Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI termasuk kasus yang sangat jarang. Korban: wanita hamil yang menunggu kelahiran jabang bayinya. Satu kasus terungkap di Bekasi, Jawa Barat, akhir November lalu. Pelakunya, seorang pemuda lugu yang tergiur oleh hanya puluhan ribu rupiah. Kasus yang lain, hanya gara-gara terhina istri sendiri pelakunya divonis pengadilan di Banyumas, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu, 16 tahun penjara. Kasus di Banyumas bermula dari cinta. Seperti tekad Wasum, 28, ketika menikahi Saminem, 24, delapan bulan yang lalu. Meski Saminem adalah janda dengan anak satu, cinta Wasum terbukti, tak lama setelah menikah Saminem mengandung. Tentu, itu benih Wasum, pemuda bertubuh sedang yang dikenal penduduk Desa Plana, Kecamatan Somagede, Banyumas, sebagai si penyadap nira, mata pencarian sehari-harinya. Tapi, kata orang, cinta dan benci adalah dua sisi mata uang yang sama. Benci itu memang kemudian muncul di hati Wasum, suatu malam, awal April lalu. Dengan mata gelap, keris di tangan kiri dan sabit di tangan kanan, malam itu, Wasum memburu istrinya yang tengah lelap. Satu bacokan pada wajah Saminem, disusul bacokan pada leher, dan ditutup delapan tusukan di perut yang membukit, menyebabkan wanita sekaligus jabang bayi yang dikandungnya tewas seketika. Wasum ternyata tak cuma sampai di situ. Atmi, 18, adik korban, terkena bacokan Wasum di pahanya. Untung, nyawa gadis itu tak melayang seperti nasib kakaknya. Juga, senasib Atmi, Sardi, 22, adik laki-laki korban, terkena sodokan kaki Wasum yang kalap, sampai pingsan. Terakhir, sasaran mata gelap Wasum, tak lain, perutnya sendiri keris di tangannya dicobloskan ke perut itu. Aksi Wasum masih belum tamat, walau darah berhamburan dari perutnya. Ia masih mampu menyeret tubuhnya, kemudian menceburkan diri ke sumur di belakang rumah. Sayang, upaya Wasum bunuh diri tidak berhasil. Batang bambu yang melintang di tengah liang menyebabkan tubuh Wasum tersangkut, kemudian selamat setelah diangkut penduduk. "Saya betul-betul mata gelap, karena saya terhina. Saya sakit hati, Saminem selalu memarahi saya. Dia sangat cerewet dan keras kepala," ujar Wasum kemudian. Marah-marah Saminem, menurut Wasum, memuncak seminggu sebelum peristiwa itu terjadi. Bermula dari Saminem yang marah-marah karena Wasum menolak disuruh memberesi dipan. Lalu, suami itu tersinggung, ngambek, pindah ranjang ke rumah bibinya, yang masih satu kampung. Kemudian, datang surat Saminem, yang isinya membuat Wasum naik darah. Wasum pun menulis surat balasan bernada keras. Isi surat itu, sepanjang dua halaman dalam bahasa Jawa, di antaranya, "Awas, kamu saya bacok. Demi cintaku, daripada aku tak bisa melihat anakku, lebih baik kutumpas saja semua keluargaku." Agaknya, surat si istri berisi permintaan cerai. Semula, Wasum dituntut Jaksa Ch. Noerseno 18 tahun penjara. "Ia terbukti melakukan pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu," kata Jaksa. Tapi, dalam persidangan selanjutnya, Rabu pekan lalu, Hakim Soeprajitno, S.H., mengurangi tuntutan 2 tahun. "Hal yang meringankan terdakwa, ia jujur, sopan, berterus teran selama persidangan, dan belum pernah dihukum," kata Pak Hakim kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. Berbeda dengan kasus Wasum, yang bermotifkan cinta yang tergusur sakit hati itu, Marhalim, 26, pemuda yang dikenal lugu di kampungnya Cikarang, Bekasi, menjadi beringas cuma karena uang Rp 40 ribu. Tanpa memperhitungkan akibatnya, Marhalim, yang hanya mengecap bangku sekolah sampai kelas III SD, tega menjagal Nyonya Suripah, 27. Padahal, korban sedang hamil sembilan bulan, di akhir November lalu. Tambahan lagi, wanita yang tinggal menunggu waktu bersalinnya beberapa hari lagi itu, ternyata tetangga dekat, dan induk semang Marhalim sendiri. Peristiwanya bermula ketika Marhalim, yang kebetulan istrinya sedang mengandung delapan bulan, nongkrong di rumah korban. Sejak lima hari sebelumnya, korban memang sedang sendirian, dan tugas Marhalim sejak setahun lalu, antara lain, mengawal korban yang kerap ditinggal pergi suaminya. Rahmat, sang suami, konon, gemar ziarah ke luar kota. Nah, gara-gara kepadanya diperlihatkan uang Rp 40 ribu, lelaki tak bermata pencarian jelas itu mata gelap. Diiringi guntur dan hujan lebat, dan selepas azan magrib, pemuda kurus ceking itu tiba-tiba menodongkan pisau yang diambilnya dari dapur ke leher korban. Marhalim mengancam agar korban menyerahkan uangnya yang disimpan di balik kutangnya, yang baru saja diperlihatkan. Pergulatan memang terjadi. Tapi Marhalim, yang kalap, berhasil menghunjamkan pisau di tangannya ke leher Suripah, tiga kali. Marhalim semakin kalap, dibentur-benturkannya kepala korban ke lantai hingga pecah. Setelah menggaet uang korban, ia lari dari rumah itu. Suripah, beserta bayi yang masih berada di dalam perutnya, tewas beberapa menit kemudian. Ini berdasar visum dari dokter RS Cipto Mangunkusumo, yang kebetulan bertugas di Bekasi. Polres Bekasi tak begitu sulit melacak tersangka. Berdasarkan beberapa petunjuk di tempat kejadian dan sekitarnya, polisi kuat menduga, pelakunya bukan orang jauh. Memang, Marhalim kemudian ditangkap di rumahnya, 27 jam setelah kejadian. "Saya sangat ketakutan, sehingga lupa istri yang hamil 8 bulan di rumah. Uang Mbak Suripah saya belanjakan minum dan perempuan di Karawang," tutur Marhalim kemudian, kepada Agus Sigit dari TEMPO. Ia sangat menyesal, dan mengaku bahwa perbuatannya merenggut nyawa orang lain itu baru pertama kali dilakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo