Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono terkait Pajak Bumi Bangunan Perdesaan Perkotaan atau PBB-P2 sudah tepat sasaran dan mengandung nilai keadilan. Sebelumnya, kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan serta Kemudahan Pembayaran PBB-P2 Tahun 2024 menimbulkan polemik di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam regulasi tersebut, wajib pajak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) rumah di bawah Rp 2 miliar tetap gratis, namun hanya berlaku untuk rumah pertama. Sedangkan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya mengikuti perhitungan yang ditetapkan dinas pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembaharuan regulasi ini dinilai memberatkan masyarakat. Sebab, dalam peraturan sebelumnya, pembebasan biaya PBB-P2 untuk rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar berlaku total. Alhasil, sejumlah pihak menyebut kebijakan terbaru dari Heru Budi bertujuan untuk mengusir warga Jakarta.
Saat ditanya mengenai maksud di balik kebijakan tersebut, Trubus mengajak semua pihak untuk melihat dari sudut pandang yang lebih konstruktif. Menurutnya, kebijakan ini justru merupakan langkah tepat yang diambil untuk memperbaiki sistem yang ada.
“Dalam beberapa kasus, terdapat strategi yang digunakan untuk membagi aset, sehingga nilainya berada di bawah dua miliar rupiah, dengan tujuan agar bebas dari pajak PBB,” ucap Trubus dalam percakapan dengan Info Tempo pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Trubus menambahkan, kebijakan ini bertujuan untuk memastikan keadilan dalam sistem perpajakan, dengan meminimalkan celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu. “Apa yang dilakukan Pak Heru adalah langkah yang benar untuk menjaga integritas dan keadilan dalam sistem ini,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti tersebut.
Trubus menjelaskan, salah satu alasan diterbitkan Pergub 16/2024 adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Dengan berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Jakarta akan mengalami perubahan status yang berarti tidak lagi menerima dana istimewa dari pemerintah pusat.
“Dana hibah atau bantuan khusus yang selama ini diterima, tidak akan ada lagi setelah perubahan status ini, dengan nilai yang mencapai sekitar Rp 40 triliun. Oleh karena itu, DKI Jakarta perlu mengoptimalkan berbagai sumber pendanaan baru untuk menjaga stabilitas keuangannya,” ujar Trubus.
Selain itu, ia pun menilai, ketetapan dikenakan pajak untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya semata-mata demi keadilan kepada warga lainnya. Apalagi di pergub terbaru tetap ada pembebasan pajak bagi warga yang mengalami musibah, seperti bencana atau kesulitan membayar.
Ketentuan ini terkesan diskriminatif bagi sebagian orang. Mengapa hanya kondisi tertentu yang mendapat insentif? Trubus kembali menekankan, semestinya cara berpikir orang yang berpandangan negatif harus diubah.
Keadilan tidak berarti sama rata. Keadilan bisa menjadi diskriminatif agar sesuai dengan porsinya. Contoh, seorang ayah yang memiliki lima anak dengan rentang usia berbeda tidak mungkin mendapat uang saku yang sama. “Kalau ada uang lima juta, enggak mungkinlah dibagi rata. Anak paling tua karena sudah kuliah tentu membutuhkan lebih banyak. Itulah namanya keadilan,” tutur Trubus.
Contoh lain, bantuan sosial atau subsidi dari pemerintah tentu hanya diberikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan. Meski dana bantuan tersebut bersumber dari pajak masyarakat, bukan berarti dibagikan secara merata, termasuk kepada warga kaya. “Di sinilah saya melihat diskresi, hak pemimpin untuk berlaku bijak, dan apa yang sudah dilakukan melalui pergub tentang PBB itu inovasi, inovasi kebijakan,” paparnya.
Kendati demikian, peraturan ini masih ada kemungkinan berubah ketika Dewan Aglomerasi nanti mulai bekerja. Saat Jakarta sudah melebur dalam wilayah aglomerasi bersama Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur), dewan tersebut harus membuat kebijakan-kebijakan yang adil untuk semua wilayah.
“Nanti Jakarta tidak boleh merasa paling unggul, paling istimewa. Statusnya sama dengan kota-kota lain di sekitarnya. Karena, kalau nanti sudah berubah status, Jakarta bukan lagi DKI, tapi DKJ,” urai Trubus.
Ia pun berharap, Dewan Aglomerasi ataupun Pemprov DKI selalu melibatkan lima pihak dalam lingkup pentahelix (pemerintah, bisnis, komunitas, akademisi, media) sebelum menelurkan kebijakan. “Jangan bersifat elitis, karena kesannya nanti dipaksakan,” kelasnya.
Perincian Insentif Pajak
Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono saat Sidang Paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Agustus 2024. Dok. Pemprov DKI Jakarta
Sejak berlaku Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2024, Penjabat (Pj.) Gubernur Heru memastikan, penerapan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar tidak akan berdampak kepada masyarakat kelas bawah.
"Untuk masyarakat dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar, tidak akan ada dampak, semuanya gratis. Jika mereka memiliki satu rumah, pajaknya gratis. Pemungutan pajak baru berlaku mulai dari rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Kami berharap kebijakan ini dapat melindungi mereka yang paling membutuhkan," ujar Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi DKI Jakarta Lusiana Herawati dalam keterangan tertulisnya.
Lusi pun menegaskan, tidak ada maksud terselubung dalam kebijakan terbaru ini. Bukan seperti yang disangkakan sejumlah kalangan. “Kebijakan ini bukan seperti kabar yang beredar, yakni untuk mengusir warga Jakarta. Perlu ditegaskan, kebijakan ini adalah wujud nyata dari komitmen kami untuk memihak kepada rakyat kecil. Dengan menargetkan pembebasan pajak hanya kepada wajib pajak yang memiliki satu objek PBB-P2 dengan nilai di bawah Rp 2 miliar,” tandasnya.
Ia menjelaskan, wajib pajak yang memiliki objek pajak lebih dari satu, maka pembebasan akan diterapkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terbesar per 1 Januari 2024. Artinya, bagi wajib pajak yang punya dua bangunan (rumah) atau lebih, maka dia dikenakan pajak untuk rumah kedua dan seterusnya.
“Sementara, yang hanya punya satu rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar itu bebas pajak. Kami berharap hal ini dapat melindungi mereka yang paling membutuhkan," tegasnya.
Kebijakan ini pun tetap mempertimbangkan kondisi perekenomian yang mulai tumbuh dan berhasil pulih dari pandemi Covid-19. Hitungannya adalah rumah kedua dengan NJOP lebih dari 2 miliar tidak dikenakan pajak 100 persen, melainkan hanya 50persen.
Selain itu, ada insentif tambahan berupa keringanan pokok pembayaran sebesar 10 persen untuk pembayaran PBB-P2 tahun 2013-2024 jika dibayarkan pada periode 4 Juni 2024 sampai 31 Agustus 2024, dan sebesar 5 persen jika dibayarkan pada periode 1 September 2024 sampai 30 November 2024.
“Kami percaya bahwa dengan kebijakan ini, kami dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat berpenghasilan rendah," sebut Lusi.
Berikut rincian insentif yang tertuang dalam Pergub 16/2024. Pertama, kriteria untuk mendapatkan insentif Pembebasan Pokok 100 persen:
- Objek rumah yang kena pajak merupakan milik orang pribadi atau individu.
- Berlaku untuk hunian dengan NJOP sampai Rp 2 miliar.
- Hanya diberikan untuk satu objek PBB P-2.
- Apabila wajib pajak mempunyai lebih dari satu objek pajak, maka pembebasan akan diberikan kepada NJOP terbesar sesuai kondisi data dalam sistem perpajakan daerah per 1 Januari 2024.
Selanjutnya, insentif untuk Pembebasan Pokok 50 persen, kriterianya sebagai berikut:
- PBB-P2 yang harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) tahun pajak 2023 sebesar nol rupiah.
- Tidak memenuhi ketentuan untuk diberikan pembebasan 100 persen
- Bukan termasuk PBB-P2 yang baru ditetapkan pada tahun pajak 2024.
Sedangkan insentif untuk Pembebasan Nilai Tertentu dapat diberikan dengan kriteria sebagai berikut:
- PBB-P2 yang harus dibayar dalam SPPT tahun pajak 2023 lebih dari nol rupiah.
- Kenaikan PBB-P2 tahun pajak 2024 lebih dari 25 persen dari PBB-P2 yang harus dibayar pada tahun pajak 2023.
- Tidak memenuhi ketentuan kriteria untuk diberikan pembebasan 100 persen.
- Bukan termasuk Objek PBB-P2 yang mengalami penambahan luas bumi dan/atau bangunan. Terakhir, bukan termasuk objek PBB-P2 yang telah dilakukan perekaman data hasil penilaian individual yang baru ditetapkan untuk tahun pajak 2024.
Menurut Lusiana, selain ketentuan di atas, ada lagi insentif yang diberikan dengan kriteria berikut ini:
- Wajib pajak orang pribadi yang dikecualikan dari pemberian pembebasan pokok (Objek PBB Baru Tahun 2024, Objek PBB-P2 yang mengalami penambahan luas bumi dan/atau bangunan, dan Objek PBB-P2 yang telah dilakukan perekaman data hasil penilaian individual yang baru ditetapkan untuk ketetapan tahun pajak 2024).
- Wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-P2 sulit dipenuhi.
- Wajib pajak Badan yang mengalami kerugian atau penurunan aktiva bersih pada tahun pajak sebelumnya.
- Wajib pajak yang objek pajaknya terdampak bencana alam, kebakaran, huru- hara, kerusuhan, dan/atau bencana non-alam.
(*)