Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ganja untuk pengobatan sudah diakui PBB sejak Desember 2020.
Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis.
Sekarang pemerintah Thailand merasa perlu untuk memperketat aturan tentang peredaran ganja.
JAKARTA – Penggunaan ganja (cannabis sativa) untuk pengobatan sudah dilegalkan dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak Desember 2020. Keputusan PBB itu didasarkan atas hasil voting oleh Commission on Narcotic Drugs (CND) atau Komisi Obat Narkotika yang beranggotakan 53 negara dengan 27 di antaranya menyatakan setuju mariyuana digunakan untuk kepentingan medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, setidaknya ada 30 negara yang telah mengizinkan penggunaan ganja untuk pengobatan. Misalnya saja Prancis, Slovenia, dan Spanyol. Di tiga negara itu, ganja hanya boleh digunakan dalam produk obat turunan. Sedangkan penggunaan ganja untuk rekreatif masih dilarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun di Belanda, Denmark, Italia, dan Australia, pemerintah setempat memberlakukan aturan yang lebih longgar. Selain untuk pengobatan, ganja bisa digunakan untuk kebutuhan relaksasi. Di Asia Tenggara, Thailand menjadi negara pertama yang sudah melegalkan ganja untuk kebutuhan medis. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pemerintah Thailand melonggarkan aturan tentang peredaran ganja.
Thailand melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis sejak 2018. Tiga tahun setelahnya, pemerintah Thailand mengeluarkan ganja dari daftar narkotika kategori V, yang berarti bukan lagi tanaman terlarang. Hanya ekstrak ganja dengan kadar tetrahydrocannabinol atau THC lebih dari 0,2 persen yang tergolong narkotika.
Tanaman ganja untuk konsumsi dan bisnis pribadi di sebuah rumah di provinsi Nakhon Nayok, Thailand, 2022. EPA-EFE/RUNGROJ YONGRIT
Kemudian, pada 9 Juni 2022, pemerintah Negeri Gajah Putih itu membolehkan warganya menanam serta mengkonsumsi ganja dalam bentuk makanan dan minuman. Legalisasi ganja ini berlaku sebelum Rancangan Undang-Undang Ganja dan Rami disahkan oleh Sapha Phuthaen Ratsadon—sebutan parlemen Thailand.
Tempo pada Juli 2022 menerbitkan artikel berjudul “Bersantai dengan Ganja”. Artikel ini memuat liputan tentang peredaran ganja di Thailand. Tempo mendatangi sebuah klinik bernama Bangkok Integrative Medicine yang berada di kawasan Silom, salah satu pusat bisnis yang berada di bagian selatan Kota Bangkok.
Klinik itu melayani pasien yang membutuhkan ganja medis. Setiap bulan, Bangkok Integrative Medicine rata-rata melayani 50-60 orang yang membutuhkan ganja untuk pengobatan. “Paling banyak orang datang ke sini dengan keluhan insomnia,” kata Natramada Sitthiraat, resepsionis di klinik tersebut.
Pasien yang ingin mengakses pengobatan cannabis tidak bisa datang ujug-ujug. Mereka harus membuat janji lebih dulu untuk berkonsultasi dengan dokter klinik. Dokterlah yang nanti memutuskan apakah si pasien perlu diobati dengan minyak ganja atau tidak.
Di luar pengobatan, penggunaan ganja untuk kepentingan relaksasi juga sudah bermunculan di Bangkok. Satu blok dari kawasan Jalan Khao San, yang kondang didatangi pelancong mancanegara, terdapat toko Humbrid Cannabis yang menjual bunga ganja.
Ada lebih dari 20 jenis bunga ganja yang ditawarkan. Setiap sampel dipajang dalam stoples kecil yang bisa dibuka dan dicium aromanya oleh calon pembeli. Masing-masing stoples dilengkapi keterangan mengenai efek yang ditimbulkan serta persentase THC dan cannabidiol (CBD) yang dikandungnya. Keduanya adalah senyawa yang terkandung dalam ganja. Hanya, THC bisa memabukkan penggunanya, sedangkan CBD tidak memabukkan.
Saat Tempo singgah di Humbrid Cannabis, sejumlah wisatawan dari luar Thailand silih berganti memasuki toko tersebut. Seorang pria berwajah Kaukasoid menanyakan bunga ganja yang bisa memberikan efek paling kuat. “Saya sudah merokok ganja selama 20 tahun,” kata pria tersebut.
Pemandangan serupa terlihat di Highland Cafe—toko yang menjual ganja—di Jalan Lat Phrao, Bangkok. Saat Tempo mampir ke tempat itu, seorang petugas yang berjaga di depan pintu meminta tanda pengenal. “Kami ingin memastikan tidak menjual ganja kepada orang-orang yang berusia di bawah 20 tahun,” kata pemilik Highland Cafe, Rattapon Sanrak, kepada Tempo.
Di kafe itu, Tempo bertemu dengan beberapa pengunjung yang menyesap ganja di langkan lantai dua kafe. Mereka mengisap ganja bukan untuk kepentingan medis. Seorang dari mereka mengaku mengisap mariyuana membuatnya lebih rileks dan kreatif. “Kami cuma ingin bersantai,” kata pria berkebangsaan Inggris itu.
Anutin Charnvirakul, yang saat itu menjabat Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Kesehatan Publik Thailand, mengatakan legalisasi ganja mengacu pada hasil riset selama tiga tahun terakhir. Hasil riset itu menunjukkan manfaat pemakaian ganja bagi pengidap penyakit kanker, alzheimer, parkinson, insomnia, stres, serta penyakit kronis lainnya.
Mengacu pada hasil riset tersebut, kata Anutin, Partai Bhumjaithai—yang dia pimpin—menjanjikan legalisasi ganja dalam kampanye mereka pada 2018. “Partai saya yakin tanaman ganja ini bisa meningkatkan perekonomian dan mengerek citra Thailand sebagai pusat ganja medis untuk Asia dan dunia,” kata Anutin.
Seorang pasien penyakit jantung dan insomnia menerima tetes minyak ganja saat sesi terapi tradisional Thailand menggunakan ganja medis di Klinik Ganja Universitas Rangsit di Bangkok, Thailand, 2022. EPA-EFE/RUNGROJ YONGRIT
Dalam sejumlah kesempatan, Anutin berulang kali menyampaikan bahwa tujuan utama legalisasi ganja adalah untuk kepentingan medis. “Saya pastikan pemakaian ganja untuk rekreasi tak pernah menjadi keputusan kami,” kata Anutin.
Namun longgarnya aturan membuat industri ganja berkembang sangat pesat di Thailand. Sedikitnya 20 ribu apotek tercatat menyediakan ganja dalam berbagai produk obat. Jumlah itu di luar kafe dan toko yang menjual ganja untuk kebutuhan non-medis. "Tidak ada banyak aturan yang ketat. Ini benar-benar longgar,” kata Pachara Chayavoraprapa kepada Channel News Asia, Januari 2024.
Pachara adalah kepala petugas operasi Grup Buddy, operator Plantopia. Adapun Plantopia merupakan plaza bawah tanah di dekat Jalan Khao San yang selama puluhan tahun menjadi pusat pariwisata di Bangkok. Ruangan bawah tanah ini dulunya sebuah supermarket. Sejak pemerintah melonggarkan peredaran ganja, sejumlah toko di sana secara eksklusif menjual ganja. Pelanggan juga bisa menggunakan ganja di kursi-kursi yang sudah disediakan.
Paisan Limstit, akademikus dari Pusat Hukum dan Etika Kesehatan di Universitas Thammasat, meminta pemerintah menghentikan peredaran ganja yang semakin tidak terkendali di seluruh Thailand. Dia khawatir di kemudian hari kondisi ini akan memicu masalah kesehatan, kejahatan, dan kecanduan di seluruh negeri. "Ketika menghapus ganja dari daftar obat terlarang, itu hanya puncak gunung es yang muncul,” katanya. “Kita tidak dapat melihat masalah penggunaan obat secara menyeluruh."
Penggunaan ganja non-medis sebenarnya sudah menjadi isu dalam Pemilu 2023 di Thailand. Banyak partai yang juga menentang aturan longgar peredaran mariyuana. Salah satunya adalah Partai Pheu Thai yang meraih suara terbanyak bersama Partai Move Forward. Pada Agustus 2023, Partai Pheu Thai berjanji akan memperketat aturan tentang peredaran ganja.
Menteri Kesehatan Masyarakat Cholnan Srikaew juga menegaskan, pemerintah sudah menyiapkan rancangan undang-undang baru yang melarang penggunaan ganja untuk non-medis. Pelanggar aturan ini diancam hukuman sangat berat. "Tanpa undang-undang yang mengatur ganja, ganja akan disalahgunakan," katanya. "Penyalahgunaan ganja berdampak negatif pada anak-anak Thailand.”
CHANNEL NEWS ASIA | REUTERS | SUSENO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo