Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sutimin Kembali Ke Desanya

Sutimin, 48, yang membongkar brankas desa Bibrik Madiun, dikubur hidup-hidup oleh kepala desa bersama 4 pamong desa dan 2 warga. (krim)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL Desember lalu kepala-desa bersama 4 orang pamong dan dua warga dari Desa Bibrik Madiun, ditangkap polisi. Tuduhannya: mereka telah berkomplot menganiaya Sutimin dan -- mungkin pula -- mengubur korbannya hidup-hidup. Berikut ini, ceritanya. Sutimin (48 tahun) seperti sudah merasa apa yang bakal terjadi. Hanya bercelana kolor dan berkaos, dengan leher dililit sarung dan mengempit tikar tua, akhir Nopember lalu orang Bibrik ini menyerahkan diri dan minta perlindungan polisi. Kepolisian Jiwan, 5 km dari Madiun, menampung ceritanya. Tujuh bulan yang lalu Sutimin membongkar brankas desanya dengan kunci palsu dan menyikat isinya sebanyak Rp 150 ribu. Habis itu ia terus lari ke Lampung. Di sana ia membeli sebidang tanah. Maksudnya hendak hidup tenteram di perantauan -- walaupun untuk itu ia harus meninggalkan anak-isterinya di desa. Tapi lantaran ia tak membawa sepotong surat keterangan pun, Sutimin dikejar-kejar sebagai penduduk gelap. Bahkan ia dicap sebagai anggota PKI pula. Ditambah rasa kangen isteri dan empat orang anaknya, Sutimin akhirnya kembali ke Jawa. Dia berharap dapat diterima kembali dengan baik-baik oleh Kepala Desa Bibrik, Broto Suwiryo, mengingat hubungan mereka dulu cukup akrab. Sutimin dulunya memang pesuruh Haji Banjar. Dan menurut ceritanya dia pulalah yang ikut turun tangan sampai Broto jadi menantu Haji Banjar. Namun untuk langsung ke Bibrik mohon pengampunan Lurah Broto, a aknya Sutimin punya firasat kurang baik. Karena itu ia lebih dulu mampir di kantor polisi. Sambil minta perlindungan, terus-terang Sutimin mengaku memang pernah jadi maling. Polisi mencoba membongkar catatan peristiwa pencurian di Bibrik sekitar tujuh bulan silam. Tapi tak ada. Rupanya menurut penelitian polisi, kepala desa yang bersangkutan memang sengaja menutupi perkara tersebut. Polisi mengantar Sutimin kembali ke desanya. Tak ada kekhawatiran apaapa. Sebab, menurut Letkol Pol. R. Soebyantoro, Danres Madiun, kesannya Broto dapat menerima Sutimin secara baik-baik. Tapi kenyataannya sikap Broto (45 tahun) di depan polisi lain dengan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Dia masih dendam kepada bekas pesuruh mertuanya. Begitu polisi lalu dari balai desa, Sutimin memperoleh perlakuan Broto yang sebenarnya. Kepala Desa itu turun tangan sendiri menghajar Sutimin. Kamituwo Tohir juga dikerahkan ikut menganiaya. Dengan segumpal batu, tulang lutut dan jari Sutimin yang sudah tak terbalut daging itu dihajarnya. Seharian Sutimin ditahan di balai desa tanpa makan. Saya Mau Dibunuh? Menurut polisi malam harinya ia menghimpun pejabat desa lainnya untuk diajak berunding memutuskan nasib Sutimin. Hanya lima orang kamituwo dan dua sambong yang mau hadir. Selebihnya sengaja menghindar setelah tahu acara rapat itu. Keputusan rapat itu: Sutimin harus dihukum mati. Sambong Sogol dan Ngadimun, di bawah komando Tohir, malam itu juga bertugas menggali lubang kubur di kuburan Sok Gajah. Sedangkan hamituwo lain, Samsuri, mengajak dua orang desa, Sukardi dan Glebot, sebagai algojo. Sukardi dan Glebot dikabarkan mendapat upah Rp 1000 seorang untuk kerja semacam itu. Tapi dalam pemeriksaan polisi kemudian, keduanya katanya hanya melampiaskan dendam lama saja. Sutimin, kata mereka, telah berhutang pada mereka Rp 4000. Malam Jumat 1 Desember bertepatan dengan 1 Syuro sekitar jam 3 pagi Sukardi dan Glebot menggiring Sutimin ke Sok Gajah 100 meter dari balai desa. Tempat ini dikelilingi kebun tebu. Di sana sudah menunggu keempat pejabat desa dengan seramnya membawa lampu teplok. Sedangkan Broto sendiri, didampingi penjaga balai desa bernama Sarju, menunggu eksekusi di sebuah gardu di pinggir jalan antara balai desa dan kuburan. Sutimin sudah habis semangatnya. Di tempat yang menakutkan itu ia masih sempat berkata polos: "Apa saya mau dibunuh?" Begitu cerita para pelaku ini kepada polisi kemudian. Lalu tanpa diperintah siapapun, Sutimin melangkah sendiri ke kuburannya dan terus masuk dan berbaring di sana berbantal sarung tuanya. Kakinya tak bisa lurus. Sebab lubang kubur itu terlalu pendek buat tubuhnya. Sukardi dan Giebot, katanya, sekali menghantam tubuh Sutimin dengan linggis sebelum menguruknya dengan tanah. Tapi menurut pemeriksaan kemudian tak ada tanda-tanda atau bekas pukulan keras di tubuh Sutimin. Tapi semuanya mengakui memang mendengar gerangan dari lubang kubur ketika mereka baru menguruk Sutimin setengah lahat. Pengurukan makin dipercepat. Setelah itu kuburan ditutup dengan daun tebu kering. Maksudnya tentu untuk menghapus jejak penjagalan. Baru setelah semuanya beres, Lurah Broto dijemput. Ia komat-kamit sebentar di atas kuburan korbannya -- kabarnya memang ada mantera khusus untuk menghilangkan jejak suatu pembunuhan. Selanjutnya Broto menganggap urusan Sutimin telah selesai. Tinggal bagaimana menipu penduduk tentang nasib Sutimin. Sarju, penjaga balai desa, pagi buta itu juga sudah keliling warung di desa itu. Ia mengabarkan: Sutimin baru saja diantarkannya pergi jauh. Tapi kabar yang ditiup Sarju itu memperoleh tandingan -- entah siapa pula yang meniupnya: Sutimin telah dibunuh ! Polisi tak membiarkan dua berita tersebut simpang-siur. Seorang polisi yang tinggal di Bibrik melaporkan dua berita tersebut kepada atasannya. Komandan polisi Jiwan bertindak. Dia mengerahkan bawahannya mengusut Sutimin. Tak begitu lama untuk menemukan kuburan Sutimin. Penduduk Bibrik gempar. Dan polisi mulai bekerja dari penemuan itu. Karena saat-saat terakhir Sutimin memang berada di bawah kekuasaan Broto, polisi tak begitu sulit melanjutkan pengusutannya. Beberapa pamong desa dipanggil ke kantor polisi. Mula-mula, selain Glebot dan Sukardi, tak ada pejabat desa yang ditahan. Apalagi kedua orang ini hanya mengaku bekerja atas kemauan sendiri: menculik Sutimin dari balai desa. Maksudnya untuk mencegah perkara agar tak melibatkan si pemberi perintah. Tapi Minyo, adik Sutimin, mengirim laporan tentang kemungkinan keterlibatan para pamong desa atas pembunuhan kakaknya. Laporan diterima baik oleh Danres, Kejaksaan sampai POM ABRI. Kepala Desa dan pamong lainnya segera ditahan. Dari hasil pemeriksaan itulah terungkap cerita di atas. Benar atau tidaknya seluruh kisah tersebut, pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya sampai ke pengadilan kelak akan lebih menentukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus