Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Berlian Dan Yang Sampah

LPK Pondok Bambu dipakai untuk menampung hasil razia kamtib DKI terhadap gelandangan. Terdapat pemerasan terhadap pembebasan orang baik-baik yang ikut terjaring, juga terhadap keluarga korban.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIDUP di Jakarta memang susah. Orang tidak boleh seenaknya berkeliaran di tempat-tempat tertentu, walaupun itu tempat umum. Jika aturan ini diabaikan dan orang terkena razia Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) - DKI ia digiring ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus (LPK) Pondok Bambu di Jakarta Timur. "Jangan salahkan: tukang sapu. Kan tukang sapu nggak tahu mana yang sampah mana yang berlian. Yang salah yang punya berlian, menaruh barang seenaknya", begitu tanggapan Direktur LPK Pondok Bambu V. Boediman Bc.IP. Di tempat yang dikepalainya itulah dilakukan seleksi mana yang sampah alias gelandangan dan mana yang berlian artinya orang baik-baik yang nyasar ke tempat yang bukan semestinya. Untuk lolos dari seleksi ini gampang-gampang susah. Bila punya modal sekitar Rp 15 ribu beres, tapi repotnya banyak keluarga yang untuk mencapai jumlah itu harus bersusah payah. Belum lama ada satu keluarga yang punya pengalaman begitu. Suami, isteri dan anak sekaligus kena jaring Kamtib. Kerabatnya yang di luar hanya bisa mengumpulkan Rp 10 ribu. Jumlah itu hanya bisa membebaskan sang suami, sebab untuk isteri dan anaknya ada tarif tersendiri. Sang suami setuju keluar mendahului anak isterinya. Setelah bebas ia kesana kemari mengumpulkan uang. Hasilnya digunakan untuh menebus anak isterinya yang masih ditahan. Keluarga lain baru bisa mengumpulkan Rp 10 ribu sedangkan janjinya kepada "calo" Rp 12.500. "Bukannya saya ingkar pak. Tapi ini baru ada segini. Nanti kalau dia keluar, sore-sore nanti saya tambah lagi", begitu janji yang diucapkan keluarga tahanan kepada "calo", yang berpakaian seragam petugas LPK. "Ini kalau bukan karena penting sekali saya tidak mau. Di luar jam kerja saya urus terus, sekarang begini", sahut sang calo yang sudah mengantongi surat pembebasan tapi merasa dipermainkan keluarga tahanan. Setelah dua lembar pecahan Rp 5 ribu diterima si calo, diambil keputusan bersama bahwa yang boleh keluar dari LPK baru orangnya, sedangkan KTP-nya ditahan dulu. Dengan surat pembebasan dan uang Rp 10 ribu itu calo segera masuk ke komplek LPK. "Cepat kasih tahu sana, Direktur sudah acc. 'Ntar kita naikkan no-ceng (dua ribu)", ujar petugas lain yang waktu itu sedang berpakaian preman. Suasana itu terjadi pertengahan Desember lalu di sebuah warung di depan komplek LPK, hanya beberapa puluh meter dari pintu gerbang LPK. Pasaran seperti tadi sudan berjalan beberapa bulan. Gini - Gini - Gini Apa komentar Boediman? "Saya heran kok masih terjadi." katanya. Menurut Boediman, ia tidak tahu sama sekali praktek-praktek seperti itu. "Calo-calo itulah yang merusak nama kami", ucap Boediman. Antara calo dan petugas memang sulit dibedakan sebab petugas yang ada berperan seperti calo sedangkan sang "calo" mudah keluar masuk LPK lewat petugas-petugas jaga. Awal tahun lalu setelah TEMPO mengecek kepada Boediman, Direktur LPK ini mengadakan penelitian dan ternyata "uang dari keluarga yang ditahan diserahkan kepada calo yang kemudian lari". Maka petugas LPK-lah yang kena getahnya, ujar Boediman. Maka kemudian Boediman mengeluarkan peraturan bahwa semua tahanan dilarang berhubungan dengan orang lain kecuali petugas. Yang ingin mengirim surat pada keluarga harus menyerahkan ke kantor. Hanya petugas resmi yang akan mengantarkan surat itu kepada keluarga tahanan. Bila perlu keluarganya dipanggil. "Tidak ada itu pakai-pakai uang", ini masih kata Boediman. Secara resmi untuk mengeluarkan tahanan hanya ada dua syarat. Pertama surat jaminan dari orang yang mempunyai KTP. Kedua, surat keterangan lurah. Dengan itu saja Kamtib akan mengirim surat ke LPK dan LPK membebaskannya. Resminya begitu. Tapi prakteknya, antara lain seperti ini. Ada seorang tamu dari Pekalongan. Ia terkena razia Kamtib. Dijanjikan oleh calo bahwa tahanan tadi bisa keluar dari LPK asal menyediakan Rp 15 ribu. Memang ia dibebaskan 14 Desember lalu setelah mendekam 18 hari. Bagaimana caranya? "Kemarin keluarganya kita kasih tahu caranya gini-gini-gini, terus beres", kata seorang petugas yang sedang nongkrong di warung pada hari pembebasan. Sekali masuk Menurut HIR penahanan maksimum 30 hari tapi bisa diperpanjang lagi, kata Boediman terhadap keluhan mengenai penahanan sampai beberapa minggu. Yang harus mengharap ke persidangan adalah "gelandangan murni" yaitu gelandangan yang termasuk kategori menimbulkan gangguan masyarakat. Mereka, kata Boediman, adalah "sampah" yang melanggar pasal 504 dan 505 KUHP plus Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 172. Tentang lamanya penyidangan menurut Boediman adalah tanggungjawab jaksa. LPK Pondok Bambu hanya bertanggungjawab dalam perawatan pisik- menyediakan tempat tinggal, makan dan pakaian sekedarnya dan perawatan non-pisik berupa penyuluhan. Tempat penahanan yang ada sekarang sudah melampaui kapasitas semestinya. Ada penghuni 530 orang, 471 di antaranya narapidana, sedangkan kapasitas hanya 175 tapi boleh ditambah sampai 520 asal tidak lebih. Maka sebentar lagi akan ditambah 2 lokal baru tidak jauh dari ruangan tahanan yang ada sekarang. Kepadatan ini menyebabkan Boediman prihatin. Tapi ia tidak sendirian. Sebab Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Bismar Siregar SH juga prihatin atas apa yang terjadi di LPK Pondok Bambu, khusus mengenai pungutan liar Rp 15 ribu itu. Keprihatinan Bismar tidak berhenti di situ saja. Ia juga gundah mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pungutan tak resmi ini menyangkut soal macam-macam, antara lain faktor gaji. Namun Bismar belum bisa memberikan komentar banyak karena ia belum pernah menerima data berupa pengaduan resmi dari orang yang dirugikan. Pungutan tidak resmi juga menyangkut biaya untuk menjenguk. Setiap orang, sekali masuk harus membayar Rp 200. Kambing hitam Para tahanan LPK Pondok Bambu, kata Bismar, bukan penjahat, maka sidangnya perlu dipercepat. Hakimlah yang datang ke Pondok Bambu bukan terdakwa yang berbondong-bondong ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Ini supaya efisien. Selama Bismar bertugas persidangan lancar, maka ia agak heran banyak tahanan menumpuk di LPK. Jika kelambatan persidangan disebabkan hakim-hakim anak buah Bismar, maka ia bisa bertindak. Eepotnya LPK Pondok Bambu berada di bawah instansi lain walaupun di bawah satu Departemen. Meskipun begitu Bismar punya wewenang untuk mengawasi pengelolaan di LPK tadi. "Saya tidak mau jadi kambing hitam", ujar Bismar mengenai pungutan liar. Komentar itu diberikan karena gagasan penyidangan gelandangan berasal dari dia. Bismar lah, hakim pertama yang memeriksa dan memvonis para gelandangan - sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa profesi gelandangan adalah profesi a hukum. (TEMPO 23 Nopember 1974). "Setiap maksud baik kok mesti ada yang menyalahgunakan", masih kata-kata Bismar mengenai gagasan untuk menyidangkan gelandangan dan praktek "pemerasan" terhadap keluarga tahanan tersangka gelandangan. Idenya semula setiap minggu sidang, sebagai hasil dari operasi Kamtib selama itu. Pada mulanya berjalan lancar. Kini banyak tahanan sudah mendekaun 4 minggu lebih tapi belum diajukan ke pengadilan. Untuk menjaga agar kapasitas LPK tidak sampai meledak, Boediman biasanya menolak tahanan baru. Dengan penolakan ini maka operasi dihentikan. Baru setelah tempat longgar operasi gelandangan dilanjutkan lagi. Dari para tahanan dan keluarganya tidak boleh dipungut bayaran apapun. "Untuk biaya persidangan sudah ada dana dari DKI. Sebab sidang ini untuk penegakan hukum", ujar Bismar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus