HIDUP di Jakarta memang susah. Orang tidak boleh seenaknya
berkeliaran di tempat-tempat tertentu, walaupun itu tempat
umum. Jika aturan ini diabaikan dan orang terkena razia Kamtib
(Keamanan dan Ketertiban) - DKI ia digiring ke Lembaga
Pemasyarakatan Khusus (LPK) Pondok Bambu di Jakarta Timur.
"Jangan salahkan: tukang sapu. Kan tukang sapu nggak tahu mana
yang sampah mana yang berlian. Yang salah yang punya berlian,
menaruh barang seenaknya", begitu tanggapan Direktur LPK Pondok
Bambu V. Boediman Bc.IP. Di tempat yang dikepalainya itulah
dilakukan seleksi mana yang sampah alias gelandangan dan mana
yang berlian artinya orang baik-baik yang nyasar ke tempat yang
bukan semestinya. Untuk lolos dari seleksi ini gampang-gampang
susah. Bila punya modal sekitar Rp 15 ribu beres, tapi repotnya
banyak keluarga yang untuk mencapai jumlah itu harus bersusah
payah.
Belum lama ada satu keluarga yang punya pengalaman begitu.
Suami, isteri dan anak sekaligus kena jaring Kamtib. Kerabatnya
yang di luar hanya bisa mengumpulkan Rp 10 ribu. Jumlah itu
hanya bisa membebaskan sang suami, sebab untuk isteri dan
anaknya ada tarif tersendiri. Sang suami setuju keluar
mendahului anak isterinya. Setelah bebas ia kesana kemari
mengumpulkan uang. Hasilnya digunakan untuh menebus anak
isterinya yang masih ditahan.
Keluarga lain baru bisa mengumpulkan Rp 10 ribu sedangkan
janjinya kepada "calo" Rp 12.500. "Bukannya saya ingkar pak.
Tapi ini baru ada segini. Nanti kalau dia keluar, sore-sore
nanti saya tambah lagi", begitu janji yang diucapkan keluarga
tahanan kepada "calo", yang berpakaian seragam petugas LPK. "Ini
kalau bukan karena penting sekali saya tidak mau. Di luar jam
kerja saya urus terus, sekarang begini", sahut sang calo yang
sudah mengantongi surat pembebasan tapi merasa dipermainkan
keluarga tahanan. Setelah dua lembar pecahan Rp 5 ribu diterima
si calo, diambil keputusan bersama bahwa yang boleh keluar dari
LPK baru orangnya, sedangkan KTP-nya ditahan dulu. Dengan surat
pembebasan dan uang Rp 10 ribu itu calo segera masuk ke komplek
LPK. "Cepat kasih tahu sana, Direktur sudah acc. 'Ntar kita
naikkan no-ceng (dua ribu)", ujar petugas lain yang waktu itu
sedang berpakaian preman. Suasana itu terjadi pertengahan
Desember lalu di sebuah warung di depan komplek LPK, hanya
beberapa puluh meter dari pintu gerbang LPK. Pasaran seperti
tadi sudan berjalan beberapa bulan.
Gini - Gini - Gini
Apa komentar Boediman? "Saya heran kok masih terjadi." katanya.
Menurut Boediman, ia tidak tahu sama sekali praktek-praktek
seperti itu. "Calo-calo itulah yang merusak nama kami", ucap
Boediman. Antara calo dan petugas memang sulit dibedakan sebab
petugas yang ada berperan seperti calo sedangkan sang "calo"
mudah keluar masuk LPK lewat petugas-petugas jaga. Awal tahun
lalu setelah TEMPO mengecek kepada Boediman, Direktur LPK ini
mengadakan penelitian dan ternyata "uang dari keluarga yang
ditahan diserahkan kepada calo yang kemudian lari". Maka petugas
LPK-lah yang kena getahnya, ujar Boediman. Maka kemudian
Boediman mengeluarkan peraturan bahwa semua tahanan dilarang
berhubungan dengan orang lain kecuali petugas. Yang ingin
mengirim surat pada keluarga harus menyerahkan ke kantor. Hanya
petugas resmi yang akan mengantarkan surat itu kepada keluarga
tahanan. Bila perlu keluarganya dipanggil.
"Tidak ada itu pakai-pakai uang", ini masih kata Boediman.
Secara resmi untuk mengeluarkan tahanan hanya ada dua syarat.
Pertama surat jaminan dari orang yang mempunyai KTP. Kedua,
surat keterangan lurah. Dengan itu saja Kamtib akan mengirim
surat ke LPK dan LPK membebaskannya. Resminya begitu. Tapi
prakteknya, antara lain seperti ini. Ada seorang tamu dari
Pekalongan. Ia terkena razia Kamtib. Dijanjikan oleh calo bahwa
tahanan tadi bisa keluar dari LPK asal menyediakan Rp 15 ribu.
Memang ia dibebaskan 14 Desember lalu setelah mendekam 18 hari.
Bagaimana caranya? "Kemarin keluarganya kita kasih tahu caranya
gini-gini-gini, terus beres", kata seorang petugas yang sedang
nongkrong di warung pada hari pembebasan.
Sekali masuk
Menurut HIR penahanan maksimum 30 hari tapi bisa diperpanjang
lagi, kata Boediman terhadap keluhan mengenai penahanan sampai
beberapa minggu. Yang harus mengharap ke persidangan adalah
"gelandangan murni" yaitu gelandangan yang termasuk kategori
menimbulkan gangguan masyarakat. Mereka, kata Boediman, adalah
"sampah" yang melanggar pasal 504 dan 505 KUHP plus Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 172. Tentang lamanya penyidangan menurut
Boediman adalah tanggungjawab jaksa. LPK Pondok Bambu hanya
bertanggungjawab dalam perawatan pisik- menyediakan tempat
tinggal, makan dan pakaian sekedarnya dan perawatan non-pisik
berupa penyuluhan. Tempat penahanan yang ada sekarang sudah
melampaui kapasitas semestinya. Ada penghuni 530 orang, 471 di
antaranya narapidana, sedangkan kapasitas hanya 175 tapi boleh
ditambah sampai 520 asal tidak lebih. Maka sebentar lagi akan
ditambah 2 lokal baru tidak jauh dari ruangan tahanan yang ada
sekarang.
Kepadatan ini menyebabkan Boediman prihatin. Tapi ia tidak
sendirian. Sebab Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur
Bismar Siregar SH juga prihatin atas apa yang terjadi di LPK
Pondok Bambu, khusus mengenai pungutan liar Rp 15 ribu itu.
Keprihatinan Bismar tidak berhenti di situ saja. Ia juga gundah
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pungutan tak resmi ini
menyangkut soal macam-macam, antara lain faktor gaji. Namun
Bismar belum bisa memberikan komentar banyak karena ia belum
pernah menerima data berupa pengaduan resmi dari orang yang
dirugikan. Pungutan tidak resmi juga menyangkut biaya untuk
menjenguk. Setiap orang, sekali masuk harus membayar Rp 200.
Kambing hitam
Para tahanan LPK Pondok Bambu, kata Bismar, bukan penjahat, maka
sidangnya perlu dipercepat. Hakimlah yang datang ke Pondok Bambu
bukan terdakwa yang berbondong-bondong ke Pengadilan Negeri
Jakarta Utara-Timur. Ini supaya efisien. Selama Bismar bertugas
persidangan lancar, maka ia agak heran banyak tahanan menumpuk
di LPK. Jika kelambatan persidangan disebabkan hakim-hakim anak
buah Bismar, maka ia bisa bertindak. Eepotnya
LPK Pondok Bambu berada di bawah instansi lain walaupun di bawah
satu Departemen. Meskipun begitu Bismar punya wewenang untuk
mengawasi pengelolaan di LPK tadi.
"Saya tidak mau jadi kambing hitam", ujar Bismar mengenai
pungutan liar. Komentar itu diberikan karena gagasan penyidangan
gelandangan berasal dari dia. Bismar lah, hakim pertama yang
memeriksa dan memvonis para gelandangan - sekaligus menyadarkan
masyarakat bahwa profesi gelandangan adalah profesi a hukum.
(TEMPO 23 Nopember 1974). "Setiap maksud baik kok mesti ada
yang menyalahgunakan", masih kata-kata Bismar mengenai gagasan
untuk menyidangkan gelandangan dan praktek "pemerasan" terhadap
keluarga tahanan tersangka gelandangan. Idenya semula setiap
minggu sidang, sebagai hasil dari operasi Kamtib selama itu.
Pada mulanya berjalan lancar. Kini banyak tahanan sudah
mendekaun 4 minggu lebih tapi belum diajukan ke pengadilan.
Untuk menjaga agar kapasitas LPK tidak sampai meledak, Boediman
biasanya menolak tahanan baru. Dengan penolakan ini maka operasi
dihentikan. Baru setelah tempat longgar operasi gelandangan
dilanjutkan lagi. Dari para tahanan dan keluarganya tidak boleh
dipungut bayaran apapun. "Untuk biaya persidangan sudah ada dana
dari DKI. Sebab sidang ini untuk penegakan hukum", ujar Bismar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini