Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG kerja itu tampak lengang. Terletak di bagian belakang gedung Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, ruang itu milik Sultoni, jaksa yang sehari-hari menjabat Kepala Seksi Prapenuntutan. Rabu pekan lalu, ketika Tempo melongok ruang berukuran sekitar 12 meter persegi tersebut, si empunya ruang tak tampak. Yang terlihat di meja kerjanya hanya tumpukan kertas.
Sejak diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta dua pekan lalu, jaksa 40 tahun ini memang jarang terlihat di kantor. Sultoni berurusan dengan Bidang Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi lantaran dianggap bertanggung jawab atas lepasnya terpidana kasus narkoba, Gunawan Tjahyadi. Koleganya di kejaksaan pun tak tahu di mana kini Sultoni. ”Jangankan wartawan, kami saja sulit bertemu,” kata seorang jaksa.
Lantaran sedang dibelit kasus, untuk sementara jaksa yang sudah lima tahun bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat itu juga tak boleh menyentuh perkara. ”Semua perkaranya sudah dialihkan ke jaksa lain,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Sugiono.
GUNAWAN ditangkap aparat di Rumah Sakit Husada, Jakarta Barat, pada 28 November tahun lalu. Dari pria 36 tahun ini, polisi menyita 470 butir ekstasi. Sekitar dua bulan diperiksa Kepolisian Resor Jakarta Barat, pada 10 Februari, berkas kasus Gunawan plus sang tersangka dan barang buktinya dikirim ke Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Enam hari kemudian, kejaksaan melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Di pengadilan, persidangan kasus ini berjalan supercepat, hanya dua kali sidang. Dalam sidang pertama, pada 17 Februari, majelis hakim yang diketuai Haris Munandar dengan hakim anggota Gunawan Gusmo dan Joni Palayukan mendengarkan pembacaan dakwaan. Esoknya, jaksa Sultoni menuntut Gunawan dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Pada hari yang sama, putusan hakim jatuh. Gunawan divonis satu tahun penjara. Seusai sidang, Sultoni membiarkan Gunawan, yang mestinya masih berstatus tahanan, pergi dengan dua pria bermobil yang menjemputnya. Sejak itulah Gunawan raib.
Menurut Sugiono, Sultoni mengaku membiarkan Gunawan pergi karena dia masih harus menghadiri sidang lain. ”Dia menyangka Gunawan akan dibawa ke tahanan Polres Jakarta Barat,” ujar Sugiono. Menurut kepala kejaksaan ini, jaksalah yang memang bertanggung jawab atas keberadaan terdakwa.
”Dosa” Sultoni tak hanya itu. Menurut Sugiono, anak buahnya itu tak pernah melaporkan penanganan kasus Gunawan. Sultoni juga mengabaikan rencana tuntutan yang telah ditetapkan Sugiono untuk tersangka bandar narkoba ini, yakni tiga tahun penjara plus catatan untuk dikonsultasikan ke Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. ”Itu tidak dilaksanakannya,” kata Sugiono. ”Tapi justru tuntutannya turun jadi setengahnya.”
Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menegaskan, perkara narkoba merupakan perkara penting yang menjadi prioritas penanganan kejaksaan. Prosedur penanganan perkara ini ketat. Proses rencana tuntutan harus melewati kepala seksi pidana umum di tingkat kejaksaan negeri, asisten pidana umum di kejaksaan tinggi, hingga Jaksa Agung Muda Pidana Umum di Kejaksaan Agung. ”Ini semua dia (Sultoni) bikin sendiri,” kata Ritonga.
Menurut Sugiono, Sultoni kepada majelis hakim juga meminta perkara ini ditangani dengan pemeriksaan singkat. ”Ini tak lazim, karena selama ini perkara narkoba selalu melalui proses pemeriksaan biasa,” ujarnya. Permintaan Sultoni itu sendiri dikabulkan hakim. Pengacara Henry Yosodiningrat, yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat), menyebut penanganan kasus narkoba dengan pemeriksaan singkat itu sangat tak wajar. ”Pasti ada apa-apanya,” kata Henry.
Ketua majelis hakim kasus ini, Haris Munandar, menampik jika ”ada sesuatu” di balik vonis satu tahun yang diketuknya. ”Vonis satu tahun itu tepat,” ujarnya. Menurut Haris, dari 470 barang bukti yang dibeberkan di pengadilan, 389 butir di antaranya tidak mengandung zat psikotropika. Sisanya, masing-masing 68 dan 13 butir, ”hanya” masuk kategori psikotropika golongan empat dan dua, bukan golongan satu. Jika golongan satu, hukumannya sangat berat, sampai 15 tahun penjara. ”Jadi, jangan lihat jumlahnya saja,” katanya. Adapun tentang persidangan yang berlangsung kilat, Haris mengatakan, itu sesuai dengan permintaan jaksa. ”Ini perkara sederhana,” katanya.
Tak hanya Sultoni yang diperiksa. Bersama dua anggota hakim lainnya yang ikut menangani kasus Gunawan, Kamis tiga pekan lalu, Haris diperiksa Bagian Pengawasan Mahkamah Agung. Kepada Tempo, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, Hatta Ali, menyatakan bahwa MA belum menemukan kesalahan ketiga hakim tersebut. ”Tidak ada pelanggaran menyangkut hukum acara,” kata Hatta.
Hatta mengatakan, MA tak dapat menilai wajar atau tidak perkara narkoba masuk pemeriksaan singkat. ”Sebab, yang mengajukan perkara adalah jaksa,” katanya. Pemeriksaan singkat, kata Hatta, dilakukan apabila pembuktian dan penerapan hukumnya sederhana. Artinya, terdakwa mengaku dan saksi serta barang bukti dapat dihadirkan ke persidangan untuk membuktikan perbuatan terdakwa. ”Karena sederhana, jadi bisa saja cepat,” katanya. ”Dalam satu hari pun bisa.”
Adapun mengenai vonis satu tahun yang dijatuhkan terhadap Gunawan, Hatta mengatakan, itu merupakan kemerdekaan hakim dalam memutus dan Mahkamah tidak dapat mencampuri. Kendati demikian, menurut dia, sebenarnya hakim dapat memvonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa. ”Asalkan tidak melebihi ancaman pidananya,” katanya. Walau tak menemukan pelanggaran, Hatta mengatakan tak tertutup ketiga hakim itu kelak diperiksa lagi. ”Jika ada faktor x, kami akan memeriksanya lagi.”
PELARIAN Gunawan sendiri tak panjang. Dua bulan setelah ia menghilang, dua pekan lalu, kejaksaan membekuk terpidana ini saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekembalinya dari Banjarmasin. Gunawan kini mendekam di penjara Salemba, Jakarta Pusat.
Lolosnya Gunawan membuat Sugiono curiga anak buahnya menerima sesuatu dari tersangka bandar narkoba itu. Tapi, kepada atasannya itu, Sultoni berkeras ia tak mendapatkan apa pun dari Gunawan. Hal yang sama dinyatakan Gunawan ketika ia diinterogasi jaksa yang menangkapnya dua pekan lalu itu. ”Buat apa diberikan kepada mereka? Mending sejak awal saya damai saja,” ujar seorang jaksa menirukan ucapan Gunawan.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan, sulit membuktikan Sultoni menerima suap atau tidak. ”Sebab, tidak ada bukti permulaan yang cukup, misalnya Gunawan mengaku memberikan sesuatu.” Kendati demikian, Jasman mengatakan, kesalahan yang dilakukan Sultoni masuk kategori pelanggaran berat. ”Sanksinya masih dipertimbangkan,” ujarnya.
Menurut Henry, masih adanya aparat yang ”bermain” dengan perkara narkoba adalah bukti mereka belum memiliki komitmen moral memberantas kejahatan narkoba. Padahal, ujarnya, dari penelitian Granat, dalam sehari ada sekitar empat juta pengguna narkoba yang rata-rata setiap orang mengeluarkan duit Rp 200 ribu untuk membeli barang haram itu. ”Peredaran narkoba itu sudah ke mana-mana, karena itu pelakunya mesti dihukum seberat mungkin,” kata Henry.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo