ANDY Boby, 12 tahun, semula hanya termangu-mangu. Tapi ketika
vonis hakim menyebutkan hukuman penjara 15 tahun bagi dirinya,
ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Hanya karena kemudian Abdul
Malik, SH pembelanya, cepat memangku dan mengelus-elus
kepalanya, anak itu pun segera tenang.
Para pengunjung yang selalu memenuhi ruangan dan halaman
Pengadilan Negeri Sragen selama persidangan pembunuhan terhadap
pembantu rumah tangga, Kasinem, itu pun terpukau. Bahkan
murid-murid SD Kristen Sragen, kawan sesekolah Boby,
bertangisan.
Pemandangan hampir serupa terlihat juga beberapa saat kemudian
tatkala Anggraini, 9 tahun, di pengadilan yang sama divonis 5
tahun penjara. Tak tahu apa yang mesti dilakukan, anak yang
sehari-hari dipanggil Nonik itu, hanya tersedu-sedu.
Tapi lima hari kemudian, 15 Februari lalu, suasana di sekitar
pengadilan itu berubah. Para penonton yang berjejal di segala
sudut berteriak gembira begitu Majelis Hakim yang dipimpin Ketua
Pengadilan Negeri Sragen, Supartomo, SH, memvonis mati Sucianto,
32 tahun, ayah Boby dan Nonik. Para pengunjung sidang juga
berteriak-teriak puas ketika beberapa saat kemudian pengadilan
yang sama menjatuhkan vonis 20 tahun penjara bagi Nyonya Susana,
istri Sucianto yang melahirkan anak ke-5 di dalam tahanan
beberapa hari sebelum divonis.
Menurut Supartomo, sarjana hukum lulusan UGM 1966 itu, Andy Boby
terbukti dengan sah dan meyakinkan melanggar Ps. 54 jo Ps. 340
KUHP, yaitu turut merencanakan pembunuhan terhadap pembantu
rumah tangga keluarganya, Kasinem. Sedangkan Sucianto, menurut
Supartomo, adalah otak pembunuhan yang menghebohkan itu.
Kematian Kasinem terjadi Agustus 1982. Mayatnya ditemukan di
tumpukan sampah di Desa Slogohimo, daerah Surakarta. Menurut
pengakuan para tertuduh sebelum meninggal gadis desa berusia 18
tahun itu selama hampir tiga hari terus menerus disiksa: kedua
kakinya diikat, dada dan kepalanya dipukuli serta kemaluannya
dilukai dengan benda keras. Para penyiksa termasuk kedua anak
Sucianto, Anggraini dan Boby. Kasinem telah bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di rumah agen pupuk, Sucianto, sejak 4
tahun lalu.
Mereka yang diajukan sebagai terdakwa, selain Sucianto berikut
istri dan kedua anaknya, juga Ny. Susilowati (ibu Ny. Susana)
yang divonis 10 tahun. Yang belum divonis: Sriati, Sumardi
(keduanya juga pembantu rumah tangga di rumah Sucianto), Gunadi,
Purwanto dan Surat.
Tapi dengan vonis yang dijatuhkan kepada suami-istri Sucianto
itu, berarti lengkaplah sudah seluruh anggota keluarga itu
berada dalam Lembaga Pemasyarakatan Sragen. Sebab dua orang anak
terpidana mati itu yang lain, Kris, 6 tahun, dan Sie Wo, 4
tahun, terpaksa harus menyertai orangtua mereka di dalam
penjara. Hanya di dalam sel, Boby dan ayahnya harus bercampur
dengan para terpidana lainnya sesama laki-laki.
Suasana di dalam sel yang dihuni Susana bersama ibu dan ketiga
anaknya pada hari-hari pertama memang berbeda dari sel-sel
lainnya. Menurut Pembela Abdul Malik, dari ruang itu tak
henti-hentinya terdengar suara anak-anak yang saling
bertangisan. Termasuk tangis bayi yang baru beberapa hari
dilahirkan Ny. Susana. Suara si nenek rupanya hampir habis,
sehingga ia hanya meratap. "Tapi Nyonya Susana mengaku sudah tak
bisa menangis lagi, karena air matanya sudah terkuras," ungkap
Malik.
Tetapi Abdul Malik yang menjadi pembela keluarga Sucianto tetap
menyesalkan vonis yang dijatuhkan Hakim Supartomo yang
memberikan hukuman maksimum --terutama terhadap kedua anak
Sucianto yang masih di bawah umur itu. "Mereka baru sekali ini
melakukan kejahatan, hukuman itu terlalu berat," kata Malik.
Malahan pembela itu menilai sidang PN Sragen yang mengadili
kedua anak itu tidak sah, karena berlangsung terbuka. Ditambah
lagi para jaksa dan hakim lengkap memakai toga. Karena itu
begitu vonis jatuh, Malik langsung menyatakan naik banding
sementara jaksa masih berpikir.
Jaksa Badriah Qadri yang menuntut Boby 10 tahun maupun Jaksa
Suroto yang menuntut Anggraini 1 tahun dengan masa percobaan 3
tahun, rupanya tak banyak komentar atas vonis hakim. "Walaupun
Boby masih dua belas tahun dan duduk di kelas 6 SD, mental dan
fisiknya cukup sehat -- sehingga perbuatannya bisa dipertanggung
jawabkan," ujar Badriah.
Jaksa Suharjono yang menuntut Sucianto 23 tahun, mengaku hanya
karena khilaf ia mengajukan tuntutan seperti itu, "tanpa maksud
apa-apa." Tapi ketika pembela memprotes tuntutan itu, Suharjono
mengubah tuntutannya menjadi 20 tahun. Jaksa itu tak mau
berkomentar ketika ditanyakan tentang vonis mati bagi Sucianto.
Jaksa Anwar Siraj yang menuntut Ny. Susana 15 tahun rupanya
sependapat dengan hakim. "Saya pikir vonis itu tidak menyalahi
hukum, sebab hukum memberi tiga alternatif," katanya. Tapi
seorang hakim di PN Sragen yang tak mau disebutkan namanya tak
berani mengomentari semua vonis itu. "Saya tidak berani bicara
apa-apa, sebab nanti bisa dimarahi," kata hakim itu setengah
berbisik.
Hakim Supartomo, kelahiran Cilacap 48 tahun yang lalu, dinilai
Abdul Malik maupun beberapa pengunjung sidang terlampau
emosional ketika menjatuhkan vonis. Ketika ditemui di ruang
kerjanya, beberapa saat setelah menjatuhkan vonis terhadap
Sucianto dan Susana, mula-mula ia tampak bersungut-sungut.
"Kalau perkara sudah diputus, buat apa dipermasalahkan lagi,"
komentar hakim yang sudah 3 tahun menjadi Ketua PN Sragen itu,
dengan nada tiba-tiba berang ketika ditanyakan vonisnya. Dengan
nada berang serupa itu pula, beberapa waktu lalu, ketika kasus
ini mulai disidangkan, ia pernah mengancam para wartawan dengan
kata-kata, "awas kalau potret saya dimuat" -- tanpa alasan yang
jelas.
Dan dengan sikapnya itu juga, beberapa waktu yang lalu ia pernah
mencaci maki Pengacara Soemarno P. Wirjanto di depan
persidangan, ketika yang terakhir ini mencoba mengajukan diri
turut membela beberapa tertuduh dalam kasus kematian Kasinem.
Karena itu Soemarno yang merasa profesinya dihina, mengajukan
pengaduan ke Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini