TEMBOK Rumah Tahanan Salemba rupanya terlalu tebal buat Teddy Pramiady dan Abdul Fatah Azis. Dua terdakwa dalam perkara manipulasi sertifikat ekspor (SE) mainan anak-anak PT Tomy Utama Toy, yang dituntut hukuman masing-masing 20 tahun penjara, itu seharusnya dinihari Senin pekan lalu sudah dibebaskan demi hukum dari Rutan Salemba di Jakarta, walau hakim belum memvonis mereka. Sebab, sesuai dengan hukum acara pidana, masa penahanan bagi mereka sudah habis. Tetapi kedua terdakwa itu hanya boleh berharap, begitu pula keluarga mereka, juga para pengacara mereka, yang pagi-pagi sudah menjemput di Salemba, kecele. Sebab, tanpa setahu mereka, Pengadilan Negeri Jakarta Utara sepekan sebelumnya membuat penetapan baru: kedua terdakwa itu harus ditahan dalam perkara ekonomi. Juntrungannya, perkara korupsi dan ekonomi yang tengah diadili, terdakwa sebelum disebutkan ditahan hanya untuk perkara korupsi saja. Kini giliran penahanan untuk perkara ekonominya. Paham tak paham, ya, begitu adanya. Surat penetapan Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara yang ditandatangani Hakim R. Saragih itu kabarnya dikeluarkan setelah mendapat lampu hijau dari Pengadilan Tinggi Jakarta. Sebelumnya pihak Kejaksaan Jakarta Utara yang meminta penahanan baru itu. "Sebab, kami khawatir mereka akan lari bila sempat keluar dari tahanan -- apalagi sebelumnya mereka sudah kami tuntut hukuman berat yang tentu mengagetkan," ujar seorang pejabat kejaksaan, menjelaskan upaya baru mengatasi habisnya masa penahanan sesuai dengan KUHAP itu. Upaya kejaksaan itu tentu saja diprotes tim pembela, Martin Thomas, Budi Hariyanto, dan Sudirman Munir. "Rupanya ketentuan KUHAP bahwa terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan bila masa tahanan habis, walau perkara belum vonis, membuat alergi hakim-hakim. Kalau begitu caranya, apa lagi yang bisa kita cari dari lembaga peradilan ?" ujar Martin, yang bersama-sama rekan-rekannya mengirim surat protes ke Mahkamah Agung. Martin menganggap aneh penetapan hakim untuk penahanan baru tadi. Sebab, pada pelimpahan berkas perkara dari kejaksaan -- baik korupsi maupun ekonomi -- disebutkan, kedua terdakwa ditahan dalam kedua perkara itu. Kasus yang melibat Teddy dan Azis memang pantas membuat penegak hukum enggan melepaskan terdakwa dari tahanan. Kedua orang itu, menurut jaksa yang membawa perkara itu ke sidang, T.M. Siahaan, terlibat dalam manipulasi ekspor yang merugikan negara sekitar Rp 2,4 milyar, bersama Direktur PT Tomy Utama Toy, Nyonya Eha Saleha, dan pemilik perusahaan itu, Santoso Tjoa, yang kini dinyatakan buron. (TEMPO, 24 Mei). Teddy dan Azis, menurut Jaksa Siahaan, berperan penting dalam kejahatan itu. Sebah, Teddy katanya, yang mengurus sclurul dokumen ekspor setelah ditandatangani 1 Saleha. Sementara itu, rekannya, A berperan sebagai EMKL yang mengeluarkan barang dari pelabuhan Tanjungpriok. Sebab itu, Jaksa Siahaan menuntut kedua orang itu masing-masing 10 tahun penjara untuk perkara korupsi dan 10 tahun untuk perka ekonomi. Tuntutan itu dianggap terdakwa berlebihan. "Gila, memangnya kami berbuat apa, komentar kedua terdakwa mengenai tuntutan itu. Teddy bertekad akan mengusut semua otak manipulasi itu yang katanya terdiri dari Santoso Tjoa, Eha Saleha, dan United City Bank, bila nanti dibebaskan dari penjara. Mereka merasa hanya dijadikan tumbal dalam kasus itu. "Santoso Tjoa dan Eha Saleha enak-enak di luar, sementara kami -- hanya karyawan biasa di perusahaan itu -- meringkuk dalam tahanan," ujar Teddy. Persoalannya memang di situ. Pihak kejaksaan, selain tidak menahan Eha Saleha, juga gagal menangkap Santoso Tjoa. "Kami sudah berusaha mencarinya, tapi belum ketemu," kata Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI, Soedjono Atmonegoro, yang berniat mengadili Santoso secara inr absentia. Santoso, yang sempat ditahan Polri sebelum ditahan luar dan kemudian buron, menurut kabar sekarang berada di luar negeri. Bahkan, entah dari mana, ia mengirim surat kepada Jaksa Agung Hari Soeharto menuding dua orang pimpinan United City Bank (UCB) menipu dan menikmati semua uang hasil manipulasi. Tentang Eha Saleha, guru SD itu, menurut jaksa, hanya boneka saja -- makanya tidak ditahan. "Ia tidak berperan apa-apa kendati menandatangani surat-surat," kata sumber itu. Apalagi, sebagai direktur, di bawah tangan Nyonya Saleha memberi kuasa kepada Santoso dan Teddy untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Apa pun, jelas sikap keras penegak hukum tercermin baru buat Teddy dan Azis, sehingga mengundang protes. Hakim Saragih, yang mengadili kedua terdakwa dalam dua perkara itu, membantah pihaknya melanggar KUHAP hanya semata-mata ingin tetap menahan Teddy dan Azis. Pada pendapatnya, singkatnya, lain perkara lain pula jenis penahanannya: " 'Kan tidak mungkin orang ditahan untuk dua perkara -- bagaimana bisa tubuhnya yang kanan dan ditahan untuk perkara korupsi sementara yang kiri untuk perkara ekonomi?" Sementara itu, Hakim Tinggi Parman Soeparman, juru bicara peradilan banding, menolak menjelaskan kebijaksanaan lembaganya dalam kasus itu. "Persoalannya sudah di Mahkamah Agung. Jika memang penahanan yang kedua itu akibat kelemahan KUHAP, mungkin Mahkamah Agung akan mengeluarkan surat edaran untuk melengkapinya," kata Parman. Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini