Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Titik Balik

Di Panel Etik Perhimpunan Advokat Indonesia Menyatakan Bambang Widjojanto Tak Terbukti Melanggar Kode Etik. Markas Besar Polri Didesak Menghentikan Penyidikan.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAMBANG Widjojanto menerima surat berkepala Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu pada Jumat siang dua pekan lalu, langsung dari Direktur Komisi Pengawas Advokat Peradi, Timbang Pangaribuan. Bagi pemimpin nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi ini, surat Peradi itu sungguh melegakan. Perhimpunan advokat itu menyatakan Bambang tak terbukti melanggar kode etik ketika menjadi pengacara sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat, enam tahun silam.

Bambang bergegas mengumpulkan kuasa hukumnya. "Kami diminta menarik sementara gugatan praperadilan," kata Abdul Fickar Hadjar, salah seorang pengacara Bambang, Rabu pekan lalu. Menurut Abdul, gugatan praperadilan akan diajukan kembali bila dalam sepekan Markas Besar Kepolisian RI tak mencabut status tersangka Bambang.

Polisi menjadikan Bambang sebagai tersangka dalam kasus dugaan kesaksian palsu. Dasarnya laporan Sugianto Sabran dan Eko Soemarno-pasangan calon kepala daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah-yang masuk ke Badan Reserse Kriminal Polri pada Januari lalu. Pelapor menuduh Bambang Widjojanto mengarahkan 69 saksi agar berbohong dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Karena menjadi tersangka, Bambang harus nonaktif dari jabatan sebagai Wakil Ketua KPK.

Dalam pemilihan Bupati Kotawaringin Barat, pertengahan 2010, pasangan Sugianto-Eko unggul dengan perolehan 67.199 suara. Mereka mengalahkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto, yang hanya memperoleh 55.281 suara. Namun kubu Ujang, yang merupakan calon bertahan (inkumben), menuding kubu Sugianto curang. Mereka pun memperkarakan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dan menunjuk Bambang Widjojanto sebagai kuasa hukumnya.

Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, para saksi mengungkapkan pembagian uang menjelang pencoblosan. Sebagian saksi menyatakan uang dibagi-bagikan tim sukses Sugianto. Akhirnya, pada 7 Juli 2010, Mahkamah Konstitusi menganulir kemenangan pasangan Sugianto-Eko dan menetapkan Ujang Iskandar sebagai bupati terpilih.

Kubu Sugianto tak begitu saja menerima putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final itu. Mereka melaporkan Bambang Widjojanto ke Mabes Polri. Mereka menuduh Bambang mengarahkan saksi memberi keterangan palsu di Mahkamah Konstitusi. Namun, pada 2012, Sugianto mencabut laporannya. "Demi keamanan kampung saya," kata Sugianto, yang juga politikus PDI Perjuangan.

Tenggelam lebih dari lima tahun, pada pekan ketiga Januari lalu, perkara yang sama mencuat lagi. Sugianto melaporkan kembali Bambang Widjojanto ke Bareskrim Polri. Laporan itu masuk ketika hubungan KPK dengan Polri sedang runyam. Sebelumnya, pada 13 Januari 2015, KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi.

Kali ini polisi hanya perlu waktu sepekan untuk menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Pada 23 Januari lalu, tim Bareskrim menangkap Bambang ketika mengantarkan anaknya ke sekolah. Bambang akhirnya dilepas setelah barisan pegiat antikorupsi ramai-ramai mempersoalkan manuver polisi. Namun penyidikan kasus Bambang terus berjalan.

Sepekan setelah melapor ke polisi, Sugianto pun mengadukan Bambang ke Peradi. Menurut Sugianto, dia melapor ke Peradi atas saran kuasa hukumnya, Carrel Ticualu. "Awalnya enggak ada niat, saya ikut saja," kata Sugianto, Rabu pekan lalu.

Carrel membenarkan mendesak Sugianto melaporkan Bambang Widjojanto ke Peradi. Carrel pun menuduh Bambang melanggar kode etik advokat karena mengarahkan saksi agar berbohong. Karena itu, Carrel meminta Peradi mencabut izin profesi Bambang sebagai advokat. Namun, dengan keluarnya surat Peradi terakhir, tuduhan Carrel kandas.

****

LIMA anggota panel Komisi Pengawas Advokat Peradi terheran-heran ketika mendengarkan kesaksian Kusniyadi dan Edi Sulistya dalam sidang kode etik, awal Februari lalu. Keduanya kompak mengatakan tak pernah mendapat perintah dari Bambang Widjojanto untuk memberikan kesaksian palsu. "Kesaksian mereka justru meringankan Bambang," kata Timbang Pangaribuan. Padahal kedua orang itu didatangkan Sugianto-yang berseteru dengan Bambang.

Kepada tim panelis Peradi, Kusniyadi dan Edi Sulistya hanya mengaku pernah mendapat penjelasan dari Bambang tentang tata tertib bersidang di Mahkamah Konstitusi. Selebihnya, kata mereka, Bambang justru berpesan agar di persidangan keduanya berbicara menurut fakta.

Kesaksian kedua orang itu juga tercatat dalam risalah sidang Mahkamah Konstitusi. Kusniyadi mengaku tahu pembagian uang menjelang pemilihan Bupati Kotawaringin Barat. Besarnya Rp 50 ribu untuk anak-anak dan Rp 200 ribu buat orang dewasa. "Yang kasih duit bilang harus pilih Sugianto," kata Kusniyadi dalam persidangan kala itu. Senada dengan rekannya, Edi menambahkan, warga Kotawaringin Barat bahkan diminta meneken surat pernyataan akan mencoblos Sugianto.

Berdasarkan keterangan kedua saksi inilah, pada 27 April lalu, Komisi Pengawas Advokat Peradi menggelar sidang pleno. Sidang dihadiri 29 anggota Komisi Pengawas plus delapan ahli hukum sebagai peninjau. Sidang pleno akhirnya menyimpulkan: tidak cukup bukti untuk menyatakan Bambang Widjojanto melanggar kode etik. "Selama bersidang di Mahkamah Konstitusi, Bambang bekerja secara profesional," kata Timbang.

Kuasa hukum Sugianto, Carrel Ticualu, menganggap kesimpulan Peradi lemah karena hanya berdasarkan keterangan dua saksi. Apalagi, kata dia, sidang pleno Peradi hanya menyimpulkan tidak cukup alat bukti sehingga pemeriksaan kasus Bambang dihentikan. "Artinya, masih ada kemungkinan Bambang bersalah. Ini soal alat bukti saja," ujar Carrel.

Soal sedikitnya saksi yang diperiksa, Peradi tak mau disalahkan. Timbang beralasan, kedua saksi yang meringankan Bambang itu disorongkan Sugianto. Peradi pun sudah memberi kesempatan kepada Sugianto untuk menghadirkan saksi lain. Namun Sugianto tak mendatangkan saksi tambahan sampai Peradi menyatakan kasus Bambang harus dihentikan.

Sebetulnya bukan hanya Kusniyadi dan Edi yang memberikan kesaksian serupa. Di Mahkamah Konstitusi, seorang saksi bernama Ratna Mutiara juga membeberkan peristiwa bagi-bagi uang menjelang pemilihan Bupati Kotawaringin Barat.

Tak lama setelah bersaksi di Mahkamah Konstitusi, Ratna dilaporkan ke polisi. Di pengadilan, jaksa mendakwa dia memberi keterangan palsu dan mencemarkan nama baik Eko Sumarno. Sempat dituntut tujuh tahun penjara, Ratna divonis lima bulan. Menurut hakim, Ratna tak terbukti membuat kesaksian palsu. Namun ia terbukti mencemarkan nama Eko.

Pada Januari lalu, Tempo menemui Ratna di Pangkalan Banteng, Kotawaringin Barat. Ratna bercerita bahwa Bambang tak pernah mengarahkan saksi membuat keterangan palsu. "Tak pernah Pak Bambang menyuruh berbohong. Kami bicara sesuai dengan fakta," kata Ratna.

Berpatokan pada keterangan saksi, Peradi mengirimkan surat ke Markas Besar Polri pada awal Mei lalu. Menurut Timbang, Peradi tak hanya memberi tahu polisi bahwa Bambang tak terbukti melanggar kode etik. "Kami pun meminta Mabes Polri mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan," ujar Timbang.

Timbang juga mengingatkan polisi ihwal nota kesepahaman (MOU) antara Peradi dan Polri yang ditandatangani pada 2012. Waktu itu kedua lembaga sepakat, bila ada laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh pengacara, polisi akan menyerahkan laporan tersebut ke Peradi.

Sejak nota kesepahaman itu ditandatangani, polisi sudah menyerahkan 346 laporan dugaan pelanggaran kode etik ke Peradi. Namun, dalam kasus Bambang, polisi langsung menyidiknya. "Menabrak MOU sama dengan mengkhianati kepercayaan," kata Timbang.

Timbang menambahkan, dalam menjalankan profesinya, advokat dilindungi undang-undang. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dugaan pelanggaran kode etik ditangani dewan kehormatan organisasi advokat. Kalaupun ada sanksi untuk advokat, dewan kehormatan harus melapor ke Mahkamah Agung. "Bukan ke polisi," ujar Timbang.

Sejauh ini Markas Besar Polri masih berkukuh meneruskan pengusutan kasus Bambang. Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak mengatakan putusan Peradi tak bisa menjadi patokan untuk menghentikan penyidikan. "Menurut kami, kasus Bambang itu tindak pidana. Masak, mau dihentikan?" kata Victor, Rabu pekan lalu.

Syailendra Persada, Dewi Suci Rahayu, Rosalina (kotawaringin Barat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus