Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA bulan terakhir, jadwal makan siang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pindah ke restoran Jepang. Beberapa resto ia coba saat mengajak bertemu para direktur bank besar di Ibu Kota, seperti Bank Negara Indonesia, Bank BCA, dan Bank Mandiri. "Sehari dua kali makan shabu-shabu sampai perut saya melar," katanya pada Jumat dua pekan lalu.
Basuki sedang bergerilya mencari calon anggota direksi Bank DKI. Ia mendapat laporan rasio kredit macet bank pemerintah itu melonjak dari 2 persen menjadi 4,8 persen. Itu setara dengan Rp 1,3 triliun. Sedangkan modal pemerintah Jakarta saja hanya Rp 1,2 triliun. Basuki kian muntab karena kredit ratusan miliar rupiah itu tersebar di segelintir perusahaan.
Orang pertama yang ia ajak bicara adalah Honggo Widjojo Kangmasto, Direktur Operasi dan Teknologi BNI. Kepada Honggo, Basuki menceritakan keinginannya membesarkan Bank DKI menjadi bank kategori IV dan bisa masuk bursa. Honggo menolak karena merasa turun pangkat mengelola bank yang beraset Rp 43 triliun—sepersepuluh aset BNI—itu.
Basuki tak kurang akal. Ia terus membujuk bahwa Honggo orang yang tepat menangani Bank DKI karena latar belakangnya di bidang teknologi informasi. Menurut Basuki, masa depan bank terletak pada teknologi. Honggo menyatakan pikir-pikir terhadap tawaran itu. "Saya bilang orang akan dikenang jika berhasil membesarkan yang kecil ketimbang membesarkan yang sudah besar," ujar Basuki.
Lobi itu tanpa kesepakatan. Esoknya, Basuki mengundang Kresno Sediarsi, Direktur Teknologi Informasi Bank Mandiri. Sama seperti kepada Honggo, Basuki membujuk Kresno agar mau bergabung dengan Bank DKI. Kresno juga menolak secara halus dengan menyarankan Basuki meminta izin kepada bosnya.
Dua direktur BCA tak luput dari lobi Basuki. Pendekatannya melambung kepada petinggi BCA dengan tak segan meminta Budi Hartono, pemilik BCA dan Djarum, ikhlas melepas anggota direksi yang dipilihnya untuk menangani Bank DKI. "Mereka justru senang direksinya saya pilih," kata Basuki.
Honggo dan Kresno menolak mengkonfirmasi lobi Basuki. Mereka beralasan sedang menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Otoritas Jasa Keuangan, karena keduanya akhirnya setuju bergabung dengan Bank DKI. Dalam rapat umum pemegang saham luar biasa pada Rabu dua pekan lalu, Basuki menunjuk Honggo sebagai komisaris utama dan Kresno sebagai direktur utama.
Direktur lain juga berlatar teknologi. Basuki berpesan agar para direktur baru itu menggarap pengusaha kecil dan menengah. Ia berhitung, jika setiap pengusaha diberi kredit Rp 5 juta, modal Rp 1,2 triliun itu bisa menghidupkan usaha 240 ribu pedagang kaki lima. Apalagi Jakarta baru mendirikan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah, yang menjadi agunan utang para pengusaha kecil itu.
Keahlian para direktur dalam teknologi, kata Basuki, diharapkan bisa membangun sistem yang menyatukan rekening para pedagang kaki lima itu dengan program-program lain Jakarta. Misalnya pedagang yang dihunikan di rumah susun rekeningnya terintegrasi dengan kepemilikan unit sehingga pemerintah mudah memantau jika mereka hendak menjualnya.
Soal rumah susun ini pula yang menjadi pangkal Basuki mengganti direksi lama. Syahdan, pada September tahun lalu, ia meresmikan Rumah Susun Marunda di Jakarta Utara yang menampung penduduk liar di sekitar Waduk Pluit. Ketika itu pemerintah Jakarta sedang giat mengeruk dan menata waduk yang dipenuhi rumah ilegal agar bisa menampung air hujan untuk mencegah banjir.
Sebelum peresmian, Basuki meminta direksi Bank DKI membuat kartu keanggotaan rumah susun. Ia meminta kartu itu didesain bisa terkoneksi dengan rekening yang dapat dipakai untuk banyak keperluan: bayar listrik, air, dan cicilan. Pada hari peresmian, Basuki masygul karena kartu yang dibuat Bank DKI tanpa chip. "Mirip kartu masuk hotel. Buat apa kartu seperti itu?"
Saat berpidato, Basuki menumpahkan kekesalannya itu di depan banyak orang. Peresmian itu dihadiri pejabat Jakarta, direksi Bank DKI, penghuni rumah susun, wartawan, dan tamu lain. Ia ingin pamer berhasil memindahkan penduduk liar ke rumah susun yang mewah. Basuki mengancam akan memecat anggota direksi Bank DKI karena tak becus membuat kartu yang diinginkannya.
Pidatonya yang berapi-api itu disambut gemuruh penghuni rumah susun. Sebaliknya, para direktur pucat mendengar semprotan Basuki, yang terkenal blakblakan jika berbicara. Namun ancaman Basuki itu tak pernah ia wujudkan. Tak ada rapat pemegang saham untuk mengganti direksi. "Saya maafkan dengan harapan mereka bisa berubah," ucapnya.
Harapan Basuki meleset. Empat bulan setelah peresmian Marunda, ia mendapat laporan kinerja Bank DKI pada triwulan pertama 2015 jeblok. Jumlah kredit macet melonjak melebihi modal yang disuntikkan pemerintah Jakarta. Biang kemacetan utang itu salah satunya kredit kepada PT Likotama Harum sebesar Rp 230 miliar. "Ini perusahaan tersangkut korupsi," katanya.
Sejak 2013, Kejaksaan Tinggi Jakarta mengusut Likotama, yang diduga mengorupsi proyek pengadaan lift di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Jaksa menilai proyek itu merugikan negara Rp 16 miliar. Pada Januari tahun lalu, jaksa menetapkan Samsul Basri, Direktur Utama Likotama, sebagai tersangka.
Rupanya, catatan buruk Likotama, yang menjadi nasabah sejak 2006, tak diindahkan oleh direksi Bank DKI. Likotama tercatat mengajukan kredit sebesar Rp 132,5 miliar pada April 2013. Pada 10 Mei, plafon kreditnya malah ditambah Rp 97,5 miliar lewat memo Grup Komersial Nomor 247/GKK-DK/V/2013. Alasannya, tambahan itu untuk membiayai proyek pada tahun berjalan.
Menurut Danan Linggar Sasongko, Pemimpin Grup Manajemen Risiko Bank DKI, rapat Komite Kredit mengabaikan semua catatan buruk Likotama itu. Di Komite, Danan bertindak sebagai sekretaris yang menggelar rapat keputusan pengajuan kredit. Hasilnya, kredit Likotama disetujui pada 29 Mei 2013. "Saat itu semua direktur hadir," ujarnya.
Belum lunas kredit pertama, pada 22 Mei 2014, Likotama mengajukan kredit baru Rp 230 miliar. Sebulan kemudian, kredit itu disetujui. Tiga bulan setelah keputusan itu, pada September 2014, Danan dipertemukan dengan Supendi, Komisaris Likotama, yang dibawa Direktur Korporasi Bank DKI Mulyatno Wibowo.
Waktu itu Supendi telah dinyatakan masuk daftar pencarian orang oleh Kejaksaan dalam kasus korupsi pengadaan lift. "Supendi bercerita bagaimana ia membayar kredit baru itu," kata Danan.
Menurut Heru Budi Hartono, komisaris baru Bank DKI, kredit itu aneh karena tak melalui prosedur sesuai dengan pedoman pemberian kredit. Misalnya soal pemeriksaan agunan. Pemeriksanya hanya seorang karyawan baru. "Seharusnya kredit sebesar itu yang turun level pimpinan," ucap Heru.
Informasi yang diterima Gubernur Basuki, jaminan kredit itu sebidang tanah di Jampang, ujung selatan Sukabumi, Jawa Barat, senilai Rp 130 miliar dan asuransi Jasindo Rp 100 miliar. "Jaminannya meragukan karena di atas lahan ada sekolah dan rumah penduduk," katanya. Dengan melihat segala keanehan itu, Basuki menduga ada permufakatan jahat antara direksi Bank DKI dan Likotama yang bermotif suap.
Supendi menyangkal tuduhan Basuki. "Cek saja sendiri ke sana," ujarnya. Ia menyangkal memberikan upeti kepada direksi agar kreditnya disetujui. Jawaban Mulyatno juga senada. "Di mana kongkalikongnya?" tuturnya. Pencairan kredit, kata Mulyatno, bukan wewenang direksi karena bersama Komite Kredit hanya menyetujui aplikasi perpanjangannya.
Eko Budiwiyono, Direktur Utama Bank DKI ketika kredit itu dicairkan, juga menyangkal menerima suap dari Likotama hingga menyetujui kredit meski perusahaan tersebut bermasalah. "Bagi saya, haram hukumnya menerima uang dari nasabah," ujarnya.
Yang pasti, menurut Danan Linggar, sebagai nasabah lama, Supendi akrab dengan para direktur. Ketika dikenalkan dengannya, Supendi baru keluar dari ruang kerja Mulyatno. "Itu pertemuan kedua saya dengan dia," katanya.
Dugaan Basuki dikonfirmasi seorang komisaris baru Bank DKI yang dipanggil Otoritas Jasa Keuangan karena meneliti kredit macet Likotama itu. "Saya ditunjukkan bukti transfer uang dari Likotama kepada direksi lama," ujarnya. Dody Ardiansyah, juru bicara Otoritas, mengaku belum diberi informasi soal pemanggilan direksi dan komisaris baru Bank DKI itu.
Temuan Otoritas Jasa Keuangan memantik Kejaksaan Tinggi Jakarta menelusuri kredit macet itu. Menurut Adi Toegarisman, Kepala Kejaksaan, pengusutan terhadap Likotama tak sebatas pada dugaan korupsi pengadaan lift. Penyidik, kata Adi, menemukan kaitan antara proyek lift itu dan kredit macet yang prosesnya supercepat.
Soalnya, proyek-proyek yang diklaim Likotama dibiayai dari kredit itu ternyata fiktif. Ada empat proyek di empat provinsi senilai Rp 779,6 miliar yang modalnya dari utang Bank DKI dan tendernya dimenangi perusahaan lain. Salah satunya pembangunan Jembatan Selat Rengit di Meranti, Kepulauan Riau, senilai Rp 212 miliar. "Dengan begitu, Bank DKI telah dibobol," ucap Adi.
Pada Rabu pekan lalu, Adi mengumumkan telah meningkatkan penyelidikan kredit macet Likotama itu ke tahap penyidikan, kendati tak menyertakan tersangkanya. "Peningkatan status ini untuk membuka akses penyelidikan yang lebih mendalam," katanya.
Bagja Hidayat, Erwan Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo