Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pencemar lingkungan kerap lolos dari jerat hukum.
Kapasitas jaksa dan hakim dipertanyakan.
Hadirnya UU Cipta Kerja juga berperan membuat para pencemar lingkungan melenggang bebas.
JAKARTA - Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memenangkan PT Rayon Utama Makmur (RUM) dalam tuduhan pencemaran lingkungan mendapat kecaman. Pelaku pencemaran lingkungan kerap lolos dari jerat hukum karena berbagai masalah dalam penegakan hukum.
PT RUM divonis bebas dari jerat pidana pencemaran lingkungan pada 13 Februari 2024. Desember tahun lalu, PN Sukoharjo juga menolak gugatan class action yang diajukan warga Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, yang tergabung dalam Sukoharjo Melawan Bau Busuk (Sumbu). Mereka mengajukan gugatan itu karena, sejak PT RUM beroperasi pada 2017, air Kali Gupit yang biasa digunakan untuk kehidupan sehari-hari hingga mengairi sawah telah tercemar dan mengeluarkan bau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, menilai, dalam putusan itu, majelis hakim tidak melihat fakta yang terjadi secara menyeluruh. Majelis hakim tidak mempertimbangkan bukti yang diajukan oleh warga desa. “Majelis hakim tidak jeli dalam mengambil putusan,” kata Asep kepada Tempo, Rabu kemarin, 21 Februari.
Padahal, kata Asep, masyarakat sudah memberikan fakta-fakta berupa hasil uji laboratorium ambang batas baku mutu lingkungan setempat. Tapi hasil itu tidak dipertimbangkan hakim. Majelis hakim justru hanya mempertimbangkan hasil uji lab yang dikeluarkan oleh perusahaan pembuat serat rayon sintetis itu. “Dalam kasus ini, independensi lembaga peradilan patut dipertanyakan,” katanya.
Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara Roni Saputra memaparkan bahwa vonis bebas PT RUM bukanlah yang pertama kali terjadi dalam pengadilan kasus pencemaran lingkungan hidup di Indonesia. Berdasarkan catatan yang dimiliki Yayasan Auriga Nusantara, terjadi kurang-lebih 50 kasus pencemaran lingkungan sepanjang 2015-2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana sidang pertama dengan agenda pemeriksaan kelengkapan berkas Penggugat (warga) dan Tergugat (PT Rayon Utama Makmur), 21 Maret 2023. Dok. LBH Semarang
Dari jumlah itu, empat kasus divonis bebas, 19 dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), 16 kasus tidak jelas hasil akhirnya, dan hanya 11 kasus yang divonis bersalah secara pidana. “Bahkan ada yang divonis tapi tak ada tindak lanjut atau tidak jelas eksekusinya,” kata Roni saat dihubungi.
Roni menyatakan minimnya vonis bersalah dalam kasus pencemaran lingkungan tak terlepas dari kelemahan jaksa penuntut umum dalam menyusun perkara dan meyakinkan hakim. Jaksa dinilai kerap tak memahami konstruksi kasus pencemaran lingkungan. “Ketika jaksa mampu meyakinkan hakim, maka bisa (potensi) diputus bersalah,” katanya.
Bukan hanya jaksa, Roni juga menilai saat ini belum banyak hakim yang memiliki sertifikat lingkungan hidup. Hal inilah yang juga membuat para pencemar lingkungan kerap bebas dari jerat hukum. “Masih banyak pengadilan yang hakimnya belum memiliki sertifikat lingkungan,” ucapnya.
Menurut Roni, hakim seharusnya bisa menggunakan asas hukum in dubio pro natura apabila ragu saat memutus suatu perkara pencemaran lingkungan. Asas itu mengedepankan pelindungan terhadap lingkungan dalam sebuah putusan hukum. Pada praktiknya, asas ini jarang sekali diterapkan dalam persidangan pencemaran lingkungan.
Selama ini, menurut pemantauan Roni, hakim lebih mengedepankan aspek-aspek teknis yudisialnya, yakni terpenuhinya dua alat bukti yang cukup. “Ini yang mengakibatkan putusan-putusan di pengadilan itu jadi bebas,” katanya.
Aksi warga Sukoharjo terkait pencemaran lingkungan PT Rayon Utama Makmur. Dok. LBH Semarang
Selain karena faktor manusia, Roni menyoroti peran Undang-Undang Cipta Kerja dalam membebaskan para pencemar lingkungan. Undang-undang ini, menurut dia, membuat banyak perusahaan mendapat vonis bebas dalam kasus pencemaran lingkungan. Undang-undang omnibus law itu disebut mengubah pencemaran lingkungan, yang dulunya dianggap sebagai tindak pidana, menjadi sekadar masalah administrasi. Karena itu, apabila perusahaan lalai hingga menyebabkan kerusakan lingkungan, tindakannya sebatas sanksi administratif.
Roni mencontohkan kasus pembakaran lahan oleh PT Kumai Sentosa di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2019. Perusahaan perkebunan sawit itu lolos dari jerat pidana dan hanya divonis bersalah dalam gugatan perdata. PT Kumai Sentosa diharuskan membayar denda sebesar Rp 175 miliar pada tingkat peninjauan kembali.
Roni menyoroti putusan majelis hakim di tingkat pertama hingga kasasi yang membebaskan perusahaan sawit itu dari tuntutan ganti rugi sebesar Rp 935 miliar. Dalam putusan itu, menurut dia, hakim beralasan perusahaan tak bersalah karena telah memasang papan peringatan dilarang membakar lahan.
Padahal Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan siapa pun yang usahanya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dapat dimintai pertanggungjawaban secara mutlak tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Jika merujuk pada pasal itu, menurut Roni, seharusnya PT Kumai Sentosa dinyatakan bersalah sejak awal. “Saya lihat ada kekeliruan memahami aturan yang ada,” katanya.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo