Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Waspada Modus Penipuan Online yang Makin Beragam

Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai modus penipuan online. Tak bisa hanya berharap kepada pemerintah.

6 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus penipuan secara online cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

  • Peraturan hukum yang berlaku saat ini tidak lagi memadai untuk mencegah modus-modus baru penipuan online.

  • Kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan agar tidak menjadi korban.

KASUS penipuan secara online cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun ini saja, hingga Juni 2024, Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya mencatat 255 laporan. Dari jumlah itu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus sudah menangani 222 perkara dengan rasio penyelesaian mencapai 56,6 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun laporan yang masuk pada 2022 sebanyak 479 kasus dan pada 2023 sebanyak 753 kasus. Lebih dari separuh laporan yang masuk itu sudah ditangani dengan tingkat penyelesaian pada 2022 sebesar 49,8 persen dan pada 2023 sebesar 52,2 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengklaim, untuk menekan jumlah kasus, kepolisian gencar mengimbau kepada masyarakat agar mewaspadai modus-modus penipuan yang digunakan pelaku. “Sehingga masyarakat bisa mengantisipasinya agar tidak menjadi korban,” ujarnya, kemarin, 5 Juli 2024.

Menurut Ade Safri, modus yang kerap digunakan untuk memperdaya korban adalah memberi iming-iming hadiah atau tawaran investasi. Untuk itu masyarakat diminta mewaspadai setiap tawaran semacam itu, baik melalui telepon maupun pesan pendek. “Banyaknya korban karena rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat,” ucapnya. Ia menyarankan masyarakat membekali diri dengan literasi keuangan agar mampu berpikir logis untuk menahan diri dan terhindar dari kerugian. 

Modus lainnya bisa dalam bentuk ancaman atau berita tentang anggota keluarga yang mengalami kecelakaan. Untuk menghadapi penipuan semacam ini, kata Ade, kuncinya adalah tidak panik. Sebab, orang dalam kondisi panik tidak bisa menggunakan akal sehat sehingga mudah diperdaya dan mengikuti keinginan pelaku. “Jangan pernah mengirim uang apabila ada permintaan ataupun ancaman,” katanya. “Juga jangan pernah mengirim kode OTP dan data pribadi.”

Ilustrasi pengguna membuka YouTube pada ponsel. PEXELS

Modus terbaru yang sedang ditangani Polda Metro Jaya adalah penipuan kerja paruh waktu. Korban diiming-imingi imbalan hanya dengan mengklik "like" dan "subscribe" video di YouTube. Untuk pekerjaan yang terbilang mudah itu, korban dijanjikan komisi sebesar Rp 31 ribu setiap video. Namun korban diwajibkan menyetor uang sebagai deposit ke rekening tertentu agar bisa menarik komisi yang dijanjikan.

Dalam perkara ini, polisi telah menangkap dua tersangka, yakni pria berinisial EO, 47 tahun, dan wanita berinisial SM, 29 tahun. Sedangkan satu tersangka berinisial D saat ini dinyatakan buron. Polisi menyebutkan D adalah otak kejahatan tersebut. Pria itu diduga berada di Kamboja.  

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai modus kejahatan terus berkembang. Sementara itu peraturan hukum yang berlaku saat ini tak lagi memadai. “Di era teknologi yang membuat semua serbacepat, kepolisian juga harus berpacu dan belajar mengenali modus-modus kejahatan baru yang dikemas dengan teknologi,” katanya. Karena itu, kepolisian dituntut bekerja lebih ekstra untuk mengantisipasi kejahatan dengan minimnya tingkat literasi digital masyarakat.

Kriminolog Achmad Hisyam lebih menyoroti peran pemerintah yang dinilai gagal menyejahterakan masyarakat. Alasannya, pemicu utama munculnya penipuan ini tak jauh-jauh dari urusan kebutuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena lapangan pekerjaan yang makin sulit. “Banyak sekali PR pemerintah,” katanya.

Menurut Achmad, kasus penipuan tidak akan pernah berhenti selama masyarakat atau target market dari penipu tidak dibenahi. “Pembasmian penipuan online itu bagus. Itu harus. Tapi yang lebih harus lagi adalah kondisi masyarakatnya ini,” ujarnya. Pemerintah, kata dia, harus mengedukasi serta menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Erni Rahmawati, doktor Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia, melihat kasus penipuan online ini melalui teori victim precipitation dan routine activity yang berkaitan. “Dua teori itu masuk untuk menjelaskan penyebab penipuan,” katanya. “Pencegahannya juga terkait dengan dua teori itu.”  

Pertama, presipitasi korban yang memberi ruang bagi pelaku untuk menjadikan dirinya korban. “Ingin cepat kaya, misalnya, yang akhirnya malah membuka dirinya untuk tertipu,” ujar Erni. Dalam hal ini, kata dia, pencegahan yang paling tepat adalah mengedukasi korban dengan memberi pengetahuan tentang berbagai modus penipuan online.

Kedua, teori aktivitas rutin. Dalam teori ini, ada tiga elemen yang bersatu, yakni pelaku yang termotivasi, target atau korban yang memungkinkan, dan tidak adanya penjagaan. Korban dan pelaku akan mudah bertemu jika tidak ada penjagaan. “Siapa yang menjaganya? Ya, sebenarnya seharusnya negara,” katanya.

Karena itu, institusi pemerintah harus bisa menjadi "guardian" agar pelaku tidak bisa sampai menjadi suitable target yang diincar pelaku. “Maka perlu dilakukan pencegahan oleh negara, misalnya dengan cyber crime.” 

Dari sisi psikologis, psikolog Rose Mini Agoes Salim menilai penipuan bisa terjadi karena pelaku telah merusak otak korban agar tidak bisa berpikir logis. Caranya, pelaku memberi harapan sehingga korban merasa ada jalan pintas untuk mendapat uang dengan cepat. “Kalau korban berpikir logis kan enggak mungkin terjadi,” katanya. “Kalau orang dalam keadaan sulit, segala pengharapan itu pasti membuat dia ingin mencobanya. Jadi, dirusak dulu dengan pembiasaan.”  

Menurut Rose, penipuan online terjadi bukan karena masyarakat kurang melek teknologi. Permasalahan ini justru terbentuk karena sikap manusia itu sendiri. Ketika korban menerima keuntungan di awal, meskipun kecil, seolah-olah hal itu membuktikan bahwa keuntungan yang dijanjikan adalah kenyataan, bukan penipuan.

“Secara psikologis dia sudah terjerat untuk berpikir bahwa ada kemungkinan keuntungan besar itu benar,” kata Rose. Dengan begitu, ketika harapan dan keinginan tumbuh makin kuat, akal sehat tentu sudah tidak digunakan. “Untuk itu perlu ditanamkan bahwa enggak ada uang yang datang secara instan.”
 
Psikolog dari Yayasan Pulih, Livia Iskandar, sependapat dengan Rose. Dia meminta masyarakat waspada dan memiliki kesadaran tersendiri dengan modus-modus penipuan yang belakangan makin marak. Masyarakat tidak cukup hanya berharap pada campur tangan pemerintah. Sebab, kejahatan di media sosial sudah menjadi sesuatu yang mengerikan. “Pusat data kita saja dijebol. Pada akhirnya kita memang harus punya rambu-rambu sendiri,” katanya.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Intan Setiawanty dan Yohanes Maharso berkontribusi dalam tulisan ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus