Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Syarat Remisi Untungkan Narapidana Korupsi

Syarat mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi terlalu mudah. Hukuman tidak memberikan efek jera.

18 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Remisi untuk narapidana korupsi justru menghilangkan efek jera.

  • Undang-Undang Pemasyarakatan harus direvisi.

  • Sebanyak 240 narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin mendapat remisi.

PEMBERIAN remisi Idul Fitir terhadap narapidana korupsi kembali mendapat sorotan. Alih-alih meningkatkan semangat pemberantasan korupsi, pengurangan masa hukuman itu justru dapat menghilangkan efek jera. “Karena rata-rata terpidana kasus korupsi mendapat hukuman rendah,” kata peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, kemarin, 17 April 2024. Apalagi syarat mendapatkan remisi mendapatkan remisi terbilang mudah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun ini memberikan remisi Lebaran kepada 240 narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Jawa Barat. Mereka antara lain bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto; bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat, Irfan Suryanagara; eks Kepala Korlantas Polri, Djoko Susilo; dan mantan Bupati Cirebon, Sunjaya. 

Terpidana kasus korupsi Djoko Susilo setelah salat Idul Fitri 1436 H di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, 17 Juli 2015. TEMPO/Prima Mulia

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wachid Wibowo menyebutkan remisi terhadap 240 narapidana itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Untuk mendapatkan remisi, para tahanan harus berkelakuan baik dan sudah memasuki masa mendapatkan remisi. “Kami tidak membeda-bedakan,” katanya. “Siapa pun warga binaan yang memenuhi persyaratan, kami usulkan untuk mendapat remisi.”  

Dalam Pasal 10 UU Pemasyarakatan disebutkan remisi akan diberikan jika warga binaan berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. Kemudian dalam Pasal 11 dinyatakan narapidana diwajibkan menaati peraturan dan mengikuti program pembinaan secara tertib. Narapidana juga diwajibkan memelihara peri kehidupan yang bersih, aman, tertib, dan damai, serta menghormati hak asasi setiap orang di lingkungannya.

Sebelum persyaratan itu, kata Wachid, narapidana lebih dulu memenuhi syarat administrasi, yaitu sudah menjalani masa pidana selama enam bulan, mengikuti kegiatan di lapas dengan predikat baik, serta tidak menjalani pidana subsider. “Persyaratan lain tentunya tidak dihukum pidana mati maupun seumur hidup,” ujarnya.

Dengan semua persyaratan tersebut, Setya Novanto—terpidana korupsi KTP elektronik (e-KTP) yang divonis 15 tahun penjara—sudah beberapa kali mendapat pengurangan masa tahanan. Pada Lebaran 2024, ia mendapat remisi satu bulan. Jumlah serupa juga dia peroleh pada tahun lalu. Bahkan, pada peringatan Hari Kemerdekaan, Setya mendapat pengurangan masa tahanan tiga bulan sehingga, secara keseluruhan, ia telah mendapat remisi lima bulan.

Pinangki Sirna Malasari, terpidana kasus korupsi, sangat diuntungkan dengan persyaratan mudah untuk mendapatkan remisi. Bekas jaksa di Kejaksaan Agung ini sudah mendapat potongan masa tahanan sejak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan putusan pada 2021.

Di pengadilan tingkat pertama, Pinangki dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan atas kasus suap serta pencucian uang. Kemudian majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukumannya menjadi 4 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan penjara.

Setelah satu tahun menjalani hukuman, Pinangki sudah mendapat pembebasan bersyarat sejak 6 September 2022. Selanjutnya ia hanya dikenai wajib lapor setiap bulan hingga 15 Desember 2024. Status bebas bersyarat itu dapat dicabut bila Pinangki terbukti melakukan pidana.   

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengkritisi pemberian remisi terhadap para koruptor. ICW mendorong pemerintah merevisi dan memperketat aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi. “Setelah (penerapan) UU Pemasyarakatan, pemberian remisi itu terlihat diobral oleh pemerintah,” katanya. 

Menurut Kurnia, pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 oleh Mahkamah Agung berdampak pada kemudahan para koruptor mendapatkan remisi. “Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 itu disebutkan, jika terpidana korupsi ingin mendapatkan remisi, mereka harus berstatus sebagai justice collaborator,” katanya kepada Antara, pekan lalu.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengatur syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Pembatalan aturan itu didasarkan pada putusan Mahkamah Agung melalui uji materi pada 2012. Adapun permohonan uji materi itu diajukan oleh lima terpidana korupsi yang menjadi warga binaan di Lapas Sukamiskin.

Kurnia berpendapat, kemudahan remisi untuk koruptor ini bermuara pada UU Pemasyarakatan. Karena itu, dia berharap undang-undang tersebut ditinjau ulang. “Harusnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kemenkum HAM) meminta tanggapan kepada aparat penegak hukum,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

ANTARA

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus