Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAB kerusuhan rasial di kota batik Pekalongan, Jawa Tengah, telah ditutup hakim. Pelaku yang dianggap memicu kasus itu, Tan Siauw Ing, 31 tahun, Senin pekan lalu dianggap hakim terbukti melakukan penganiayaan, yang mengakibatkan kematian seorang tukang becak, Dahlan 55 tahun. Karena itu hakim memvonis 5 tahun penjara. Mendengar vonis itu, Siauw Ing, yang mengenakan baju lurik dan berpeci hitam, menangis sesenggukan. Nasibnya memang berbeda dengan kakaknya, Siauw Hwa, 35 tahun, yang semula didakwa membantu adiknya. Majelis hakim yang diketuai Nyonya Adiati ternyata membebaskan Siauw Hwa, kakaknya. "Siauw Hwa tak tahu apa-apa. Malah ia yang dianiaya para korban," kata anggota majelis hakim, R. Sanit Dt. Bandarosati. Kedua kakak beradik putra Tan Djoe Kiem -- pemilik ruko di Jalan Jlamprang Pekalongan -- itu semula dituduh sebagai biang kerusuhan tersebut. Pada tengah malam 21 Desember 1989, seorang pemuda pengangguran yang bernama Santoso, 20 tahun -- putra Dahlan -- meminta rokok kepada Siauw Ing. Pertengkaran terjadi gara-gara Ing mengaku tak punya rokok. Ternyata pertengkaran itu berbuntut dengan dikeroyoknya Siauw Hwa, yang tak tahu-menahu persoalan, oleh Dahlan dan Santoso. Ing, yang melihat kakaknya diantemi, berteriak minta tolong kepada segenap warga. Tapi tak ada yang mengindahkan. Akhirnya Ing mengambil sebilah pisau, katanya, untuk menakut-nakuti kedua pengeroyok. Toh tak mempan juga. Maka, Ing menyerang Dahlan dan Santoso. Akibatnya bapak dan anak itu luka parah. Dahlan meninggal dunia sewaktu dibawa ke rumah sakit, sedangkan Santoso masih tertolong. Peristiwa itu segera menyulut kerusuhan rasial. Tak hanya ruko Tan yang menjadi sasaran amukan penduduk. Api "sentimen" nonpri itu juga menjalar ke daerah sekitarnya. Beberapa toko, pabrik, mobil, dan tempat bilyar dirusak massa. Begitupun, Ing menganggap vonis terhadapnya itu terlalu berat. "Saya kan hanya membela diri karena kakak saya terus diinjak-injak," kata Ing. Jaksa Husein Sechoo juga menyatakan naik banding. "Vonis itu terlalu ringan. Sebab, terdakwalah biang keladi kerusuhan yang kemudian timbul di Pekalongan itu," katanya. Happy S., M. Aji Surya (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo