Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAYOR Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono tak lagi bisa menahan diri. Selasa pekan lalu, ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberhentikan sidang sementara lantaran terdengarnya azan salat zuhur, Muchdi menggunakan kesempatan itu untuk mendatangi pengacaranya, Luthfie Hakim. ”Nanti saya ngomong dengan pers,” katanya.
Bekas Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara (BIN) itu rupanya mencium ”tanda-tanda bahaya” yang mengancam dirinya. Sebelumnya, selama dua jam, lima jaksa secara bergantian membacakan ”dosa-dosa” Muchdi dalam kasus terbunuhnya aktivis hak asasi manusia, Munir. Jaksa menyebut sejumlah kesaksian dan bukti keterlibatan Muchdi.
Yang dikhawatirkan Muchdi memang terjadi. Jaksa menyatakan Muchdi terlibat dalam pembunuhan Munir. Jaksa menuntut pria 59 tahun itu hukuman 15 tahun penjara. ”Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana,” kata ketua tim jaksa penuntut umum, Cirus Sinaga.
Begitu mendengar tuntutan itu, Muchdi hanya tersenyum kecil. Tapi sejenak kemudian wajahnya mengeras. Ketika hakim menutup sidang, Muchdi tampak melihat ke kiri dan ke kanan. Ia seperti mencari-cari wartawan. ”Mohon tidak pakai marah, Pak,” ujar Luthfie menenangkan.
Di depan wartawan, Muchdi langsung menumpahkan kekesalannya. Inilah pertama kalinya, selama ia disidang sejak Agustus lalu, ia berbicara kepada pers. ”Ini puncak konspirasi dan fitnah terhadap diri saya,” katanya dengan suara lantang. ”Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.”
Jaksa menuntut Muchdi hukuman berat itu lantaran dianggap telah menganjurkan Pollycarpus Budihari Priyanto menghabisi Munir. Pollycarpus sendiri dalam kasus ini telah divonis hukuman 20 tahun penjara. Hakim menyatakan ia terbukti melakukan pembunuhan dan pemalsuan surat. Sebelumnya, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, juga telah dihukum satu tahun penjara karena membantu Pollycarpus mengeluarkan surat tugas sebagai corporate security. Berbekal surat itulah, Polly bisa terbang satu pesawat dengan Munir.
Berbekal kesimpulan Mahkamah Agung yang menghukum Pollycarpus, penyidik menelisik kembali siapa di balik kasus Munir itu. Mereka yang pernah dimintai keterangan terkait dengan kasus itu kembali diperiksa, termasuk Muchdi. Juni lalu, polisi menangkap Muchdi dan menahannya di rumah tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Bagi Suciwati, istri Munir, tuntutan penjara 15 tahun untuk Muchdi itu terlalu ringan. ”Ini tidak masuk akal,” ujarnya. Menurut Suci, mestinya Muchdi, dengan perannya sebagai penganjur, dituntut hukuman lebih berat ketimbang Pollycarpus. Polly sendiri sebelumnya dituntut seumur hidup. ”Logika hukum apa yang mau diberikan jaksa?” tanyanya.
Kekecewaan yang sama dinyatakan Sekretaris Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, Usman Hamid. Padahal, menurut dia, konstruksi hukum yang dibangun jaksa dalam membuat tuntutan sangat meyakinkan. ”Ini politik penuntutan setengah hati,” katanya.
Namun anggapan itu ditampik jaksa Cirus. Dia mengatakan keputusan untuk menuntut hukuman 15 tahun penjara itu murni dari tim jaksa. Menurut dia, hukuman itu sudah diperhitungkan masak-masak, termasuk menghitung jasa Muchdi terhadap negara. Sebelumnya, dalam surat dakwaan, jaksa memang menyebut sejumlah bintang jasa yang diterima Muchdi, termasuk bintang jasa Veteran dan Kartika Eka Paksi Pratama. ”Tidak gampang, lho, mendapat bintang jasa,” ujar Cirus.
Kendati demikian, kepada Tempo, seorang petinggi kejaksaan menyatakan, sebelumnya tuntutan yang akan diberikan kepada Muchdi adalah seumur hidup. Belakangan, tuntutan itu diubah karena munculnya sejumlah fakta di persidangan yang tak diduga, termasuk munculnya para saksi yang mencabut kesaksian.
Di persidangan, setidaknya dari 16 yang dihadirkan, lima saksi belakangan memang mencabut keterangan mereka dalam berita acara pemeriksaan. Saksi Raden Muhammad Patma, yang sebelumnya menyatakan pernah bekerja untuk BIN, misalnya, tiba-tiba mengaku lupa pernah bekerja di lembaga telik sandi itu.
Sidang selama sekitar tiga bulan itu juga tak bisa menghadirkan saksi penting Budi Santoso. Menurut jaksa, pihaknya sudah 14 kali memanggil Budi. Budi, yang semula diketahui bertugas di Pakistan, kini sudah pindah ke Afganistan.
Kepada Tempo, seorang petinggi kejaksaan mengakui pembunuhan Munir ini merupakan pembunuhan teknik tinggi yang tak mudah dibuktikan. Menurut dia, tim kejaksaan yang mengusut kasus ini mendapat sejumlah teror, seperti mobil mereka dipukuli atau dibuntuti orang tak dikenal. ”Pembuatan surat tuntutan itu pun dilakukan di tiga tempat,” ujarnya. Ia menegaskan, dalam kasus ini, Jaksa Agung Hendarman Supandji praktis tidak ikut campur. Jaksa Agung menyerahkan kepada tim. ”Kalau perkara begini, dia tidak mau ikut campur, ngeri,” ujarnya. ”Tapi, kalau perkara korupsi, dia jagonya.”
Kritik terhadap tuntutan yang ”hanya” 15 tahun itu juga muncul dari ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo. Menurut dia, dari logika hukum, tuntutan yang dijatuhkan jaksa tidak pas. ”Harusnya sama atau lebih berat dari yang digerakkan (Pollycarpus),” katanya. Ia juga mengkritik jaksa yang gagal menghadirkan Budi Santoso di persidangan. ”Mestinya bisa disiasati dengan teleconference.”
Cirus sendiri menyerahkan semuanya kepada hakim. Menurut dia, hakim bisa saja kelak menghukum Muchdi lebih berat daripada tuntutan mereka. Adapun Luthfie Hakim menganggap tuntutan 15 tahun itu justru menunjukkan jaksa tidak yakin akan kesalahan kliennya. Menurut Luthfie, yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini adalah Budi Santoso. ”Dia yang memberikan uang, mengoreksi surat.”
Rini Kustiani
Jejak Muchdi di Kasus Munir
7 September 2004
Munir, 39 tahun, tewas diracun.
18 Maret 2005
Pollycarpus menjadi tersangka.
13 Mei 2005
Tim pencari fakta memanggil Muchdi. Muchdi tak menanggapi.
17 Mei 2005
Tim melapor kepada Presiden tentang adanya kontak antara Pollycarpus dan Muchdi pada September-Oktober 2004.
3 Juni 2005
Tim gagal memeriksa Muchdi.
9 Agustus 2005
Pollycarpus mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
17 November 2005
Muchdi bersaksi di persidangan Pollycarpus. Dia menyangkal punya hubungan dengan Pollycarpus.
20 Desember 2005
Pollycarpus divonis 14 tahun penjara.
25 Januari 2008
Putusan peninjauan kembali memvonis Pollycarpus 20 tahun penjara karena terbukti membunuh Munir.
19 Juni 2008
Muchdi ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
11 Agustus 2008
Berkas perkara Muchdi dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
21 Agustus 2008
Sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
2 Desember 2008
Muchdi dituntut 15 tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo