Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK akan mengikuti alur KUHAP demi menjerat eks Wamenkumham Eddy Hiariej.
Padahal mereka telah memiliki mekanisme sendiri yang diatur dalam UU KPK.
Langkah KPK ini dinilai berbahaya untuk pemberantasan korupsi di masa mendatang.
JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata memastikan pihaknya akan kembali menjerat eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam kasus suap. Status Eddy sebagai tersangka sempat kandas setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan guru besar ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada itu pada 30 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alex mengatakan para pemimpin KPK telah sepakat mendorong Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Inspektur Jenderal Rudi Setiawan mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Yang berbeda pada sprindik kali ini, menurut Alex, mereka akan menggunakan mekanisme yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Penyidik akan mengeluarkan sprindik umum tanpa menyebutkan nama tersangka,” kata Alex kepada Tempo, Jumat, 8 Maret 2024. “Maunya hakim begitu, sesuai KUHAP.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga antirasuah ini tak akan mengikuti prosedur seperti yang termaktub dalam Pasal 44 Undang-Undang KPK. Biasanya, KPK akan mengeluarkan sprindik lengkap diikuti nama tersangka setelah gelar perkara menyatakan proses penyelidikan telah selesai dan menemukan dua alat bukti dan pelaku.
Hal itu berbeda dengan ketentuan KUHAP. Dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan hanya untuk menentukan ada atau tidak tindak pidana dalam sebuah peristiwa agar dapat dinaikkan ke tahap penyidikan. Dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa dalam tahap penyidikan inilah kemudian penyidik mencari dua alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Kasus ini ditangani KPK setelah Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso membuat laporan. Eddy dituding memperdagangkan kewenangannya sebagai Wamenkumham dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri (CLM), perusahaan yang sempat dimiliki Helmut Hermawan. Eddy diduga menerima suap senilai total Rp 7 miliar melalui dua asistennya, Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana dari Helmut.
KPK mengeluarkan surat perintah penyelidikan kasus ini pada 19 Mei 2023. Mereka lantas meminta keterangan 17 orang dan mengumpulkan puluhan dokumen yang memperlihatkan keterlibatan Eddy. KPK juga telah mengantongi dokumen aliran dana Helmut kepada Yogi dan Yosi.
Selain Eddy, KPK juga menetapkan Yosi, Yogi dan Helmut menjadi tersangka. Penyidik bahkan langsung menahan Helmut usai ditetapkan tersangka. Tapi, sama seperti Eddy, Helmut juga mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan dan dikabulkan hakim.
Artikel berjudul "Mengapa KPK Menunda-nunda Penetapan Tersangka Eddy Hiariej" di majalah Tempo edisi Ahad, 5 November 2023, disebutkan bahwa KPK menetapkan Eddy pertama kali sebagai tersangka dalam gelar perkara pada 27 September 2023. Mereka kemudian mengeluarkan sprindik terhadap Eddy pada 24 November 2023. Gelar perkara dan penerbitan sprindik inilah yang membuat Eddy mengajukan gugatan praperadilan.
Edward Omar Sharif Hiariej setelah memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Pengacara Eddy, Muhammad Luthfie Hakim, menyatakan penetapan kliennya sebagai tersangka dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan yang tak memiliki kekuatan hukum. Pihak Eddy menilai hasil penyelidikan tidak bisa menjadi dasar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Menurut Luthfie, merujuk pada KUHAP, KPK seharusnya menaikkan kasus itu ke tahap penyidikan lebih dulu, mengumpulkan barang bukti yang cukup, baru kemudian menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Argumen inilah yang kemudian diadopsi oleh hakim Estiono yang mengadili gugatan praperadilan itu. Dalam putusannya, Estiono menyatakan proses penyelidikan tidak bernilai pro justitia. Karena itu, alat bukti yang dikumpulkan KPK dan penetapan Eddy sebagai tersangka tidak sah.
Alex mengatakan KPK akan mengikuti putusan tersebut. Dia menyatakan, setelah sprindik baru terbit, penyidik akan kembali memeriksa saksi dan menyita barang bukti. “Diulang penyidikannya (bukan penyelidikan),” kata Alex.
Menurut Alex, putusan itu membuat pihaknya tak bisa memaksakan diri menggunakan Pasal 44 UU KPK. Dia menyatakan putusan praperadilan ini akan menjadi pembelajaran bagi mereka. “Tentu juga menjadi kajian buat kami, mungkin ke depannya kami ubah POB-nya (prosedur operasi baku) misalnya," ucap Alex.
Lantas, kapan sprindik itu akan terbit? Seseorang yang mengetahui proses perkara ini di lingkup internal lembaga itu mengatakan sprindik tak segera keluar karena masih ada pembahasan intensif antara pimpinan KPK, pejabat Kedeputian Pendindakan, dengan tim penyidik. Padahal sudah ada putusan pimpinan untuk menerbitkan sprindik.
Tempo sempat mencoba meminta konfirmasi soal ini kepada juru bicara KPK, Ali Fikri. Namun, hingga tulisan ini dimuat, Ali tak membalas pertanyaan yang diajukan Tempo melalui pesan WhatsApp. Sejumlah pimpinan KPK juga tak merespons pertanyaan yang dikirim ke akun WhatsApp soal hambatan pembuatan sprindik Eddy di Kedeputian Penindakan.
Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, setelah diperiksa sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pemberian suap di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Desember 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Koordinator IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha, menyayangkan langkah KPK itu jika benar akan mengikuti putusan hakim praperadilan. Menurut dia, hal itu sama saja mendukung delegitimasi Pasal 44 UU KPK. Padahal UU KPK bersifat lex specialis, yang artinya wajib didahulukan ketimbang KUHAP. “Salah kaprah, enggak bisa (tanpa nama),” kata Praswad saat dihubungi kemarin.
Jika sprindik terbit tanpa ada penetapan tersangka, kata Praswad, itu akan menjadi yang pertama dalam sejarah sepanjang berdirinya KPK. “Sebelumnya kami belum pernah mengeluarkan sprindik tanpa nama,” kata mantan penyidik KPK itu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pun mendorong KPK tetap menggunakan aturan yang mereka miliki. Selama UU KPK masih berlaku, menurut dia, Pasal 44 perlu dikedepankan dan seharusnya itu juga menjadi pertimbangan hakim. “Seharusnya hakim membaca dan mengikuti UU KPK karena memang itu lex specialis,” kata Fickar.
Eks penyidik KPK lainnya, Yudi Purnomo Harahap, menyatakan lembaga antirasuah itu tidak sepatutnya mengikuti pendapat hakim praperadilan. Menurut dia, langkah KPK itu justru akan memicu para tersangka lain berbondong-bondong mengajukan gugatan praperadilan dengan argumen hukum yang sama. “Laksanakan saja lagi sesuai dengan SOP (standard operating procedure) mereka. Karena bagi saya, sangat riskan jika mengikuti perintah hakim tersebut,” kata Yudi saat dihubungi secara terpisah.
Keberadaan Pasal 44, menurut Yudi, memang menuntut KPK harus memperoleh konstruksi perkara dan alat bukti yang cukup saat proses penyelidikan. Dia menilai kinerja KPK jauh lebih efektif dan efisien ketimbang aparat penegak hukum lain karena pasal tersebut. Alasannya, KPK tak perlu mengambil keterangan yang sama dalam dua tahap yang berbeda. “Ngapain lagi kerja dua kali,” ucapnya.
Baca Juga Infografiknya:
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pun berpendapat sama. Dia menilai KPK harus tetap bertahan menggunakan Pasal 44 itu. “Bagi kami, bertahan saja, karena memang itu bunyi Pasal 44 UU KPK,” kata Kurnia kemarin.
Kurnia menjelaskan alasan kenapa KPK bisa menetapkan tersangka dan mengumpulkan bukti pada tahap penyelidikan. Hal itu, menurut dia, tak lepas dari sejarah KPK yang sempat tak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). “Jadi, sudah mencari bukti permulaan yang cukup di tahap penyelidikan,” ujarnya.
Yang harus diperbaiki KPK, menurut dia, adalah pola kerja. Kurnia menilai KPK seharusnya bergerak lebih cepat sehingga tak memberikan peluang bagi Eddy untuk kembali mengajukan praperadilan dan menang. “Kasus ini sudah terang-benderang, tetapkan tersangka, tahan, dan limpahkan, maka tidak ada kesempatan lagi tersangka mengajukan praperadilan,” kata Kurnia.
Jika KPK mengikuti logika hakim praperadilan, Kurnia khawatir hal itu akan menjadi yurisprudensi baru. Selain itu, menurut dia, KPK akan mengangkangi Pasal 44 UU KPK yang selama ini menjadi pegangan mereka.
Kurnia pun ragu akan independensi para hakim yang telah memenangkan gugatan praperadilan Eddy Hiariej. Menurut dia, sudah seharusnya Mahkamah Agung turun tangan membereskan persoalan ini. “Jangan sampai ini berulang karena ini akan mengganggu proses hukum,” katanya.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo