Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Terbuai Dolar dalam Bungkusan

Warga Kamerun menipu seorang pengusaha. Aparat kepolisian dan tentara terlibat penagihan dan menculik.

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam sel Kepolisian Daerah Metro Jaya, mereka bak dua sahabat. Statusnya sama pula. Keduanya sama-sama tersangka sekaligus korban kejahatan. Yang satu, Haji Udin Aris, seorang pengusaha. Polisi menuduhnya menculik Nico Tchimene, warga Kamerun. Uniknya, Nico juga berstatus tahanan di sel itu, karena dituduh menipu Udin.

Hingga Jumat pekan lalu genap sepekan mereka menghuni tahanan. Setiap hari, mereka akrab berbincang-bincang dalam ”dwi bahasa”. Udin, warga Jalan Garuda, Jakarta Timur, berbahasa Indonesia, Nico menggunakan bahasa Prancis. Di tengah mereka ada penerjemah, seorang wanita bernama Levina.

Sebelum mengenal Nico, empat bulan lalu, Udin bersahabat dengan Mathew, juga dari Kamerun. ”Kami berencana bekerja sama bisnis,” kata pria berusia 48 tahun ini. Apa bisnisnya? ”Jual beli dolar,” kata Udin.

Belum juga bisnis dimulai, Mathew keburu tersandung masalah keimigrasian. Dia dideportasi ke negaranya, Agustus lalu. ”Kelak datang teman saya dari Bangkok,” pesan Mathew kepada Udin kala itu.

Dua bulan kemudian, seseorang bernama Nico menelepon Udin. ”Saya pengganti Mathew,” kata pria itu. Mereka sepakat bertemu membicarakan bisnisnya. Akhir Oktober lalu, Nico menyambangi Udin di Jalan Garuda, Jakarta Timur. Dia datang bersama Ben yang serumpun dengannya. ”Di Kamerun, Nico adalah seorang guru ngaji,” kata Ben kepada Udin. Kendati warga Kamerun, Ben fasih berbahasa Indonesia.

Malam itu mereka hanya berkenalan. Pertemuan berakhir dengan janji keduanya akan saling bersua lagi. Dua pekan berselang, Nico dan Ben kembali. ”Apakah kita bisa berbisnis,” tanya Ben. Dia menawarkan bisnis dolar dengan keuntungan berlipat, satu berbanding dua.

Kendati tak masuk akal dalam hitungan dagang, Udin tetap tergiur. Malam itu, diputuskan Udin menyediakan US 85 ribu setara Rp 776,9 juta (kurs Rp 9.140), Ben akan membelinya dengan US 175 ribu. Mereka sepakat bertransaksi, lokasinya tetap di rumah Udin pada 15 November lalu.

Saat mereka pamit, diam-diam Udin menyewa tukang ojek untuk membuntuti taksi yang ditumpangi dua Kamerun itu. Diketahui mereka menginap di Hotel Pardede, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.

Sesuai jadwal, Ben dan Nico muncul lagi. Kali ini Ben menenteng kantong plastik transparan. Samar-samar, Udin melihat bergepok-gepok dolar di dalamnya. Lalu, Udin menyodorkan dolarnya. Usai menghitung, Ben membungkus dolar Udin dengan kantong plastik lain yang telah disiapkan.

Anehnya, ketika pamit, kedua warga Kamerun ini membiarkan dua bungkusan plastik itu tergeletak di meja. Udin sempat menanyakannya. Ben menjawab, ”Besok saya ambil, sebab sudah malam”. Nah, kepercayaan Udin pada dua pria berkulit legam itu semakin dalam. Dia menyimpan dua bungkusan itu dalam lemari besi miliknya.

Esoknya, Ben dan Nico tak muncul. Berdebar-debarlah dada Udin. Penasaran, dia mengambil dua bungkusan itu. Dia menyobek bungkusan miliknya, lalu dia ambil tiga lembar dolar. ”Astaga, kertasnya licin. Ini palsu,” kata ayah dua anak ini. Di dalam bungkusan Ben juga yang ada dolar palsu. Dolar asli miliknya raib.

Hari itu juga, Udin mencari dua rekan ’bisnis’-nya ke Hotel Pardede. Dari pihak hotel diketahui, keduanya menginap di kamar 308. Ke sinilah Udin menuju. Namun, pintu terkunci rapat. Belakangan diperoleh keterangan, Nico sedang bersembunyi di atap hotel, di lantai lima.

Mengetahui sedang dikejar, Nico meloncat ke lantai tiga. Selamat. Lalu hup… dia melayang lagi dan mendarat di aspal. Nico terduduk. Udin tak berani mengikuti gaya Nico. Dia menggunakan tangga. Di belakang hotel, dia mendapatkan Nico yang telah patah pahanya.

Hari itu juga, Udin membawa Nico ke Unit Gawat Darurat, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Sayang, Nico tak me-ngantongi uang sedolar pun. Agar paham bicara, Udin menghubungi seorang pe-nerjemah, Levina. ”Uangnya pada Ben,” kata Nico pada Levina.

Sorenya, datang tiga pria berbadan tegap menjemput Nico. Udin tak kuasa menahan. Dia meminta Levina mencari pertolongan agar Nico kembali padanya.

Akhirnya, Udin bertemu dengan Yudo Basuki, 50 tahun, yang mengaku tentara berpangkat Mayor Jenderal, pada Sabtu 18 November lalu. Di sebuah restoran di Cipete, Jakarta Selatan, Yudo memperkenalkan Yoseph Salosa, 45 tahun. Dia mengaku Angkatan Udara berpangkat Mayor.

Ada juga pria bernama Sartan, 35 tahun, yang mengaku tentara dari pasukan khusus berpangkat kapten. Lalu ada pria yang mengaku perwira polisi dari Mabes Polri. Selain itu, ada Ongen, 48 tahun, Melianus, 34 tahun, dan Sukoro, 50 tahun, semuanya preman. Menurut seorang polisi, kelompok ini terbiasa menjadi penagih utang.

Udin tak bersedia menjelaskan apa isi pertemuan itu. Yang jelas dua hari kemudian mereka menjemput Nico di Jalan Tebet Dalam, Jakarta Selatan.

Nico dibawa berpindah-pindah. Semalam di sebuah hotel di Halim, Jakarta Timur. Esoknya ke Kompleks Jatiwaringin, Bekasi Barat. Sehari kemudian, dibawa menginap ke Hotel Bekasi Indah. Terakhir di sebuah tempat kos di kawasan Pramuka, Jakarta Pusat.

Selama dalam tangan mereka, Nico disuruh menghubungi Ben untuk mengganti uang Udin. Nico mematuhinya, dan berjanji mencari uang itu. Namun selalu nihil.

Rupanya ada teman Nico yang melaporkan ke polisi. ”Tindakan seperti itu satu rangkaian dengan premanisme,” kata Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, kepada Tempo. ”Mereka ingin proses instan yang menerabas proses hukum.”

Itulah sebabnya, reserse di bawah komando Ajun Komisaris Besar Fadhil Imran, Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan di Reskrim Polda Metro Jaya, mengusut kasus ini. Tak repot bagi polisi untuk mengungkapnya, apalagi tindakan itu dilakukan secara terbuka. Sehingga polisi dengan mudah pula mengantongi identitas dan keberadaan tersangka.

Pertama ditangkap adalah Yoseph dan Satran di sebuah kafe di kawasan Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis dua pekan lalu. Bersama mereka dibekuk juga Melianus dan temannya Jibril, 35 tahun. Polisi menyita pistol FN, tiga magazene dan 25 butir peluru. Dari pengakuan mereka, polisi mendapatkan lokasi Nico disekap. Semua tersangka dibawa ke Polda Metro Jaya.

Hari itu juga, polisi menangkap Udin di rumahnya. Saat ditangkap, Udin sedang bersama Levina, Yudo, dan Sukoro. Semuanya ikut ditangkap. Dari rumah Yudo di Bekasi, polisi menyita dua pakaian dinas tentara yang dibahunya ada pangkat Mayor Jenderal dan Letnan Kolonel. ”Ternyata dia tentara gadungan,” kata seorang penyidik.

Polisi telah menyerahkan dua tersangka yang memang tentara ke kesatuannya masing-masing. Komandan Polisi Militer Angkatan Udara, Marsekal Madya Irawan Supomo, yang dihubungi Koran Tempo, tak bersedia memberikan keterangan. Begitu juga Mayor Sumeri, Kepala Penerangan Kopassus.

Sedangkan tersangka sipil, semua-nya berada dalam tahanan Polda Metro Jaya. Di dalam tahanan, Udin masih berharap uangnya kembali, sementara Nico masih menabur janji akan membayarnya.

Nurlis E. Meuko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus