Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANG terbukti di pengadilan ialah cerita ini: Hari masih pagi,
sekitar pukul 9 awal 1980, sebuah jip meluncur pelan menyusuri
jalan yang jelek. Kendaraan itu mengangkut 10 orang. Terdiri
dari tauke PT Basis -- tengkulak ikan -- serta pegawainya yang
beroperasi di TPI (tempat pelelangan ikan) di Belawan (Sum-Ut).
Diperkirakan kemudian, di antara penumpang yang semuanya
keturunan Cina itu, ada yang membawa uang Rp 5 juta untuk
membayar gaji karyawan Basis hari itu.
Begitu melintasi sebuah kedai, sekitar 2 km sebelum TPI,
tiba-tiba dua orang laki-laki mendekati mobil. Salah seorang di
antaranya menyiramkan suatu cairan ke dalam mobil dengan sebuah
ember plastik. Tentu bensin, sebab begitu yang lain menyulutnya
dengan korek api, Toyota Hardtop BK 300 AR tersebut terbakar.
Para penumpang terjebak. Usaha pertolongan beberapa orang di
luar sia-sia saja. Enam penumpang kedapatan mati pada saat itu
juga. Selebihnya, meski cepat dilarikan ke rumah sakit, juga tak
tertolong. Namun, salah seorang di antara mereka ada yang sempat
membuka mulut, menyebut nama: Ramlan Pardede.
Dari Ramlan, begitu cerita selanjutnya, polisi memperoleh nama,
Charles Pardede. Mereka kakak beradik. Charles, begitu
pengakuannya di muka polisi, yang menyulut kendaraan dengan
seikat korek api. Tapi, katanya, hal itu dilakukannya sekedar
membantu temannya, Udin Tancap, yang memang menaruh dendam
terhadap tauke Basis.
Udin Tancap (27 tahun) adalah pemuda luntang-lantung, yang
kerjanya mengutip uang dari beberapa Cina di Belawan. Tapi
ternyata PT Basis bukanlah sasaran yang terlalu empuk, sehingga
mengesalkan dan menumbuhkan dendam di hati Udin. Hingga kini ia
buron.
Cerita itulah yang dipertimbangkan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Medan, akhir bulan lalu, untuk menjebloskan Charles ke
penjara selama seumur hidup. Sedang adiknya, Ramlan dihukum jauh
lebih ringan: 1 tahun 1 bulan penjara. Ia hanya dipersalahkan
tidak melaporkan rencana jahat kakaknya yang sebenarnya telah ia
ketahui sebelumnya.
Vonis hakim membuat Charles tergetar. Tubuhnya yang kekar
terduduk lemas. Ia tampak sulit menahan tangis. Ia tak mampu
menyangkal cerita yang terungkap di pengadilan. Meskipun ia
mencoba meyakinkan majelis, cerita, berikut pengakuannya di muka
polisi, katanya, semata-mata dipaksakan juru periksa. Bukankah
para pembelanya Sabam Siburian dan Laoli, juga mengatakan:
"Tuduhan tak terbukti." Pengakuannya terdahulu mengenai
pembakaran mobil lewat setahun lalu, kata pembela, "karena
dipaksa polisi!"
Namun, keterangan 22 saksi, termasuk polisi yang memeriksa para
tertuduh, ternyata lebih meyakinkan hakim. Tambahan lagi, hakim
tahu benar reputasi tertuduhnya: Charles (28 tahun) pernah dua
kali dihukum karena memeras, mencuri dan merampok.
Charles tak menerima keputusan hakim -- ia naik banding. Ia tak
banyak bicara. Ketika hendak ditanyai wartawan, melalui petugas
penjara ia berkata "Saya tak butuh wartawan . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo