Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tetangga Dan Masjid

A.y. Sukapdi, guru SMA Bantul, Yogya, diadili. Dituduh melakukan penghinaan terhadap agama -- membuang hajat besar di tempat berwudu masjid patangpuluhan, Yogya. (hk)

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK masuk akal, ada orang yang berani menghina masjid: dengan memberaki tempat suci itu. Apalagi kalau pelakunya berpendidikan tinggi. Tapi karena tuduhan itulah, Drs. A.Y. Sukapdi, guru SMA Negeri Bantul, Yogyakarta, pekan-pekan ini diadili. Terdakwa, kata Jaksa, sekurangnya telah tiga kali menodai masjid di dekat tempat tinggalnya dengan kotorannya sendiri. Sukapdi, sekitar Januari 1985, menurut Jaksa Mawardi, "Melakukan tindakan yang bersifat permusuhan dan penodaan terhadap agama yang dianut dengan sah oleh penduduk Indonesia." Alumnus IKIP Negeri Yoyakarta itu, katanya, dengan nekat -- di depan umum -- buang hajat besar di tempat berwudu Masjid Patangpuluhan Yogyakara. Akibatnya, hampir saja ia menjadi korban kemarahan umat yang memakai masjid itu. Jemaah masjid, yang merasa terhina, memang memadati Pengadilan Negeri Yogyakarta. Semua tindakan Sukapdi itu, kata beberapa jemaah masjid, hanyalah disebabkan perasaan terganggu oleh kegiatan masjid. Kebetulan rumah guru itu berjarak sekitar 20 meter dari Masjid Patangpuluhan. Ia memang pernah marah-marah karena merasa tidurnya terganggu. Ketika itu, kata seorang Jemaah, kegiatan masjid memang lagi ramai -- maklum bulan Puasa -- ada salat tarawih, tadarus sampai larut, dan disambung kuliah subuh. "Pak Guru itu merasa hak asasinya dirampas karena sedikit-sedikit pengurus masjid memakai pengeras suara," ujar Jemaah itu. Bukan Sukapdi saja yang berulah demikian. Di Temanggung, Jawa Tengah, Muhammad Busro alias Rahmad diadili karena dituduh menurunkan kubah masjid, mencuci daging anjing di tempat berwudu, dan melemparkan tikus mati ke tempat orang sembahyang. Hanya saja, berbeda dengan Sukapdi, Busro didakwa menodai tempat ibadat yang dibangun kakeknya sendiri, karena merasa berhak atas tanah masjid itu. Cucu kiai terkenal di Temanggung itu berniat membangun rumah untuk disewakan. "Saya 'kan menganggur dan butuh uang," ujar Busro, yang tidak mau mengakui bahwa tanah itu sudah diwakafkan kakeknya kepada umat Islam. (TEMPO, 9 November 1985). Hanya saja, tidak seperti Busro, Sukapdi membantah keras melakukan perbuatan tercela itu. Di sidang, berkali-kali ia menunjukkan kekesalannya atas tuduhan Jaksa. "Dakwaan jaksa itu sama sekali tidak ada buktinya," ujar Sukapdi. Tentu saja jaksa tidak bisa membawa bukti -- kotoran terdakwa -- ke meja hijau. "Tapi, untuk membuktikan kesalahannya, kami 'kan punya saksi-saksi," tangkis Jaksa Mawardi. Tunggu saja sampai vonis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus