Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dorongan menghadirkan beragam festival dengan basis konten lokal cukup gencar dilakukan beberapa tahun belakangan. Mulai dari program garapan pemerintahan daerah, komunitas seni-budaya, bahkan tumbuh secara organik atas inisiasi kelompok warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gairah untuk menggali potensi lokal melalui penyelenggaraan festival ini semakin bertumbuh pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan). Pasalnya, undang-undang ini disertai fokus dan kejelasan objek, yang memungkinkan pemangku kebijakan hingga masyarakat tingkat akar rumput menentukan prioritas mereka dalam mendorong pemajuan kebudayan di daerah atau ekosistem masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan telah membuka perspektif masyarakat bahwa kerja-kerja kebudayaan cakupan sangat luas, dari “budaya benda” hingga “budaya takbenda”, dari yang paling kasat mata hingga yang paling abstrak. Dalam arti kata, jika mengacu pada penegasan objek pemajuan kebudayaan dalam undang-undang tersebut, maka memungkinkan untuk mengelaborasi berbagai festival dengan turunan tematik yang berangkat dari laku, kebiasaan, kekuatan dan potensi yang ada pada sebuah kelompok masyarakat.
Festival atau perayaan memang telah menjadi ciri khas kelompok masyarakat Indonesia. Dari masyarakat tradisional di pedesaan, sampai wilayah urban perkotaan, telah menjadikan festival sebagai ruang ekspresi dalam bentuk sederhana sampai pelaksanaan paling kompleks dan terstruktur.
Festival Angklung di Banten merupakan contoh bagaimana warga mengkurasi sendiri festival yang mereka selenggarakan dengan berlandaskan kepada tradisi dan akar budaya setempat. Foto oleh Budayasaya.
Ragam pelaksanaan festival di Indonesia ini tidak hadir dengan sendirinya tetapi berangkat dan telah berevolusi jauh dari akar kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia. Pelaksanaan festival, dalam bentuk paling sederhana, merupakan tindakan atas kesadaran bersama. Semacam peristiwa sosial yang dilaksanakan secara berkala dengan penentuan dan kesepakatan waktu melalui berbagai bentuk. Pelaksanaannya juga didasarkan atas berbagai pertautan antar kelompok masyarakat, semisal kesamaan etnis, agama, kepercayaan, ikatan sejarah, atau kesatuan pandangan hidup.
Hal mendasar ini yang membuat Indonesia memiliki keragaman bentuk, tema, dan pelaksanaan festival. Satu daerah dengan daerah lain terkadang memiliki persamaan bentuk pelaksanaan festival karena mereka memang memiliki pertautan. Tapi bisa jadi satu rangkaian festival hanya melekat pada satu daerah, tidak bisa diadopsi daerah atau kelompok masyarakat lain, dikarenakan dalam bentuk pelaksanaan hanya bisa dilakukan di daerah dan oleh kelompok masyarakat daerah tertentu.
Keragaman dan kekhasan bentuk ekspresi tradisional (atau lokal) ini kemudian mendorong berbagai komunitas, kolektif, kelompok masyarakat, bahkan pemerintah daerah menggali dan mengelaborasi pelaksanaan festival yang dianggap paling otentik “milik” masyarakat tersebut.
Keterlibatan Warga sebagai Kunci
Model-model pencarian festival dalam bentuk paling otentik, berdasarkan ekspresi khas dan tradisi masyarakat lokal, atau mengacu pada lanskap dan kondisi daerah bisa jadi adalah praktik paling kontemporer dalam penyelenggaran festival budaya hari ini. Berbagai bentuk festival tersebut seringkali membawa tajuk “festival warga”, dengan maksud festival tersebut dilaksanakan oleh warga (setempat) dan dipersembahkan untuk warga (setempat).
Sebagaimana dijelaskan di atas, festival apapun bentuk dan hasilnya, pada dasarnya bukan fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Selain berbagai pertautan identitas antar kelompok masyarakat, prasyarat penting dalam pelaksanaan festival dari bentuk paling sederhana atau paling rumit adalah proses pengerjaannya secara kolektif. Pada beberapa kelompok masyarakat, baik di daerah pedesaan dan perkotaan, bentuk pengerjaan festival secara kolektif ini disebut sebagai kerja gotong-royong. Bentuk kerja bersama yang berangkat dari sistem nilai yang dimiliki oleh hampir keseluruhan kelompok masyarakat di Indonesia.
Prinsip bersama dengan mengesampingkan keuntungan materi secara pribadi ini kemudian membuat perbedaan antara pelaksanaan festival garapan warga dengan event organizer (EO). Dalam konteks pelaksanaan festival warga dengan membawa nilai-nilai lokal, proses pengerjaan, pemilahan konten (kurasi), dan spirit untuk mencapai tujuan bersama adalah kandungan nilai utama. Kita dapat melihat beberapa festival di berbagai daerah di Indonesia yang akhir-akhir ini membawa muatan nilai-nilai gotong-royong ini dibanding mengemukakan profit yang akan mereka dapat dari sebuah perayaan.
Layang Lakbok Art and Culture Festival, misalnya, sebuah festival yang berangkat dari semangat sekelompok anak muda Lakbok, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang menginginkan pengemasan perayaan pasca panen menjadi kegiatan lebih besar. Festival ini mengandalkan dan menghimpun berbagai kepemilikan modal sosial masyarakat dari memanfaatkan relasi pertemanan, kebiasaan tindakan, manajemen konflik, kekayaan kuliner, dan sebagainya. Penyelenggaraan festival dengan modal sosial serupa ini menjadikan partisipasi warga menjadi kunci utama.
Berbagai komunitas dan kolektif juga mengadopsi bagaimana modal sosial yang dimiliki masyarakat ini menjadi kunci penyelenggaraan festival warga. Kita dapat melihat bagaimana, misalnya Rampak Genteng diselenggarakan aF (Jatiwangi art Factory) yang pertama kali diselenggarakan di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka pada tahun 2012. Meskipun festival ini diinisiasi kolektif tapi kekuatan masyarakat menjadi sumber energi utama.
Festival ini seakan menjadi jembatan yang mempertemukan proses kebudayaan mengolah tanah dengan pengembangan ekonomi inklusif. Sekaligus, menjadi ruang kampanye bagi Kecamatan Jatiwangi sebagai produsen genteng, dan secara perlahan membentuk identitas kultural baru mengarah pada imajinasi bersama tentang kebudayaan tanah. Imajinasi ini kemudian didorong ke arah kebijakan di tingkat Pemerintahan Daerah hingga kemudian Kecamatan Jatiwangi dicanangkan sebagai kawasan strategis berbasis kebudayaan tanah liat atau terakota dalam RTRW (Rencana Tata Ruang tata Wilayah) Kabupaten Majalengka.
Baik Layang Lakbok Art and Culture Festival dan festival diinisiasi oleh JaF adalah sebagian dari festival dengan konten lokal makin marak dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia sejak dorongan Pemajuan Kebudayaan. Bagaimanapun, festival dengan basis kekuatan gotong-royong warga ini tetap mempunyai risiko yang harus diantisipasi di masa mendatang, khususnya dalam penguatan tatakelola. Tatakelola ini meliputi berbagai persoalan, mulai dari bagaimana mempertahankan prinsip gotong-royong dan menjadi festival milik bersama, membangun struktur penyelenggaraan lebih tertata, sampai keberlangsungan pembiayaan penyelenggaraan.
Beberapa tahun belakangan hadir festival-festival basis konten lokal dan bergerak dari kekuatan warga yang terbantu melalui Dana Indonesia (Dana Abadi Kebudayaan) sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Pelaksanaan festival tersebut bahkan dibantu dalam kurun waktu beberapa tahun supaya dapat memberi waktu bagi pelaksana atau warga untuk membangun kemandirian.
Kekuatan tata kelola itulah yang utama mesti dibangun supaya pelaksanaan festival dengan membawa prinsip dan nilai-nilai kewargaan dapat terus terjaga keberlangsungannya. Tidak kalah penting, pelaksanaan festival sebagai statement bersama harus dapat menavigasi dengan jelas masa depan sebuah wilayah. Kehadiran sebuah festival harus mampu menunjukkan inisiatif warga dalam menegosiasikan wilayahnya, membayangkan masa depannya, tidak menjadi ekspresi kreatif semata.
Adanya UU Pemajuan Kebudayaan dengan kebijakan turunannya harapannya akan dapat menjaga inisiatif warga supaya tetap terbuka, leluasa dan beragam. Harapan ini sebentuk optimisme untuk terus proses pemajuan kebudayaan Indonesia yang jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa lebih cenderung tertutup inisiatif warganya.
*Penulis: Arief Yudi, Pendiri Jatiwangi art Factory