Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai penegakan hukum di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menjadi alat kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.
"Jadi alat mengkriminalkan warga yang kiranya tidak mau tunduk, warga yang melawan, kritis, dan memperjuangkan ruang-ruang hidupnya," kata Isnur dalam diskusi bertajuk Habis Gelap Terbitlah Kelam di Jakarta Pusat, Senin, 14 Oktober 2019.
Isnur menyebutkan sejumlah korban kriminalisasi oleh aparat penegak hukum, antara lain Akbar Alamsyah yang meninggal dunia setelah demonstrasi di Dewan Perwakilan Rakyat, dan aktivis Dhandy Laksono serta Ananda Badudu yang diperiksa, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Isnur tak ada evaluasi dan minim akuntabilitas dalam menetapkan tersangka. Selain itu, jga tidak ada check and balances. "Akbar, Dhandy, bagaimana ditetapkan tersangka kita enggak tahu, suka-suka saja," ujarnya.
Isnur berujar hal itu bukan semata disebabkan oleh tindakan oknum aparat yang bertugas di lapangan brutal dan tak terkendali, melainkan merupakan masalah kelembagaan, komando, dan perintah. "Ada SOP tentang evaluasi upaya hukum di lapangan, tapi enggak pernah evaluasi," katanya.
Dia menuturkan setiap aparat yang bertugas di lapangan menyangkut demonstrasi dan huru-hara, sepatutnya membuat laporan seperti penggunaan peluru dan gas air mata. "Itu ada. Kalau peraturan Kapolri sendiri tidak dilakukan, bagaimana?" katanya.
Isnur memandang Kepolisian dan Kejaksaan belum menjadi lembaga yang menegakkan hukum secara berkeadilan dan melindungi hak korban. Polisi dan jaksa, katanya, justru menjadi aktor diskriminatif terhadap kaum minoritas yang dianggap berbeda oleh negara. "Dua lembaga ini jadi aktor yang melakukan kriminalisasi terhadap hak kebebasan dan impunitas," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini