Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keberadaan Whistleblower System tak serta-merta membuat orang mau melaporkan kasus korupsi.
Faktor mental dan kecepatan penanganan aduan juga dinilai berperan.
Pemerintah pun diminta untuk memperkuat KPK dalam hal sumber daya manusia.
KEBERADAAN whistleblower system tak serta-merta membuat para aparat sipil negara melaporkan tindak pidana korupsi yang mereka ketahui. Faktor mental hingga kecepatan penanganan perkara juga dinilai memiliki pengaruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat pejabat Kementerian Pertanian yang menjadi saksi dalam sidang korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Rabu lalu, kompak menyatakan takut untuk melaporkan kasus itu ke aparat penegak hukum. Meski mengetahui bahwa tindakannya melanggar hukum, mereka menyatakan terpaksa memenuhi permintaan Syahrul menggasak uang negara agar tak dipecat atau dimutasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keempat saksi itu adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Hermanto, Direktur Perbenihan Perkebunan Kementan Gunawan, Kasubag Tata Usaha dan Rumah Kementan Lukman Irwanto, serta Bendahara Pengeluaran Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Puguh Hari Prabowo. “Ini kan perintah, ada konsekuensinya,” kata Hermanto saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Takut dipecat,” katanya dalam sidang yang sama.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Syahrul Yasin Limpo bersama Sekjen Kementan Kasdi Subagyono serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta melakukan pemerasan dan gratifikasi kepada para pejabat lainnya di lembaga itu. Menurut dakwaan jaksa, Syahrul cs menerima gratifikasi total Rp 44,5 miliar.
Mantan Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, seusai menjalani pemeriksaan lanjutan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 November 2023. TEMPO/ Imam Sukamto
Dalam sidang pada Rabu lalu, para saksi itu menyebutkan Syahrul meminta mereka menyediakan uang untuk berbagai keperluan di luar anggaran Kementan. Di antaranya untuk pengadaan sapi kurban, sewa pesawat, kebutuhan bahan pokok, pemeliharaan apartemen, uang bulanan istri, serta acara sunatan dan ulang tahun cucunya.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Putri Sjafrina menilai para pejabat Kementan sebenarnya memiliki banyak opsi untuk tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan Syahrul. Salah satunya, menurut dia, melapor ke KPK menggunakan jalur sistem whistleblower. Dengan jalur ini, pelapor sangat mungkin tidak menyebutkan identitasnya.
“Sistem whistleblower memang secara khusus diperuntukkan bagi pegawai yang merasa mengetahui indikasi pelanggaran dengan anonim (tanpa diketahui pelapornya),” kata Almas kepada Tempo, Kamis, 9 Mei 2024.
Bukan hanya KPK, Almas mengatakan, sistem seperti ini juga sudah diadopsi oleh banyak kementerian dan lembaga, salah satunya Kementerian Pertanian. Sayangnya, menurut dia, banyak laporan tidak ditangani secara maksimal. “Ini patut juga dipertanyakan bagaimana upaya reformasi birokrasi, termasuk pencegahan korupsi, melalui inspektorat,” ujarnya.
Banyaknya laporan yang tak tertangani dengan baik, kata Almas, membuat para ASN yang mengetahui adanya tindak pidana korupsi hilang kepercayaan. Pada akhirnya, mereka pun enggan melapor.
Juru bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan laporan dari orang dalam, seperti ASN, sebenarnya sangat penting dalam mengungkap kasus korupsi. Menurut dia, hampir tidak mungkin sebuah kejahatan terorganisasi dapat terungkap tanpa bantuan orang dalam atau pelapor yang dapat dikategorikan sebagai pelapor pelaku atau pelaku yang bekerja sama. “Sistem whistleblower menjadi tools yang dapat memfasilitasi laporan tersebut dengan menjamin kerahasiaan identitas pelapor,” ucapnya.
Sistem whistleblower, menurut Ipi, merupakan salah satu skema yang digunakan di berbagai negara di dunia serta menjadi cara paling efektif dan efisien dalam mendeteksi tindak pidana korupsi. KPK, menurut Ipi, menjamin kerahasiaan identitas pelapor. Bahkan KPK juga dapat memberi pengamanan fisik sesuai dengan permintaan pelapor jika dia merasa terancam.
Ipi mengakui saat ini sudah banyak instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem whistleblower dalam sistem pelaporannya. Namun, dalam beberapa penilaian KPK terhadap penerapan sistem whistleblower pada instansi pemerintah, sering kali ditemukan sistem ini sekadar formalitas. “Sekadar ada, tapi tidak optimal atau bahkan tidak digunakan oleh pegawai dan aparat pengawas,” tuturnya.
Karena itu, sejak 2020, KPK menjalin kerja sama dengan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara untuk meningkatkan efektivitas serta efisiensi penanganan aduan, menghindari duplikasi, dan meningkatkan sinergi, monitor, serta evaluasi untuk memastikan WBS berjalan optimal.
Eks penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap menilai keberadaan sistem whistleblower sebagai hal yang positif. Hanya, menurut dia, ada faktor mental yang mempengaruhi seseorang untuk melaporkan sebuah tindak pidana korupsi atau tidak.
“Untuk melapor itu butuh keberanian karena tindak pidana korupsi kan kejahatannya enggak banyak orang. Circle-nya itu-itu saja. Biasanya, seorang pelapor akan mudah diketahui sekalipun menggunakan sistem whistleblower,” kata Yudi, kemarin.
Almas Sjafrina pun sependapat bahwa sistem whistleblower tak menjamin 100 persen identitas seorang pelapor tetap menjadi rahasia. Karena itu, menurut dia, salah satu cara untuk melindungi si pelapor adalah menangani perkara secara cepat. “Satu-satunya cara adalah menindaklanjuti dengan cepat serta menjaga betul si pelapor. Misalnya, berkoordinasi dengan LPSK,” ucapnya.
Koordinator IM57+ Institute M. Praswad Nugraha mengatakan untuk saat ini cara yang diajukan Almas itu mustahil dilakukan. Pasalnya, menurut dia, KPK menerima ribuan laporan setiap hari. Sedangkan penanganannya tersentralisasi di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan. “Laporan yang masuk kan harus dianalisis satu per satu, per hari ribuan jumlahnya, dari Aceh, Manado, hingga Papua. Jadi, tidak sesederhana melapor hari ini, lalu besok ditindaklanjuti,” kata Praswad saat dihubungi secara terpisah.
Sebagai mantan penyidik KPK, kata Praswad, selain pelaporannya tersentralisasi, jumlah sumber daya manusia yang ada di KPK terbatas. Bukan hanya para analis yang bertugas memeriksa laporan, menurut dia, kekurangan SDM juga terjadi di level penyelidik dan penyidik yang akan menindaklanjuti kasus tersebut jika dinyatakan layak diselidiki. “Ini harus ada political will dan good will dari pemerintah untuk menambah jumlah penyidik di KPK,” ujarnya. “Tanpa ada resource yang mumpuni, suatu hal yang mustahil menindaklanjuti laporan dengan cepat.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan berkontribusi dalam laporan ini.