Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG Kantor Pos Cabang Lenteng Agung, Jakarta Selatan, tampak lengang. Kamis pekan lalu, dari tiga loket yang ada, hanya dua yang buka. Tiga petugasnya terlihat sedang asyik mengobrol. ”Ramainya hanya ketika orang mengambil pensiun dan bayar listrik,” kata Marlin, penjaga kantor.
Suasana yang sama terlihat di Kantor Pos Cabang Pasar Minggu. Di sini ada lima orang yang terlihat mengurus pengiriman di ruang pelayanan. Deretan kursi di ruang tunggu kosong melompong. ”Sekarang makin jarang orang yang pakai jasa pos,” kata Kepala Kantor Sihabudin. Keramaian terakhir di kantor ini terjadi beberapa waktu lalu saat digunakan untuk tempat penyaluran bantuan langsung tunai—program pemerintah untuk rakyat miskin.
Nama kantor pos memang tak ”seharum” dulu lagi. Dulu, inilah kantor yang menjadi tumpuan masyarakat untuk mengirim surat, duit, atau memberi kabar supercepat—dengan telegram—jika daerah yang dituju tak ada alat komunikasi apa pun. Kantor pos ada di seluruh penjuru Tanah Air.
Namun berkembangnya teknologi komunikasi yang demikian cepat membuat perusahaan ini seolah-olah tak ada gunanya. Komunikasi surat digantikan percakapan lewat telepon seluler. Surat ucapan digantikan pesan pendek. Adapun pengiriman wesel, cukup mengklik lewat anjungan tunai mandiri. Tak mengherankan jika pada pertengahan dekade 1990, pengiriman surat lewat pos lantas anjlok 70 persen.
Menghadapi kondisi seperti ini, PT Pos melakukan pembenahan. Mereka juga merambah bisnis keuangan dan pengiriman logistik. Tapi, hingga 2005, keuntungan tak kunjung diraih. Bahkan, pada 2004, perusahaan yang memiliki 3.500 kantor cabang itu mencatat rekor kerugian tertinggi, yakni Rp 160 miliar. Titik cerah baru terlihat pada 2006. Menjelang tutup tahun, PT Pos, menurut juru bicaranya, Joesman Kartaprawira, untung Rp 5 miliar.
Menurut Joesman lagi, pemasukan terbesar PT Pos kini lewat biaya jasa pengiriman surat perusahaan-perusahaan besar. Tak perlu heran. Dengan cabang di mana-mana dan ”pasukan pak pos” yang hafal setiap jengkal wilayahnya, inilah keunggulan PT Pos Indonesia yang tak terlawan perusahaan jasa pengiriman barang mana pun. Maka perusahaan operator telepon, penerbit kartu kredit, dan perusahaan asuransi, misalnya, mempercayakan pengiriman surat bagi pelanggan dan nasabahnya lewat perusahaan ini.
Kendati PT Pos kini berorientasi bisnis, menurut Joesman, mereka tetap tak bisa meninggalkan fungsi ”pengabdian” kepada masyarakat. Inilah yang membuat PT Pos, misalnya, tak bisa sembarangan menutup cabang mereka di daerah terpencil, yang jelas-jelas setiap tahun merugi. ”Ini konsekuensi perusahaan negara.”
Adek, Yoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo