Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Lalu Mariyun mengeras. Giginya sesekali mengatup rapat. Ucapannya bernada tegas dan kadang-kadang bola matanya membesar. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu dengan tangkas menangkis berbagai dugaan buruk soal asal-usul hartanya. Kamis pekan lalu, ia memenuhi panggilan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), setelah absen pada panggilan pertama?alasannya, ia lagi cuti.
Dua pekan sebelumnya, laporan harta kekayaan Lalu di KPKPN dipergunjingkan. Di tengah terungkapnya banyak kasus suap di meja hijau, hakim berharta kecil terkesan ganjil. Tapi dia mengaku punya harta senilai total Rp 260 juta.
Menurut Petrus Selestinus, anggota Subkomisi Yudikatif KPKPN, Hakim Lalu disebut punya rumah di Pondok Indah. Bangunan di Jalan Alam Segar IX/37 itu sengaja tak disebutkan dalam daftar harta kekayaannya, selain ia menerima duit saat memegang sejumlah perkara kakap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Nama hakim kontroversial ini memang melejit saat memutus sejumlah perkara kakap. Misalnya kasus korupsi Bulog yang melibatkan pejabat tinggi seperti Rahardi Ramelan dan Beddu Amang. Lalu kasus Bank Bali yang berujung bebasnya pengusaha Joko Tjandra. Terlebih-lebih putusannya atas kasus bekas presiden Soeharto, yang membuatnya kian tak populer. Bahkan mantan presiden Abdurrahman Wahid, saat melawat ke luar negeri, sempat murka dan menuduhnya telah dibeli oleh Keluarga Cendana. Tudingan ini membuatnya berang dan melawan dengan mengatakan ia "tak pernah menerima duit sepeser pun dari Cendana."
Lalu mengapa Lalu membuat keputusan yang bertentangan dengan semangat publik yang menginginkan Soeharto diadili dan divonis? Ia menyatakan, tuntutan jaksa yang tak bisa diterima hakim mengakibatkan perkara Soeharto dicoret dari register pengadilan. Inilah sebabnya ia menolak menyebut tindakannya tersebut bertujuan membebaskan penguasa rezim Orde Baru itu. "Selama tiga kali, jaksa tetap tak bisa menghadirkan Soeharto di pengadilan," ujar Lalu.
Kepada tim klarifikasi Komisi Pemeriksa, Lalu menyinggung soal ia menerima duit Rp 6 miliar saat menggelar perkara Kepala Bulog Rahardi Ramelan. Kata dia, gosip itu telah dimentahkannya dalam sidang pengadilan. Ketika ia bertanya langsung kepada tim pemeriksa, katanya, "Mereka membantah jika saya pernah meminta uang."
Anehnya, kendati merasa bersih, Lalu menyatakan ia tak akan menjawab pertanyaan tim pemeriksa seputar dugaan suap atau tudingan miring lainnya. "Itu wewenang Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman," ujarnya.
Dalam lembar daftar kekayaannya, tercatat total kekayaan senilai Rp 267,7 juta. Di kampungnya di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Lalu punya tanah dan bangunan 242 dan 80 meter persegi. Nilainya sekitar Rp 36,4 juta. Lalu ada tiga unit kendaraan bermotor seharga Rp 216 juta dan barang berharga senilai Rp 15,2 juta. Ini menurut standar harga tanah dan bangunan di Mataram, yang memang rendah, katanya.
Lalu juga mengaku terutang sekitar Rp 195 juta karena mengambil satu mobil Toyota Kijang tahun 2000. Kabar bahwa ia memiliki usaha rental mobil membuatnya terbahak-bahak. Sebab, usaha itu hanya punya satu unit mobil yang ia sewakannya. Soal punya rumah di Pondok Indah, ia menyanggah, "Itu saya kontrak Rp 25 juta setahun."
Alhasil, KPKPN tak menemukan hal ganjil pada laporan harta hakim itu. Hasil cek fisik atas hartanya cocok dengan laporannya. Setelah ditanya tiga kali, Lalu menjawab hakulyakin tak menyimpan harta lain. Semua hasil klarifikasi itu akan dianalisis tim pemeriksa, kata Petrus, "Kalau ada yang ganjil, akan kita panggil lagi untuk diperiksa."
Penghasilan dan pengeluaran selama ia menjabati Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan diperiksa pula. Selama ini, ia berpendapatan Rp 5 juta sebulan. Tapi dapur rumahnya juga ikut diasapi oleh istrinya, Ratna Ruminingsih, dosen ilmu hukum di Universitas Mataram.
Lalu Mariyun pun lolos dari perangkap tikus. Plong, untuk sementara?
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo