Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOCHTAR Mohamad menggelar hajatan khusus. Mengenakan sarung dan hanya berbalut kaus merah, Rabu malam pekan lalu, Wali Kota Bekasi nonaktif itu menanti para tamunya di ruang makan rumah dinas Wali Kota. Di atas meja terhidang lima tumpeng nasi kuning plus penganan pendamping.
Dari ruang depan, tamu silih berganti datang dan memberikan ucapan selamat kepada sang sahibulbait. Wajah Mochtar terlihat sumringah. Sesekali ia menyodorkan piring dan sendok kepada tamunya agar mencicipi hidangan. Ratusan tamu, dari tokoh masyarakat, pejabat Bekasi, hingga aktivis lembaga swadaya masyarakat, tumplek di rumah itu. "Saya telah berhasil melewati ujian berat," kata Mochtar kepada Tempo.
Malam itu, pria yang pada 26 Oktober nanti genap 47 tahun tersebut memang tengah membuat acara syukuran. Sehari sebelumnya, ayah tiga anak itu mendapat "hadiah" vonis bebas dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Majelis hakim yang diketuai Azharyadi dengan anggota Eka Saharta Winata dan Ramlan Comel menilai semua dakwaan jaksa terhadap Mochtar tidak terbukti. Sedangkan jaksa menuntut Mochtar 12 tahun penjara. "Reputasi terdakwa harus dipulihkan," kata Azharyadi dalam putusannya.
Sebelumnya, Rabu siang, Mochtar sowan ke kediaman Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan. Di partai ini Mochtar menjabat Ketua Dewan Pimpinan Cabang Kota Bekasi. PDIP juga yang menyiapkan pengacara untuk Mochtar. Ketika Mochtar meminta penangguhan penahanan, Tjahjo Kumolo, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, juga maju memberi jaminan.
Ditetapkan sebagai tersangka pada medio November 2010, Mochtar dijerat KPK dengan empat tuduhan. Ia, antara lain, dituduh memakai anggaran untuk membayar angsuran pinjaman pribadinya Rp 639 juta di Bank Jabar Banten. Mochtar juga dituduh menyuap anggota DPRD Bekasi Lilik Haryoso Rp 4 miliar guna memuluskan pembahasan anggaran Kota Bekasi 2010. Dana suap dikumpulkan dengan cara memotong dua persen nilai anggaran proyek di setiap dinas.
Mochtar juga dituduh menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan Bandung, Suharto. Tujuannya supaya laporan keuangan Kota Bekasi 2009 mendapat opini wajar. Tuduhan ini, menurut KPK, merupakan pengembangan kasus sebelumnya. Pada Mei 2010, KPK menangkap tangan dua pejabat Kota Bekasi, Herry Lukmantory dan Herry Suparjan, ketika tengah menyuap Suharto. Dari mereka, KPK menyita uang Rp 200 juta. Ketiganya sudah diadili dan divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
KPK juga menjerat Mochtar dengan tuduhan menyuap anggota tim penilai Adipura Kementerian Lingkungan Hidup, Melda Mardalina, Rp 500 juta dengan tujuan agar Bekasi bisa mendapat penghargaan Adipura 2010. Menurut temuan KPK, saat itu Bekasi tidak layak mendapat Adipura karena nilainya di bawah standar. Kepada penyidik, Melda mengaku pernah ditawari uang oleh Mochtar, tapi ia menolak.
Empat tuduhan itulah yang didakwakan jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Perkara Mochtar adalah perkara pertama KPK yang diadili di luar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Setelah memeriksa 76 saksi, 5 saksi ahli, dan 320 barang bukti di persidangan, majelis hakim menilai empat dakwaan itu tidak bisa menjerat Mochtar (lihat "Kejutan Terus dari Bandung"). Dakwaan menyisihkan anggaran untuk kegiatan fiktif agar Mochtar bisa melunasi pinjamannya di bank, misalnya, dianggap tidak melawan hukum. Menurut hakim, sejumlah saksi dan barang bukti foto justru menguatkan kegiatan itu tidak fiktif.
Hakim juga menyatakan dakwaan Mochtar menyuap Lilik tak terbukti. Selain tidak ada barang bukti dan saksi saat penyerahan uang, menurut hakim, keterangan soal perintah suap dari Mochtar hanya disampaikan bekas Sekretaris Daerah Kota Bekasi Tjandra Utama Efendi. "Terdakwa tidak tahu soal pengumpulan uang itu," kata Azharyadi.
Mochtar menyambut vonis bebasnya itu dengan sujud di ruang sidang. Ratusan pendukung Mochtar yang sejak pagi memenuhi pengadilan langsung memekikkan takbir, "Allahuakbar…, Allahuakbar…." Jaksa KPK, Ketut Sumedana, menyambut putusan itu dengan murung. "Kami belum kalah," ujarnya. KPK, ujar Ketut, akan meminta kasasi atas putusan tersebut.
VONIS bebas ini sudah diprediksi sejumlah kalangan. Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Bunyamin Saiman, misalnya, menyatakan sudah mencium gelagat ini sejak awal persidangan. Dia menunjuk pemberian status tahanan kota untuk Mochtar pada awal persidangan dengan alasan memiliki penyakit jantung koroner sebagai sinyal. "Polanya mirip vonis bebas sebelumnya," kata Bunyamin.
Yang dimaksud Bunyamin adalah vonis bebas majelis Pengadilan Tipikor Bandung untuk Wakil Wali Kota Bogor nonaktif Ahmad Ru'yat dan Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat. Keduanya juga mendapat penangguhan penahanan karena alasan sakit.
Dua hakim majelis yang menyidang perkara Mochtar juga bagian dari majelis hakim perkara Ru'yat dan Eep. Ramlan adalah anggota majelis hakim Eep, sedangkan Azharyadi anggota majelis hakim Ru'yat. "Vonis Mochtar itu pukulan telak bagi KPK, karena itu vonis bebas pertama untuk perkara KPK yang diajukan ke pengadilan," katanya.
Selain rendahnya integritas hakim, KPK dinilai Bunyamin terlalu percaya diri. Dengan adanya pengadilan tipikor daerah, kata dia, KPK mestinya merumuskan pembuktian yang lebih komprehensif. Selama ini, kata dia, sebagian perkara KPK yang dinyatakan bersalah di pengadilan adalah kasus tertangkap tangan. Perkara Mochtar tidak berangkat dari proses itu. "Buktinya kurang kuat sehingga mudah dipatahkan," katanya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho memiliki pendapat berbeda perihal bebasnya Mochtar. Menurut Emerson, hakim hanya mempertimbangkan pembuktian terdakwa dan mengabaikan barang bukti jaksa, seperti dokumen tertulis, uang suap BPK, dan koper sebagai barang bukti tuduhan suap terhadap anggota DPRD. Saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Arman Syahri, kata dia, juga diabaikan. Padahal, kata Emerson, di persidangan, Arman menyatakan audit BPKP menemukan adanya sejumlah kegiatan audiensi dan dialog fiktif yang dibuat Mochtar.
Bebasnya Mochtar itu juga membuat Komisi Yudisial segera turun tangan. Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, sebelum hakim menjatuhkan vonis bebas untuk Mochtar, pihaknya sudah mendengar adanya rencana vonis bebas tersebut. Komisi menyoroti dua hakim dalam kasus Mochtar yang sebelumnya memvonis bebas terdakwa korupsi lain. Apalagi, kata Suparman, salah satu hakim itu, Ramlan Comel, pernah terlibat kasus korupsi overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako senilai Rp 1,8 miliar pada 2005. (lihat "Pengadil yang Sarat Catatan").
Sumber Tempo menyebutkan, dalam perkara ini, jaksa juga keliru. Ia menyebut, misalnya, sejumlah saksi kunci tidak dihadirkan di persidangan. Dalam kasus upaya suap Adipura, kata sumber itu, jaksa tidak menghadirkan sopir dan ajudan Mochtar yang menyaksikan upaya Mochtar menyuap anggota tim Adipura, Melda, di mobil terdakwa saat perjalanan pulang dari Bekasi.
Jaksa, kata dia, terlalu memaksakan delik penyuapan. Ia menunjuk suap anggota DPRD untuk memuluskan anggaran Bekasi. Jika memasang pasal permufakatan jahat melakukan suap, kata dia, jaksa cukup membuktikan Mochtar hadir atau tidak ketika rapat pengumpulan dana dua persen digelar. "Suap tanpa tertangkap tangan itu sulit dibuktikan," kata dia.
Jaksa Ketut Sumedana menegaskan, dakwaan sudah dibuat maksimal. Menurut Ketut, semua bukti yang menguatkan tuduhan sudah dibeberkan di sidang. "Namun tidak satu pun yang dipertimbangkan hakim." Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, pihaknya akan fokus membedah apakah ada atau tidak bukti yang diabaikan hakim. "Jika ada, ini manipulasi hukum," kata Busyro kepada Tempo.
Azharyadi sendiri enteng menanggapi adanya tudingan kejanggalan dalam vonis yang ia ketuk. "Vonis itu sudah sesuai dengan keyakinan kami," katanya.
Anton Aprianto, Erick P. Hardi (Bandung), Hamluddin (Bekasi)
Kejutan Terus dari Bandung
BELUM genap setahun berjalan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung sudah membuat kejutan: tiga kali menjatuhkan vonis bebas. Setelah memutus bebas dua kepala daerah, Selasa pekan lalu giliran Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Mohamad mendapat vonis serupa.
Eep Hidayat
(Bupati Subang nonaktif)
Perkara: Dugaan korupsi upah pungut pajak di Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rp 14 miliar
Asal perkara: Kejaksaan Negeri Subang
Tuntutan: 8 tahun penjara
Majelis hakim: I Gusti Lanang Dauh (ketua dan hakim karier), Nurhakim (karier), dan Ramlan Comel (ad hoc).
Putusan: Vonis bebas pada 22 Agustus 2011
Ahmad Ru’yat
(Wakil Wali Kota Bogor nonaktif)
Perkara: Dugaan korupsi berombongan anggaran Kota Bogor 2002 senilai Rp 6,8 miliar
Asal perkara: Kejaksaan Negeri Bogor
Tuntutan: 4 tahun penjara
Majelis: Joko Siswanto (ketua dan hakim karier), Azharyadi (karier), dan Iskandar Harun (ad hoc).
Putusan: Vonis bebas pada 8 September 2011
KPK versus Hakim | ||
Dakwaan | Fakta Persidangan | Pendapat Hakim |
Dugaan menyisihkan anggaran kegiatan fiktif membayar angsuran pinjaman pribadi Rp 639 juta di Bank Jabar Banten | Keterangan sejumlah saksi menguatkan tuduhan Memo wali kota tentang kegiatan fiktif berupa dialog dengan tokoh masyarakat Catatan keuangan kegiatan dialog Audit BPKP tentang kerugian negara Didukung keterangan saksi | Kegiatan dialog tidak fiktif karena ada keterangan saksi dan foto Keterangan memo fiktif hanya dari satu saksi Pinjaman untuk mendanai kegiatan dan harus diganti |
Suap ke anggota DPRD Bekasi Lilik Haryoso senilai Rp 4 miliar untuk memuluskan anggaran 2010 | Didukung keterangan saksi | Hanya didukung keterangan satu saksi dan tidak ada bukti pemberian suap Tidak ada bukti terdakwa mengetahui pengumpulan dana suap |
Suap Rp 200 juta ke tim pemeriksa BPK RI wilayah Bandung | Didukung keterangan saksi dan barang bukti tas dan uang suap | Tidak ada saksi dan barang bukti yang menunjukkan adanya perintah suap dari terdakwa |
Suap Rp 500 juta ke tim penilai Adipura | Didukung keterangan sejumlah saksi Dokumen nilai Adipura Bekasi | Tidak ada saksi dan bukti penyerahan uang |
Hikayat Pak Wali Kota
KARIER politik Mochtar Mohamad terbilang moncer. Tiga belas tahun bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ayah tiga anak ini sudah menduduki sejumlah posisi penting di Bekasi. Inilah catatan karier Mochtar dan kemelut hukumnya.
1998
Bergabung dengan PDIP Bekasi. Sebelumnya ia pengusaha percetakan di Jakarta.
1999
Februari
Terpilih sebagai anggota DPRD Bekasi 1999-2003.
2000
Julibr />Terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Bekasi.
2003
1 Januari
Terpilih sebagai Wakil Wali Kota Bekasi.
2005
6 Juli
Kembali terpilih sebagai Ketua DPC PDIP Bekasi.
2008
4 Februari
Terpilih sebagai Wali Kota Bekasi.
2010
18 Januari
Untuk ketiga kalinya terpilih sebagai Ketua DPC PDIP Bekasi.
15 November
Ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
13 Desember
Ditahan di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta.
2011
8 April
Dipindah ke Rutan Kebonwaru, Bandung.
24 Mei
Dirawat di Rumah Sakit M.H. Thamrin, Jakarta, karena penyakit jantung koroner.
20 Juni
Karena mengaku sakit, hakim mengabulkan penangguhan penahanannya.
21 Juni
Beredar video di YouTube, Mochtar tengah berjoget dengan tamu-tamu dan PNS Kota Bekasi setelah ia menjadi tahanan kota.
21 Juni
Beredar video di YouTube, Mochtar tengah berjoget dengan tamu-tamu dan PNS Kota Bekasi setelah ia menjadi tahanan kota.
8 September
Dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
11 Oktober
Divonis bebas majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo