4 Januari 2022.
Menurut Kustiningsih, kegiatan komunalitas yang berupa gotong royong sejatinya adalah marwah orang Jawa. Dengan melibatkan anak muda, secara tidak langsung akan mengubah perspektif mereka untuk melakukan hal-hal yang positif. Sesepuh atau tokoh-tokoh masyarakat juga berkontribusi langsung dalam upaya menanamkan nilai-nilai baik kepada anak muda.
Dalam rangka upaya pemberantasan klitih, kata dia, tidak lagi sekadar menangkap pelakunya dan kemudian selesai urusan. Lebih dari itu, sebab fenomena klitih yang secara teori sosial sebagai bagian dari kenakalan remaja, maka ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan.
“Pelaku tertangkap bisa jadi belum ada penyesalan, sebab jika ini kenakalan remaja maka ini menyangkut soal exercise power. Jika ini dianggap sebagai kenakalan remaja maka salah satu tujuannya adalah untuk recognisi, anak muda itu kan khas dengan pencarian jati diri dan sebagainya," ujarnya.
Dalam pengamatan Kustiningsih, setidaknya terdapat tiga aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam upaya pencegahan selain menciptakan komunalitas masyarakat. Ketiganya juga turut menjadi penyebab utama meningkatnya fenomena klitih belakangan ini.
1. Terbatasnya ruang publik
Terbatasnya ruang publik sebagai arena ekspresi disorot oleh Kustiningsih menjadi penyebab terus munculnya generasi klitih. Jika dahulu ruang publik begitu luas, kini berkurang cukup banyak. Belum lagi, persoalan pandemi yang terjadi saat ini di mana orang harus berjarak dan akhirnya memaksa setiap orang harus beralih dengan teknologi untuk berinteraksi sesama lain.
“Ruang publik yang berkurang, semakin menjauhkan remaja dari masyarakat sekitar, lalu membentuk dunianya sendiri hingga asyik dengan komunitas virtualnya. Artinya peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi dan sebagainya guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klitih," katanya.
2. Klitih berafiliasi dengan politik
Kustiningsih melihat aksi klitih dari perspektif sosial bukan sekadar yang dilakukan anak muda dalam sebuah geng, tapi sebagai fenomena yang berafiliasi dengan politik. Ia menandaskan, aksi klitih tidak lepas dari sejarah panjang di Jogja dengan dinamika anak muda dan geng-geng yang sampai sekarang masih ada dan tidak menutup kemungkinan akan semerbak kembali di tahun 2024.
3. Minimnya pengawasan orang tua
Kustiningsih menyayangkan kondisi saat ini, di mana beban orang tua sangatlah berlebih. Tidak sedikit dari orang tua pelaku klitih memiliki beban ekonomi karena PHK dan sebagainya. Belum lagi adanya kebutuhan yang semakin meningkat, sehingga tidak ada kesempatan bagi orang tua untuk melakukan tindakan pengawasan langsung kepada anak.
HARIS SETYAWAN