Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOALISI Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menjadi tamu pertama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Senin, 2 Januari lalu. Mereka mengadukan intimidasi yang dialami sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sejumlah daerah. “Klien kami ditekan. Bahkan ada ancaman fisik yang cukup serius,” ujar Ibnu Syamsu Hidayat, salah seorang anggota tim advokat koalisi, Kamis, 5 Januari lalu.
Sebelumnya koalisi menerima aduan dari 17 komisioner dari berbagai daerah. Mereka umumnya komisioner yang memimpin divisi teknis. Divisi ini bertanggung jawab mengurus pendataan. Peran mereka dominan saat proses verifikasi administrasi dan faktual partai politik yang berlangsung sejak Agustus 2022.
Semua pelapor memiliki cerita nyaris serupa. Awalnya mereka menolak mengikuti perintah komisioner KPU pusat dan permintaan Sekretariat Jenderal KPU untuk memuluskan proses verifikasi partai politik.
Baca: Demokrasi Terpimpin ala KPU
Para pelapor menganggap perintah tersebut melanggar Pasal 7 dan 8 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum. Pasal tersebut di antaranya mensyaratkan partai memiliki kepengurusan paling sedikit 75 persen dari semua kabupaten/kota dan memiliki jumlah anggota dengan rasio satu perseribu dari jumlah penduduk.
Masalahnya, banyak nama pengurus dan status keanggotaan partai yang diduga fiktif saat proses administrasi dan faktual berlangsung. Perlawanan para komisioner berbuah intimidasi dari pusat, bahkan dari rekan mereka sendiri di daerah.
Di antaranya adalah persitiwa yang menimpa Firdana Andriyadi, anggota KPU Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Pengalaman Firdana menjadi salah satu bahasan serius ketika tim koalisi menyambangi gedung LPSK.
Mobil dinas Daihatsu Terios miliknya terbakar saat diparkir di rumah kerabatnya di Jalan Trans Kalimantan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, pada Ahad, 1 Januari lalu. “Sekilas terlihat aneh. Mesin mobil itu dalam keadaan mati, mengapa tiba-tiba bisa terbakar?” ucap Ibnu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana gedung KPU di Menteng, Jakarta Pusat, 16 Desember 2022/TEMPO/Muhammad Ilham Balindra/Magang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Firdana tengah mengunjungi kakak iparnya. Mobil berkelir hitam itu diparkir di pinggir jalan. Ia mengetahui mobilnya terbakar karena mendengar teriakan tetangga pada sekitar pukul 05.30 WITA. Api berhasil dipadamkan sekitar setengah jam kemudian.
Dokumentasi foto memperlihatkan kobaran api yang melumat hampir seluruh bagian depan mobil. Bumper, lampu, dan karburator mobil rontok. Bagian mobil yang terbuat dari material plastik ikut meleleh.
Menurut keterangan Ibnu, mobil dinas itu baru dua bulan keluar dari dealer. “Serah-terimanya bulan November 2022. STNK-nya saja belum terbit,” katanya.
Kepolisian Sektor Alalak, Kabupaten Barito Kuala, langsung bergerak. Mereka menghimpun keterangan para saksi, tapi tak bisa memastikan penyebab kebakaran. Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan menerjunkan tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System. Berdasarkan pemeriksaan, mereka menyebutkan kebakaran dipicu masalah teknis mobil.
Kepala Polda Kalimantan Selatan Inspektur Jenderal Andi Rian Djajadi mengatakan titik api berasal dari lampu depan sebelah kanan. Polisi mendeteksi alur bagian yang terbakar tersebut terhubung dengan aki.
Andi mengatakan timnya tak menemukan tanda-tanda pemicu kebakaran lain. “Kebakaran itu murni musibah. Tak ada petunjuk yang mengarah pada dugaan keterlibatan orang-orang yang berniat jahat,” tuturnya.
Tempo meminta konfirmasi ihwal penyebab musibah itu kepada manajemen TRAC—perusahaan yang digandeng KPU untuk keperluan sewa kendaraan dinas. Seorang petugas pusat layanan pelanggan mengatakan perusahaannya masih mendalami pemeriksaan penyebab kebakaran. “Pihak teknisi masih mempelajari apakah ada kerusakan komponen atau perbuatan orang tak bertanggung jawab,” ujarnya.
Namun koalisi dan para komisioner tak lekas percaya atas pernyataan polisi. Mereka makin mewaspadai bentuk intimidasi lain yang akan muncul. Saat ini sebagian pelapor kerap beraktivitas bersama orang dekat untuk meningkatkan keamanan.
Mereka juga menutup identitas para pelapor rapat-rapat. Menurut tiga komisioner daerah yang pernah diwawancarai Tempo, mereka khawatir KPU pusat akan “bertindak” bila nama mereka muncul sebagai pengadu. Dari informasi yang mereka peroleh, para komisioner daerah diancam tidak akan didukung lagi untuk menjabat di periode kedua hingga mengalami bentuk kriminalisasi lain.
Salah seorang di antaranya adalah seorang komisioner dari satu daerah. Ia mengajak suaminya berkantor akibat pernah mengalami ancaman. “Ruangan saya pernah digedor-gedor. Mereka mengancam bakal mempolisikan saya ketika memeriksa dokumen perubahan data,” ucapnya.
Peristiwa itu terjadi pada Desember 2022. Komisioner yang membidangi divisi teknis itu adalah satu dari lima anggota KPU daerah di Pulau Sulawesi yang menolak meneken berita acara perubahan hasil verifikasi faktual partai politik.
Ia menganggap isi berita acara tersebut mengkhianati tugas yang sudah dilakoni saat verifikasi. “Temuan kami, ada banyak partai yang tidak memenuhi syarat, tapi itu diabaikan. Belakangan, banyak partai yang diloloskan,” katanya.
Intimidasi dari sesama rekan kerjanya bermula ketika ia meneliti ulang lembar kerja faktual yang menjadi dasar penetapan hasil verifikasi. Ia mengajak suaminya masuk ruangan, lalu mengunci pintu.
Dua komisioner dan sejumlah anggota staf yang mengetahui aktivitasnya menggedor pintu dan memintanya menyerahkan semua dokumen. “Padahal kan memeriksa keabsahan dokumen ini memang tugas saya,” tuturnya.
Percekcokan berlangsung sekitar lima menit. Semula dia berkukuh. Ia akhirnya luluh setelah suaminya menyarankan agar persoalan ini jangan memantik kegaduhan. Ia mempersilakan para koleganya masuk ruangan dan mengambil dokumen yang tengah diperiksa. Tak hanya itu, mereka memaksa menyerahkan kunci mobil, lalu menggeledah dan menggasak semua dokumen di ruangan.
Sebenarnya indikasi kecurangan mulai terendus ketika ia tengah bertugas ke Jakarta pada Senin, 7 November 2022. Menjelang peralihan hari, sejumlah anggota staf divisi teknis mendapat perintah KPU tingkat provinsi agar mengubah status Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora).
Sebelumnya, hasil rapat pleno KPU di daerahnya menyatakan Gelora tak memenuhi syarat. Tapi statusnya mendadak berubah jadi memenuhi syarat. “Padahal banyak anggota partai itu yang diduga fiktif,” ujarnya.
Perubahan itu bisa dilakukan lantaran divisi teknis merupakan admin Sistem Informasi Partai Politik atau Sipol. Secara struktural, divisi ini berada di bawah kendalinya sebagai komisioner bidang teknis.
Tapi malam itu ia tak lagi memiliki kendali penuh. Protes atas keputusan itu diabaikan para anggota staf. Begitu pula ketika skandal itu ia laporkan kepada pemimpin dan koleganya sesama komisioner KPU daerah.
Lewat sambungan telepon, seorang koleganya bahkan pernah melontarkan intimidasi. “Jika tidak bersedia ikut arahan diam saja, jangan banyak gerakan,” ucapnya mengulangi perkataan koleganya tersebut.
Sejak saat itu, ia tak banyak dilibatkan dalam kegiatan. Sejumlah agenda acara KPU daerah hanya ia ketahui dari anggota staf. Itu pun jika ia berinisiatif bertanya. “Hubungan kerja kami sudah tidak lagi harmonis,” katanya.
Sinyal kecurangan makin kentara ketika seorang anggota staf menyodorkan berita acara perubahan penetapan hasil verifikasi faktual pada Sabtu, 24 Desember 2022. Sejumlah partai lain yang sebelumnya tidak memenuhi syarat akhirnya dianggap memenuhi syarat. Empat koleganya sudah membubuhkan tanda tangan di atas dokumen itu. “Saya menolak tanda tangan.”
Pengalaman nyaris serupa dialami oleh seorang komisioner dari Pulau Sumatera. Komisioner yang juga bertanggung jawab di divisi teknis itu didatangi para anggota staf sekretariat dengan wajah memelas menjelang proses verifikasi administrasi berakhir.
Mereka meminta sang komisioner meloloskan salah satu partai atas permintaan Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum. Jika tak dituruti, mereka diancam akan dipindahkan ke daerah terpencil di kawasan timur.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Edwin Partogi Pasaribu mengatakan timnya sudah menerima informasi dari Koalisi Kawal Pemilu tentang intimidasi itu. Ia tak menyangkal ada banyak korban lain yang menghadapi ancaman serius.
Tapi LPSK belum memutuskan untuk memberikan jaminan perlindungan. “Pertemuan kemarin baru sebatas konsultasi. Jika ada laporan resmi, tentu akan kami tanggapi,” ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan para komisioner diancam agar meredam protes. Tim koalisi juga sudah melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Kamis, 29 Desember 2022. “Kami memiliki banyak bukti pendukung yang bisa mengungkap permainan di tubuh KPU,” katanya.
Kurnia menduga kecurangan verifikasi partai politik terjadi secara terstruktur dan sistematis. Skandal ini disinyalir melibatkan peran komisioner dan pejabat kesekretariatan baik di tingkat pusat maupun provinsi.
Ia menyitir sejumlah testimoni para komisioner yang mendapat tekanan. Dua di antara testimoni itu diunggah di salah satu akun YouTube pada 20 dan 27 Desember 2022.
Keterangan salah seorang saksi itu mengatakan ia dan 6.000 komisioner KPU daerah pernah menghadiri rapat konsolidasi nasional yang digelar di Ancol, Jakarta, pada 1-3 Desember 2022. Dalam pertemuan itu, anggota KPU, Idham Holik, memerintahkan semua anggota KPU daerah mengikuti arahan KPU provinsi. Idham melontarkan pernyataan, “Tidak boleh ada yang melanggar jika tidak ingin masuk rumah sakit.”
Beberapa hari berselang, sebagian peserta diundang mengikuti rapat koordinasi di Surakarta, Jawa Tengah. Idham kembali menegaskan arahannya ihwal skenario meloloskan partai-partai tertentu.
Kepada sejumlah wartawan, Idham membantah jika pernyataan itu dianggap sebagai ancaman. “Itu hanya candaan. Masak di depan 6.341 orang saya melakukan intimidasi?” ucapnya. Akibat pernyataan itu, tim koalisi turut melaporkannya ke DKPP.
Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, mengaku sudah menerima laporan tim koalisi. Berkas laporan itu kini tengah dipelajari tim kesekretariatan untuk pemeriksaan kelengkapan administrasi.
Namun ia enggan menanggapi dugaan kecurangan itu dengan alasan menyangkut materi laporan. “Karena perkara ini sedang diperiksa DKPP, tidak etis bagi kami untuk berkomentar ke luar,” tuturnya.
Direktur Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay mengatakan dugaan intimidasi tak hanya menyasar 17 pengadu. Ia bersama sejumlah koleganya juga menerima banyak laporan meski tak semuanya bersedia membuat aduan. “Mereka orang-orang yang berintegritas tinggi dan menolak untuk memanipulasi data,” ujar mantan komisioner KPU periode 2012-2017 itu.
Karena penolakan itu, sebagian di antara mereka dipaksa pindah dari divisi teknis ke divisi lain. Mereka tak berkutik karena selalu kalah suara saat pengambilan keputusan dalam rapat pleno komisioner yang berada di kubu KPU pusat.
Organisasi masyarakat sipil Kawal Pemilu Sulawesi Selatan juga ikut bergerak. Mereka mengajukan permohonan gugatan lewat mekanisme pemeriksaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam dalil gugatan tersebut, mereka mempersoalkan penetapan yang meloloskan sembilan partai politik. Mereka beralasan hanya tiga dari tujuh komisioner yang membubuhkan tanda tangan saat rapat pleno penetapan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana di gedung LBH Jakarta, Jakarta, 28 Juli 2019/TEMPO/M Taufan Rengganis
Tapi laporan itu kandas di Bawaslu. Putusan pemeriksaan yang dibacakan pada Jumat, 6 Januari lalu, menyebutkan dugaan pelanggaran tak terbukti.
Ketua Bawaslu Sulawesi Selatan Laode Arumahi mengklaim perbaikan hasil verifikasi faktual sudah dilaksanakan sesuai dengan prosedur sebagaimana tertuang dalam peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022. “Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar,” katanya.
Anggota tim hukum Kawal Pemilu Sulawesi Selatan, Abdul Kadir Wakanubun, menyesalkan putusan Bawaslu. Sebab, semua keputusan yang digunakan hanya mengandalkan bukti-bukti dari para pelapor. Sementara itu, tak satu pun bukti pelapor yang digunakan untuk memutus perkara tersebut. “Kami menyesalkan pertimbangan Bawaslu yang mengabaikan begitu saja bukti yang kami ajukan,” tuturnya.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty dan Puadi, tak menanggapi permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 6 Desember lalu. Sejumlah anggota KPU juga tak merespons permintaan wawancara ihwal kabar intimidasi tersebut.
Saat dihubungi lewat akun WhatsApp, Ketua KPU Hasyim Asy’ari hanya menjawab pertanyaan Tempo secara sepotong-sepotong. Ia menganggap tudingan adanya intimidasi itu karangan belaka. “Wawancara saja dengan sumber anonim kalian itu,” demikian pesan yang dia tulis.
DIDIT HARYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo