Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis-vonis asap ganja?

Ibnu hajar, syaiful, dan aswin siregar yang didakwa sebagai penjahat ganja oleh pengadilan banding divonis bebas. sulit dimengerti para hakim atau jaksa yang memvonis atau menuntut hukuman cukup berat.

4 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT hakim menghukum berat yang terlibat narkotik dan sejenisnya sudah luntur? Setidaknya, begitulah yang dijatuhkan terhadap Ibnu Hajar, Syaiful, dan Aswin Sirear, yan didakwa sebagai penjahat ganja. Hakim membebaskan mereka dari tuduhan. "Allah Mahakuasa," kata Tuan Guru Dahnial, guru mengaji, bapak Ibnu. Ibnu, yang tak lulus SD itu, dijebak satu regu tim gabungan ABRI pada 17 Agustus tahun lalu, di rumah ayahnya di Desa Tanjung Karang, Aceh Timur, 34 km dari Langsa. Dua lelaki - yang kemudian diduga informan - berniat membeli ganja. Tanpa pikir panjang diladeni oleh anak guru bermata sayu ini. Tamu pamit sebentar, datanglah tim gabungan. Ibnu tak berkutik, petugas menemukan 1,8 kg ganja kering di rumah itu. Di persidangan, Ibnu mengaku ganja tersebut miliknya. Katanya, dia sering berbelanja barang terlarang itu ke Blangkejeren, ladang ganja di Aceh Tenggara. Saksi-saksi pun memberatkannya. Jaksa Muzlan sigap menjerat Ibnu yang dinyatakannya menyalahi pasal 23 dan pasal 36 ayat 3 UU No. 9, 1976. Ia, yang tak punya hak menyimpan untuk memiliki atau menguasai ganja itu, dituntut 6 tahun penjara. Rupanya, ketua majelis, Nursal Darwis, punya pandangan lain. Dengan pasal yang sama, Nursal menggunakan ayat 5. Artinya, Ibnu tergolong pedagang ganja, yang diancam hukuman maksimal 20 tahun. Tapi putusan hakim dan tuntutan jaksa klop: 26 Maret lalu Ibnu divonis 6 tahun. Karena dasar untuk menghukum tidak sama, jaksa naik banding. Pikir dia, dengan ayat tersebut, mestinya hukuman lebih berat. Namun, Ketua Pengadilan Tinggi Aceh pada 20 Mei lalu membebaskan Ibnu. Bahkan, Badaroeddin, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, membatalkan dakwaan jaksa dan vonis hakim. Alasannya, dakwaan jaksa yang jadi pedoman pertimbangan hakim, seperti kata Paiman, pembela Ibnu, tak terinci. Muzlan kecewa. Pekan ini Muzlan menyusun kasasi. Sekitar 40 hari sebelumnya, Badaroeddin pun membebaskan Syaiful, 23 tahun, mahasiswa Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Kisahnya, mahasiswa itu ditangkap ketika dari laci lemarinya diketahui tersimpan ganja. Turut disita 11 bungkus kertas penggulung ganja, sebuah dacin kecil, dan sejumlah amplop - barang-barang khas milik pedagang ganja. Saksi Amiruddin mengatakan pada September 1986 ia menjual 1,6 kg daun ganja kepada Syaiful. Indra Budi Priansyah, juga saksi, mengaku pernah membeli ganja dari Syaiful dan Pak Kumis - kompanyon Syaiful. Di PN Banda Aceh, Jaksa Abdul Kochar mengajukan biji-biji ganja sebagai bukti. Ketua Majelis, Tjut Keumala Hamzah, menerima bukti, memidana Syaiful 5 tahun penjara awal Maret lalu, kurang setahun dari tuntutan. Muzakkir Abubakar, pembela Syaiful, naik banding. Tuduhan itu fiktif, katanya, karena jaksa tak berhasil menunjukkan daun ganja itu di persidangan. Badaroeddin tampaknya akur dengan sang pembela. Bukti yang ditunjukkan jaksa (biji ganja) tak sesuai dengan yang dijadikan pertimbangan kuat untuk menjatuhkan hukuman (daun ganja). Malah, Badaroeddin tak percaya, Saiful pelakunya. Putusan Badaroeddin itu mengecewakan A.l. Adnan, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh. "Biji maupun daun dan batang, ya, sama-sama ganja," katanya. Adnan kasasi. Kini muncul kecurigaan orang, sebenarnya kedua orang itu memang pengedar ganja. Buktinya, setelah bebas, Ibnu dan Syaiful sampai awal pekan ini tak ditemukan di rumah masing-masing. Ada yang bilang mereka kabur. Ayah Ibnu membantah tuduhan itu. "Anak saya merantau cari kerja. Dia sudah tobat," katanya. Ini tentu bakal merepotkan aparat pengadilan, seandainya, nanti, Mahkamah Agung ternyata menghukum mereka. "Kemurahan" yang sama juga diperoleh Aswin Siregar, 26 tahun, yang ditangkap pada malam 9 Mei tahun lalu di sebuah rumah di Desa Rambuh Merah, Simalungun, Sum-Ut, 120 km dari Medan. Aswin tertangkap, konon, karena laporan Rumondang Siahaan, 23 tahun, pacarnya sendiri. "Saya tak suka cowok saya kecanduan ganja," kata Rumondang. Dari Aswin juga ditemukan 41 gram biji ganja dan empat amplop berisi daun ganja. Tapi Aswin dengan keras menolak tuduhan itu. "Saya mengaku karena takut dipukul polisi," katanya. Menurut Aswin di persidangan PN Pematangsiantar, ia bertamu ke rumah Rumondang untuk memutuskan hubungan. Soalnya, Rumondang mau dibawa laki-laki lain. Dia menemukan cewek-nya itu sedang fly, mengisap ganja. Aswin mematikan apinya. Tiba-tiba polisi muncul menangkap dia. Kepala RT setempat, Iman Ali, menyaksikan polisi menemukan ganja lainnya dari bawah tikar dan lemari Rumondang. Barang-barang terlarang itu rupanya didakwakan Aswin-lah pemiliknya, meski ditemukan di rumah Rumondang. Namun, hakim lebih mempercayai penyangkalan Aswin, yang lalu membebaskannya dari dakwaan pada 18 Juni lalu. Jaksa, yang menuntut 18 tahun, langsung kasasi. Kecenderungan Pengadilan Tinggi Aceh dan PN Pematangsiantar agak menyebal dari kecenderungan setelah 1984. Sebelum tahun itu, meski sudah ada undang-undang narkotik (1976), para hakim memang masih "sungkan-sungkan" menjatuhkan vonis kejahatan narkotik, apalagi ganja. Baru pada 1984 PN Jakarta Utara, untuk pertama kalinya, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi pembawa 700 gram heroin. Keputusan ini dipuji oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Sesudah itu vonis kejahatan narkotik, ganja, dan sejenisnya cenderung berat. Sepasang suami-istri Februari 1984 dijatuhi hukuman 15 tahun dan 10 tahun penjara karena membawa 160-an kg ganja. Seorang perwira ABRI yang kedapatan membawa 25 kg ganja dihukum 18 tahun. Memang, dibandingkan jumlah ganja yang ditemukan, tiga kasus belakangan inl tergolong ringan. Tapi bahwa mereka dibebaskan dari tuduhan, sungguh sulit dimengerti oleh para hakim atau jaksa yang memvonis atau menuntut hukuman cukup berat. Boleh ditunggu keputusan kasasi, adakah konsisten dengan sikap yang telah dirintis pada 1984 lalu. Lebih terpuji, bila bisa dibongkar jaringan pengedar daun untuk teler itu. Monaris Simangunsong Laporan Biro Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus