Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYANYIAN yang biasanya terdengar di gereja-gereja, "Haleluya,"
tiba-tiba dikumandangkan sekitar 2 ang wanita, diiringi denting
ketukan pada pagar besi rumah Jalan D.I Panjitan no. 153 A,
Medan. Ketika suara koor itu tambah meninggi, Wakil Jurusita
Pengadilan Negeri Medan, Tangs Tarigan, bersama petugas-petugas
Kantor Lelang Negara, berlari kembali ke mobil masing-masing.
Sebelum menutup pintu mobil, Tarigan masih sempat berteriak,
"lelang terbuka ini akan dilakukan di Kantor Lelang Negara
Medan."
Gagallah pelaksanaan lelang rumah milik almarhum bekas walikota
Med.an. Mr. Jaidin Purba, 14 Oktober lalu. Kumah itu adalah
salah satu dari 17 buah rumah milik almarhum yang diperintahkan
Ketua Pengadilan Negeri Medan, Chabib Sarbini, untuk disita
eksekusi berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Ke-17 rumah itu
disengketakan oleh ahli waris Jaidin dengan ahli waris Jahot
Purba--adik Jaidin sebapak lain ibu--selama 20 tahun ini.
Dari semua rumah itu, baru tiga rumah yang selesai dilelang. Dua
buah rumah lagi termasuk di Jalan Panjaitan itu direncanakan
dilelang sampai akhir oktober tapi gagal. Rumah-rumah lainnya
gagal pula, karena sudah atas nama orang lain. "Rumah lainnya
itu sudah saya jual untuk belanja anak-anak dan sekolah mereka,"
ujar janda almarhum Jaidin, Nyonya Loina boru Gultom, 62 tahun.
Gugatan itu bermula, ketika Jahot Purba merasa mempunyai hak
atas harta peninggalan abangnya, Jaidin dan mengajukan gugatan
ke Pengadilan Negeri Medan tahun 1963. Alasan Jahot, harta
abangnya itu merupakan harta bersam: antara Jaidin dengan istri
pertamanya (orang Belanda) Anna Maria van Hek (almarhum).
Harta itu menurut Jahot, sudah ada ketika Jaidin mengawini Loina
boru Gultom, janda mendiang abangnya sendiri, Jakodom. Jahot
merasa punya hak, karena ada sebuah salinan akta autentik berupa
testamen kakak iparnya, Anna Maria, di depan notaris Henri Louis
Morra 22 Februari 1933, di Belanda. Isi testamen itu: menunjuk
Jahot sebagai ahli waris bersama Johan van der Steur (sekarang
tidak diketahui alamatnya).
Alkisah, tahun 1930, seorang pemuda kelahiran Pematang Siantar,
Jaidin, merantau ke Batavia untuk melanjutkan sekolahnya di
Stovia (kedokteran. Anak Batak ini menumpang di rumah janda
Residen Batavia, Anna Maria. Hubungan kedua manusia ini
ternyata berlanjut Jaidin dibawa Anna ke Belanda dan
disekolahkan di Leiden sampai menyandang gelar sarjana hukum,
tahun 1937. Mereka kembali ke Jakarta dan menikah di Catatan
Sipil pada tahum 1939. Jaidin ketika itu sekitar 33 tahun Aan
Anna berusia 59 tahun.
Begitulah, tahun 1930-an itu, Jahot menyusul abangnya ke
Jakarta. Ia mendapat tempat pula di hari Anna. Pada tahun 1939
mereka bertiga kembali ke Pematang Siantar. Jaidin berpraktek
sebagai pengacara dan adiknya menjadi assiten.
Tahun 1952, Jaidin kawin lagi dengan Loina boru Gultom. Dari
perkawinan dengan janda abangnya ini, Jahlin mendapatkan dua
orang anak Roselina dan Guntur. Karir Jaidin kemudian juga
senanjak. Ia kemudian menjadi walikota Medan (1947-1952) dan
terakhir anggota DPRGR dan Konstituante (1956-1958). Pada
masa-masa itulah Jaidin membeli 17 buah rumah itu. Jahot sendiri
terakhir bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan.
Jaidin meninggal tahun 1961, dan istri pertamanya, Anna,
mendahuluinya tahun 1960, tanpa ada keturunan.
Dalam gugatan ke pengadilan, Jahot meminta agar perkawinan
abangnya dngan Anna dinyatakan sah, dan sebaliknya perkawinan
Jaidin dengan Loina dinyatakan batal. Alasannya, perkawinan
kedua itu tidak sah menurut adat Batak Simalungun. Sekaligus, ia
minta disahkan testamen Anna, yang menunjuk dirinya sebagai ahli
waris.
