Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA oknum Polri: Sersan Satu Hardiman, 30 tahun, dan Sersan Satu Herman, 29 tahun, Rabu pekan lalu divonis penjara dan dipecat dari Polri/ABRI oleh Majelis Hakim Mahkamah Militer II Yogyakarta. Di persidangan di Aula Polwil Yogyakarta, yang dipadati pengunjung itu, majelis menganggap kedua polisi tersebut terbukti menganiaya seorang siswa kelas II STM, Bakri Budi Santoso, 17 tahun, yang disangka mencuri, sehingga korban meninggal. "Kedua terdakwa itu tidak mempunyai profesionalisme sebagai petugas penyidik, karena ia lebih mengutamakan emosi dan otot daripada rasio," kata ketua majelis hakim, Letnan Kolonel Nyonya Sumarni. Sekitar Maret lalu, Bakri, anak pedagang pisang goreng, ditangkap polisi dan ditahan di Polsek Tegalrejo, karena disangka mencuri Rig atau HT (alat radio komunikasi) di rumah makan Appalosa, Yogya. Selama sebulan di tahanan, ia diperiksa intensif. Tapi anak keempat dari tujuh bersaudara itu mungkir. Belakangan penahanannya dialihkan ke Polresta Yogyakarta. Di sini, lagi-lagi, ia menolak tuduhan itu. "Kalau memang mencuri, ya, ngaku terus terang," ujar ibu kandungnya, Nyonya Sri Sumini. Tapi Bakri, yang tak punya hobi "ngebrik" itu, tetap tidak mengaku. Pada Jumat malam, 29 April 1988, sekitar pukul 21.00, menurut Oditur Mayor Imron Anwari, Bakri dibawa ke ruang serse, Polresta Yogyakarta. Di ruang itu ia diperiksa dua penyidik, Hardiman dan Herman. Ternyata, Bakri tetap mungkir. Emosi Hardiman rupanya meledak. Dengan sebuah kabel listrik sebesar ibu jari sepanjang satu meter, Bakri dihajar Hardiman. Remaja itu menjerit-jerit kesakitan. Tapi pengakuannya tidak keluar. Melihat kebandelan pesakitan ini, giliran Herman yang jengkel. Ia mengambil sepotong kayu bekas kursi, lalu menghajarkan ke kepala, leher, dan muka korban. Bakri pun lemas, dengan kepala memar, mulut berdarah dan giginya goyah. Sekitar tiga jam dipermak, korban dikembalikan ke ruang tahanan. Seorang rekan Bakri sesama tahanan, Daniel, disuruh polisi membersihkan bekas percikan darah korban di ruang pemeriksaan. Dan tengah malam itu juga, Daniel disuruh memandikan Bakri. Tapi selesai dimandikan, Bakri pingsan. Buru-buru polisi membawa korban ke rumah sakit PKU Muhammadiyah. Tapi dua jam kemudian, sekitar pukul 5 pagi, Bakri meninggal. Paginya ibu kandung korban, Sri Sumini, kontan pingsan begitu dikabari Bakri tewas. Kematian itu, kata polisi, karena Bakri jatuh telentang akibat serangan jantung. Tentu saja Sumini tak percaya karena selama ini Bakri tak pernah mengidap penyakit apa-apa. "Kemarin masih segar bugar, kok, sekarang sudah meninggal," ujar Sri Sumini setelah siuman. Sumini semakin curiga karena dia tak diizinkan polisi melihat jenazah anaknya di rumah sakit. "Nanti saja, kalau sudah sampai di rumah," kata petugas. Tapi, sampai di rumah, ia juga tak diperbolehkan membuka penutup mayat anaknya. Baru setelah LBH Yogya turun tangan, "Saya diizinkan melihat jenazah anak saya," katanya. Begitu peti mati dibuka, keluarga Sumini tersentak. Sebab, kematiannya memang tak wajar. "Dari mulutnya keluar darah, dan giginya hilang," cerita Sri Sumini. Uang duka dari pihak polisi Rp 100 ribu, plus beras, teh, dan gula, tak membuat hati keluarga ini luluh. Kematian Bakri tetap dipersoalkan LBH Yogya dengan cara menulis pengaduan ke Polda Jawa Tengah dan Mabes Polri. Berkat surat itulah pengusutan atas kedua polisi itu dilakukan. Di mahkamah semua penganiayaan itu terbukti. Di tubuh korban terdapat 47 bekas luka. "Kami melakukannya karena jengkel dan ingin mengejar semua pengakuan Bakri," kata Herman di persidangan. Berdasarkan bukti-bukti itu, majelis mengganjar Hardiman hukuman 2 tahun 3 bulan, dan Herman 2 tahun 6 bulan. Selain itu, kedua terhukum dihukum pecat dari dinas Polri/ABRI. "Alhamdulillah, saya puas dengan putusan itu," komentar Nyonya Sri Sumini. Sebaliknya, baik Herman maupun Hardiman keberatan atas vonis itu. "Kalau hukuman 2 tahun 6 bulan, saya sanggup menjalaninya. Tapi dipecat dari ABRI, saya benar-benar sedih," kata Herman, ayah seorang anak. WY dan Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo