Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bicara tentang desa dan kampung, yang muncul umumnya nostalgia masa lalu. Tradisi lama dipuja-puja, tapi jangan-jangan dianggap “jadul” oleh generasi muda – yang bergaya hidup urban. Citra ini langsung hilang kalau kita singgah di Desa Kaleke, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawlesi Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak perlu naik pesawat, cukup klik website kolilioartsstudio.com, sanggar seni yang didirikan anak muda Desa Kaleke sejak tahun 2012. Penggagasnya pegiat seni yang berusia antar 20 sampai 30 tahun. Klik karya, dan akan terbuka berbagai pilihan menu. Salah satunya adalah website GIS, analisis kerapatan vegetasi area mata air Desa Kaleke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalamnya dipetakan 8 sumber mata air yang menjadi kekhasan bentang alam dan kekayaan sumberdaya alam desa. Metode penyajiannya memadukan sains terkini dengan pengetahuan lokal. Data Geographic Information System (GIS) diolah dengan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) pada citra setelit landsat 8. Data itu dilengkapi dengan analisis toponimi, filosofi, mitos dan sejarah lokal. Jika pilih menu program, akan muncul informasi tentang Talusiswara study course –yang menawarkan “lingkungan belajar yang memadai untuk memahami serta mengapresiasi kesenian dan kebudayaan yang relevan dengan zaman kita saat ini” – termasuk “berpikir kritis” dan “manajemen komunikasi.”
Jika ada yang siap untuk berkunjung langsung ke lapangan, aparat desa akan mengantar Anda ke berbagai lahan eksperimen budidaya pertanian. Tentu ini di luar menu “wisata desa” yang sudah dikenal di Kampung Merah Putih – demikian nama promosi desa ini. Wilayah Ibu Kota terakhir Kerajaan Dolo itu merupakan lokasi pengibaran bendera Merah Putih pertama di lembah Palu (Kaili) pada masa penjajahan. Di situ juga terdapat makam pahlawan nasional Tombolotutu.
Desa Kaleke adalah salah satu contoh geliat masyarakat di berbagai desa dan kampung di Indonesia untuk membangun “lumbung pengetahuan” yang dapat menghidupi komunitasnya. Inisatifnya beragam, bergantung dengan lingkungan yang berbeda-beda – dari pasar barter di Lamalera, sampai festival panen kopi Gayo di Desa Paya Tumpi Baru, Aceh Tengah dan Sekolah Tenun di Desa Pringgasela Selatan, Lombok Timur.
Masalahnya, berapa persen jumlah desa yang berdaya di antara 83.971 desa, belum termasuk kampung kota? Perlu diingat besarnya kesenjangan multidimensi, termasuk akses pendidikan dan teknologi yang membedakan kondisi desa di Jawa dan luar Jawa, wilayah barat dan timur, pesisir dan pedalaman. Konsumsi dan gaya hidup urban yang melebar ke desa, pemakaian pestisida yang merusak lingkungan, pengalihan fungsi lahan, dan perubahan iklim, semakin menipiskan potensi alam dan daya hidup desa. Belum lagi komunitas adat yang terancam terusir dari kawasannya oleh desakan industri ekstraktif. Di situ lumbung pengetahuan lokal, termasuk kearifan mengelola lingkungan dan tanaman obat, filosofi dan seluruh tatanan kebudayaan dapat punah dalam sekejap oleh gusuran kuasa modal.
Dalam tarik menarik berbagai kepentingan, tradisi dan nilai-nilai lokal tidak pernah statis, tetapi selalu bergerak. Pegiat budaya Trie Utami menenggarai terjadinya pergeseran tata kelola “bentang bisnis” yang mengakibatkan ketidakselarasan dan kerentanan pada “bentang alam” di desa. Imbasnya berdampak pada “bentang hidup” yang terkait dengan “bentang budaya”. Diperlukan upaya memutar balik siklus tersebut untuk menciptakan peluang bisnis dari budaya lokal (termasuk berbagai bentuk pengetahuan) yang ekologis.
Syukurlah, ada dua produk kebijakan negara yang memberikan landasan bagi upaya tersebut, yakni Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017 dan Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Keduanya menguatkan posisi desa untuk menjadi subyek – bukan obyek – untuk mengelola semua sumberdaya yang ada secara otonom. Sejumlah prinsip yang digarisbawahi adalah pendekatan yang partisipatif, inklusif dan setara, serta mandiri dan berkelanjutan.
Nilai-nilai yang disebut di atas sebetulnya merupakan abstraksi dari praktik yang sudah lama dilakukan di masyarakat. Dikenal Istilah ngelumbung atau melumbung yang dimaknai sebagai proses mengumpulkan sumberdaya (baik alam maupun budaya) untuk dihimpun dan dikelola secara kolektif dan kolaboratif guna kesejahteraan bersama.
Lumbung juga sering dipakai sebagai logo beberapa kelompok pegiat budaya. Selain komunitas adat dan desa simbol ini dipakai oleh kelompok informal pegiat desa dan kampung yang berbagi pengetahuan dan pengalaman. Tak terbatas di pedesaan, konsep lumbung juga dipakai kelompok pegiat seni urban ruangrupa dalam pameran yang menghebohkan di Kassel, Jerman beberapa tahun lalu. Praktik melumbung menawarkan alternatif terhadap budaya kapitalis yang individualis dan kompetitif, yang terbukti telah merusak alam dan menggerus kemanusiaan.
Jika diterapkan untuk desa/kampung, pendekatan lumbung pengetahuan berbeda dengan konsep kampung/desa wisata, yang menjadikan ruang desa atau kampung kota sebagi“komoditi” atau lokasi berselfie. Warga tidak sekadar membuat “tontonan” atau menjadi penyedia jasa bagi turis yang datang, tetapi menjadi subyek yang mengelola pengetahuan yang terus dimutakhirkan untuk kesejahteraan bersama – seperti yang dilakukan sanggar seni di Sigi.
Hal lain yang bisa dipetik dari inisiatif generasi muda Desa Kaleke adalah batas yang cair antara pengetahuan rural dan urban. Teknologi informasi dan media sosial mengolah yang lokal dan global, rural rasa urban dan mungkin juga sebaliknya. Ada urban farming di kampung kota, dan ada mie Taiwan yang dikelola mantan TKI di Desa Ledokombo.
Jadi tantangannya bukan untuk mengkonservasi sumberdaya budaya di desa agar “asli” dan tak berubah, tetapi bagaimana berkolaborasi membangun peradaban baru dari pinggiran. Alih-alih menebar infrastruktur megah yang menggusur, mari mengelola lumbung pengetahuan dari desa dan kampung, untuk Indonesia yang berkelanjutan.
*Penulis: Melani Budianta - Komisi Kebudayaan, AIPI