Pada 5 September 1970, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara
memutuskan sahnya kedua perkawinan itu, sekaligus testamen Anna
untuk Jahot. Karena itu, Loina (istri Jaidin) dihukum
menyerahkan seperempat bagian dari lima rumah yang dimilikinya
dan 3/16 bagian dari rumah lainnya yang juga dikuasainya. Pada
23 Juli 1973, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan kedua
pihak. Berarti keputusan Pengadilan Tinggi itu berlaku.
Sebelum putusan Mahkamah Agung jatuh, Jahot Purba, penggugat,
meninggal, tahun 1971. Sebab itu almarhum diwakili istrinya,
Nyonya Lomina boru Silalahi, bersama anaknya, Aladin. Pada 18
Agustus 1981, Lomina berhasil mencapai perdamaian dengan
iparnya, Loina (janda Jaidin, sebelum eksekusi pengadilan
dilaksanakan. Isi perdamaian di muka hakim itu: sisa rumah
sengketa yang tinggal lima buah dibagi--empat rumah diserahkan
kepada janda Jahot, Lomina, dan satu rumah di Jalan Panjaitan
itu untuk janda Jaidin, Loina.
Tapi agaknya, perdamaian itu tidak memuaskan Loina. Begitu ia
menanla tangani perjanjian, ia merobek sehelai daun sirih.
"Kalau rolekan daun sirih ini bisa bertemu kembali, barulah
keturunan kita akan bersatu," ujar Loin: kepada iparnya, Lomina,
52 tahun.
Benar saja, perdamaian itu tidak ada artinya, meski surat-surat
keempat rumah sudah di tangan janda Jahot itu Lomina. Bahkan,
Loina masih saja menyewakan rumah-rumah itu.
Itulah sebabnya, Lomina meminta eksekusi dilaksanakan kembali
oleh pengadilan, walau waktu perdamaian ditanda tangalli,
pengumuman eksekusi dan lelang sudah dicabut oleh Hakim Chabib
Sarhini. "Mereka mengganggu perdamaian itu," ujar Lomina menuduh
iparnya, Loina.
GANGGUAN berikutnya, adalah gugatan dari dua anak Loina dan
Jaidin, yaitu Guntur dan Roselina. Keduanya menggugat akta
perdamaian antara ibu mereka dengan Lomina. "Mereka tidak ikut
menanda tangani perdamaian itu, padahal keduanya berhak atas
harta ayahnya," ujar Saiful Jalil Hasibuan, pengacara kedua anak
Jaidin itu.
Tak tanggung-tanggung, kedua anak Jaidin dan Loina itu meragukan
testamen yang telah diakui Mahkamah Agung itu. "Testamen itu
sudah ada tahun 1933, padahal harta yang diwariskan itu belum
ada saat itu (baru dibeli Jaidin tahun 1950-an)," ujar Hasibuan.
Sebab itu, ia menuntut agar keputusan Mahkamah Agung itu
dilumpuhkan eksekusinya. "Kalau betul akta testamen itu ada,
mana aslinya?" tambah Saiful Jalil Hasibuan.
Mahkamah Agung, dalam suratnya 12 Oktober 1982 memang meminta
menunda eksekusi yang dilaksanakan 14 Oktober itu dengan
catatan: kecuali jika Ketua Pengadilan Negeri mempunyai
pandangan lain. Chabib Sarbini melihat eksekusi tidak akan
dilaksanakan, kalau perdamaian yang sudah disepakati sebelumnya
bisa jalan. "Tapi perdamaian itu di luar urusan peradilan mau
matang boleh, mau mentah silakan," ujar Chabib.
Masih mungkinkah perdamaian atas keruwetan ini? "Sekarang memang
sudah ruwet, karena sebagian eksekusi dan lelang sudah jalan,"
kata Chabib.
Agaknya daun sirih yang dirobek Loina (janda Jaidin) memang
tidak akan jernah bertemu. Sebab, tekad kedua pihak untuk
bertempur tidak mereda. "Pokoknya rumah-rumah itu tidak untuk
saya, tapi juga tidak untuk kau," kata Aladin, anak Lomina,
kepada anak-anak Loina. Maksudnya, perkara itu boleh
berkepanjangan, walau kedua pihak tidak akan mendapatkan bagian
dari warisan yang disengketakan itu. "Karena biaya perkaranya
selama 20 tahun lebih besar dari nilai rumah-rumah itu," kata
Aladin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo