Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GOBEL pada mulanya bukanlah nama yang akrab bagi telinga kita. Nama orang? Merek dagang? Atau apa? Tak heran kalau yang empunya nama sendiri lalu membuat kepanjangan yang dapat menarik perhatian orang: Gerakan Organisasi Bina Ekonomi Lemah. Dan itu memang bukan sekadar slogan. Drs. Haji Thayeb Mohammad Gobel sendiri memulai usahanya sebagai seorang pengusaha lemah. Tahun 1954, ketika Gobel berusia 24 tahun, ia mendirikan PT Pabrik Radio dan Mesin Teknik "Intan Indonesia" yang kemudian berubah nama menjadi PT Transistor Radio Mfg.Co. Karena paberiknya berlokasi di daerah Cawang, Jakarta Timur, secara patriotis ia memberi merek "Cawang" untuk radio transistor pertama buatan Indonesia itu. Ia justru tidak memilih nama asing yang lebih mentereng atau gagah terdengar. Seperti diakui oleh Gobel sendiri, modal materinya sangat kecil waktu itu. "Modal yang saya miliki hanya kesehatan jasmani dan rohani, kekuatan fisik dan ketabahan hati yang mampu melahirkan cita-cita untuk ikut aktif mengisi kemerdekaan melalui pembangunan," kata Gobel semasa hidupnya. Dengan cepat radio transistor merek "Cawang" memperoleh tempat di pasar. Kepercayaan masyarakat terhadap produksi dalam negeri ini menyebar cepat hingga ke pelosok. Awal ini akan kemudian terbukti menjadi peletak dasar utama bagi sukses Gobel selanjutnya dalam memenuhi kebutuhan pasar. Mengapa industri radio menjadi pikiran Gobel? Usia republik kita baru sembilan tahun ketika itu. Teknologi baru solid state dan transistor pengganti vacuum tube. sedang populer di dunia sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi secara serentak dan luas. Bagi Indonesia dan letak geografis yang berpencaran, radio pada waktu itu merupakan sarana vital pemersatu bangsa. Gobel melihat sasaran strategis itu, di samping - tentu saja prospek bisnis yang cerah di sektor industri elektronika. Orang-orang yang mengenal Gobel dapat menyatakan bahwa Gobel selalu mencari peluang untuk mendukung program Pemerintah. Ia mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan Pemerintah dalam program-programnya dan kemudian menyiasati apa yang bisa diperbuat oleh perusahaannya. Beberapa saat sebelum akhir hayatnya, Mohammad Gobel sempat menyimpulkan falsafahnya sebagai falsafah pohon pisang. Pohon pisang hidup di mana-mana di Indonesia. Pengabdian pohon pisang tak pernah berhenti, dan tak mengenal musim. Buahnya dimakan manusia, kulitnya dimakan binatang, daunnya dipakai sebagai pembungkus, pelepahnya diolah menjadi tali, bahkan umbinya dapat pula diolah menjadi makanan lezat. Setelah berbuah, sebelum mati, pohon pisang telah menumbuhkan tunas untuk meneruskan pengabdian. Seperti pohon pisang yang tumbuh di mana-mana, produk-produk National Gobel pun tertanam di mana-mana. Tidak saja di toko-toko yang menjualnya, tetapi juga sebagai sarana layanan masyarakat. Di seluruh Indonesia, hingga ke pelosok. televisi National digunakan sebagai televisi umum. Semangat nasionalisme Gobel memang tidak membuatnya picik. Justru atas dasar semangat nasionalisme itulah ia, pada tahun 1960, meneken perjanjian bantuan teknik dengan Matsushita electronic, pemilik merek "National" dan "Panasonic". Jepang sendiri pada waktu itu baru mulai bangkit dan muncul sebagai kekuatan baru dalam garis depan industri elektronika. Sebelumnya, sejak 1955, tanpa perjanjian apa-apa, memang sudah ada hubungan antara Matsushita dan PT Transistor Radio Mfg. Co. Gobel memang sangat berkeinginan untuk menyerap sebanyak mungkin kepakaran Jepang dalam industri elektronika untuk memajukan bangsa Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta tahun 1962, bekerja sama dengan LEPPIN, PT Transistor Radio Mfg. Co. merakit televisi "National" yang pertama untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah. Satu lagi teknologi modern dikuasai proses pembuatannya oleh bangsa Indonesia. Usaha makin membesar. Pabrik Cawang terus-menerus dibesarkan. Sebuah pabrik lain di Gandaria, Jakarta Timur, didirikan untuk menampung limpahan produksi. Pada tahun 1967 PT Transistor Radio Mfg. Co., sempat berubah nama menjadi Gobel & Cawang Concern. Nama yang tidak bertahan lama, karena kemudian berubah menjadi PT National Gobel pada 1970 ketika Drs. Th. M. Gobel menandatangani perjanjian patungan dengan Matsushita Electric. Langkah Gobel memang selalu penuh perhitungan. Lima tahun, antara 1955-1960, ia berhubungan dengan Matsushita tanpa ikatan jangka panjang. Baru pada 1960 ia menyetujui perjanjian bantuan teknik. Sepuluh tahun kemudian, setelah masa berpacaran selama 15 tahun, barulah keduanya mengikat tali "pernikahan" dengan penempatan modal yang sekarang telah menjadi sebesar US$ 15 juta. Hajime Kinoshita, Presiden Direktur PT National Gobel, mengatakan bahwa ketika perjanjian patungan itu dilakukan, Matsushita Electric tidak lagi melihat untung ruginya mengikat perjanjian. "Kami lebih melihat keinginan Pak Gobel dalam menyumbangkan usahanya untuk pembangunan Indonesia. Ia ingin berbakti kepada negara melalui industri elektronika," kata Kinoshita. Perjanjian patungan dengan Gobel itu, menurut Kinoshita, adalah suatu bentuk yang unik dan tak pernah dilakukan sebelumnya. Salah satu unsur baku dalam perjanjian itu adalah proses alih teknologi. "Dan perjanjian seperti itu tak pernah dilakukan Matsushita di 30 negara lainnya," tambah Kinoshita. Ia juga menduga bahwa hal ini pulalah yang membuat Kaisar Jepang menganugerahi Mohammad Gobel dengan Bintang Pusaka Suci karena usaha patungan yang saling menguntungkan antara Indonesia-Jepang. Alih teknologi merupakan target yang harus dicapai dalam waktu tertentu. Matsuhita tidak sembarangan mengirim orang ke Indonesia. Orang itu harus benar-benar ahli di bidangnya dan menguasai bahasa serta kebudayaan Indonesia agar alih teknologi berjalan mulus. Drs. Barlianta Harahap, Presiden Komisaris PT National Gobel, mengemukakan bahwa hal itu sejalan dengan konsep Gobel yang menempatkan manusia sebagai faktor terpentinq dalam produksi. Titik tolak dari semua kemajuan menurut Gobel adalah manusia yang terampil, berwatak, dan bermoral tinggi. Tidak sedikit dari karyawan yang sudah dikirim ke Osaka Training Centre untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya. Atas kerja sama dengan Matsushita pula Gobel mendirikan Yayasan Pendidikan Mas-Gobel untuk mendidik dan melatih pekerja terampil di bidang industri elektronika, baik pemasaran, produksi maupun manajemennya. Pusat pendidikan ini tak hanya untuk karyawan dan calon karyawan PT National Gobel, tetapi juga untuk perusahaan lain yang memerlukan. "Kunci keberhasilan usaha patungan kami ini adalah penciptaan iklim yang memungkinkan kedua perusahaan dapat bekerja sama. Keduanya saling menghormati, saling mengerti," kata Barlianta. "Kerja sama ini tidak saja horisontal, tetapi juga vertikal. Mulai dari pemegang saham, pihak Jepang, direksi, sampai karyawan terendah terjalin komunikasi dan kerja sama tersebut." Pada saat ini karyawan yang langsung dipekerjakan oleh kelompok perusahaan Gobel telah mencapai 3.000 orang. Tenaga-tenaga Jepang sudah tak lagi menduduki jabatan manajer. Hanya tinggal beberapa orang saja dengan jabatan advisor. Di samping karyawan langsung ini, masih terdapat pula ribuan tenaga yang dipekerjakan oleh rekanan yang memenuhi kebutuhan komponen produksi. Belum lagi yang terlibat dalam kegiatan perdagangan produk-produk National Gobel. Di seluruh Indonesia terdapat lebih seribu toko yang menyalurkan produk-produk National Gobel. Kehadiran PT National Gobel pada 1970 bertepatan dengan periode Repelita I Republik Indonesia. Kenyataan ini memperkuat obsesi nasionalisme Mohammad Gobel. Ia selalu menekankan bahwa PT National Gobel adalah tempat berpartisipasi untuk mensukseskan Repelita Indonesia. Penggunaan local content, misalnya, pada saat ini sudah mencapai 60%. "Berarti nilai tambah tak lagi lari ke luar negeri," kata Barlianta. Ini tidak saja berarti penghematan devisa karena turunnya kebutuhan impor komponen dan bahan baku, tetapi juga memberikan nilai tambah di dalam negeri. Munculnya PT National Gobel dalam peta ekonomi Indonesia juga sekaligus membawa pembaharuan struktur industri. Ini disebabkan oleh karena adanya percepatan proses industrialisasi: dari sekadar merakit, sampai tahap full manufacturing. Konsep full manufacturing inipun berbeda penampilannya dalam konteks Gobel. Gobel hanya menginginkan suatu integrasi kegiatan, tidak ingin melakukan semuanya sendiri. Full manufacturing bukanlah full manufacturing dalam perusahaan Gobel, tetapi full manufacturing yang dilakukan secara bersama dan terpadu dengan usaha-usaha dalam negeri lainnya. Itu adalah konsep yang dapat menjelaskan mengapa National Gobel tidak melakukan diversifikasi ke bidang-bidang usaha lain. Menurut Barlianta, Gobel dan Matushita sama-sama ingin menekuni satu bidang, yaitu elektronika. "Pak Gobel bahkan melihat bahwa diversifikasi usaha itu bisa menghancurkan," kata Barlianta. Barlianta menambahkan bahwa diversifikasi justru akan membuat integrasi terlepas. "Dalam politik ekonomi, diversifiksi dalam negara yang sedang berkembang, kalau tidak dibuat keterkaitannya, justru akan menghancurkan," katanya. Barlianta mengambil contoh pembuatan kabinet radio. "Kalau mau, kami bisa membuatnya sendiri. Tetapi tidak. Lebih baik diserahkan kepada pembuat kabinet yang khusus dan bisa dipesan menurut kebutuhan kami untuk mendukung produksi National Gobel. Dengan demikian terjalin integrasi dari semua pembuat komponen yang sudah dikuasai teknologinya di dalam negeri," katanya. "Ini juga membantu Pemerintah dalam program membina dan mengembangkan pengusaha lemah. Di samping juga memberi kesempatan kepada kami untuk taat asas berkonsentrasi di bidang industri elektronika saja." Matsushita, perusahaan raksasa di Jepang, partner usaha Gobel, ternyata juga tak ingin melakukan diversifikasi ke bidang industri lain. National Gobel, tentu saja, menempatkan kesempurnaan produk pada prioritas atas. Kepuasan konsumen dijamin melalui QA (Quality Assurance) yang ketat. QA tidak saja memberi izin bagi setiap produk untuk diluncurkan ke pasar setelah pengujian mutu yang tak kenal ampun, tetapi juga melakukan uji banding dengan produk merek lain yang sejenis untuk mempertahankan daya saing. QA ini juga melakukan uji lapangan, uji keandalan, uji pengaruh lingkungan dan uji angkutan terhadap produk, serta mengendalikan pendistribusian suku cadang untuk layanan purna jual. Dalam perjalanannya hingga titik kematangan sekarang ini, PT National Gobel telah memproduk si belasan jenis produk yang digolongkan dalam empat kegunaan: alat-alat audio, alat-alat video, alat-alat rumah tangga dan komponen. Tiap-tiap departemen berproduksi secara independen dan menghidupi diri sendiri, tidak bergantung atau menggunakan dana dari departemen produksi lain. Untuk menyalurkan produk-produk itu ke pasar, telah dibentuk PT Gobel Dharma Nusantara yang menjadi agen tunggal PT National Gobel. Selain untuk menjamin kelancaran distribusi, perusahaan ini juga berkewajiban memberikan layanan purna jual. Jaringannya kini telah meliputi 21 kantor cabang di seluruh Indonesia yang melayani lebih dari 1.000 toko penjual produk National Gobel. Setiap tahun para dealer ini diundang untuk konferensi di Jakarta. Jamien A. Tahir, Wakil Presiden Direktur PT National Gobel mengatakan bahwa konferensi tahunan ini sangat efektif sebagai media komunikasi langsung dengan mereka yang berada di garis depan pemasaran. Selain perusahaan dapat menginformasikan produk barunya, juga sekaligus menampung harapan konsumen yang disampaikan melalui para dealer. Tak sedikit pula dealer yang menerima penghargaan atas prestasi penjualannya dan diberi hadiah untuk berwisata ke luar negeri. "Dalam masa sulit seperti sekarang ini," kata Jamien Tahir, "kesempatan itu justru besar manfaatnya. Persaingan semakin ketat dan kita harus semakin jeli memperhatikan kebutuhan masyarakat. Termasuk masalah harga. Untuk itu memang perlu dilakukan penyesuaian tanpa tawar-tawar agar tidak kelimpungan di masa lesu ini." Lesunya barang-barang elektronika seperti yang jelas terasa sejak beberapa tahun terakhir ini ternyata tak mempengaruhi angka penjualan PT National Gobel. Grafik penjualannya menunjukkan titik-titik pencapaian yang terus menanjak. "Itu karena produk yang kami hasilkan memang produk-produk yang diperlukan masyarakat," kata Jamien. Sejak 1980, National Gobel bahkan sudah mengekspor beberapa jenis produknya ke luar negeri. Radio Gema Azan, misalnya, mempunyai pasaran yang baik di Timur Tengah, Malaysia dan Singapura. Baterainya diekspor ke Amerika Serikat, speaker ke Spanyol, radio kaset ke Afrika dan Meksiko, serta kaset ke Thailand. Dalam bentuk komponen pun banyak produksi National Gobel yang diekspor ke Bangladesh, Papua Nugini, dan Amerika Selatan. Gerakan ekspor ini, paling tidak, telah membantu agar produksi terus meningkat, di samping menghasilkan devisa yang sangat diperlukan negara. PT National Gobel telah berusia 15 tahun. "Kami harus berterima kasih kepada masyarakat, Pemerintah yang telah memberikan fasilitas untuk memungkinkan PT National Gobel berkembang dan masyarakat yang telah menggunakan produk National membuat kami besar. Dan kami tak akan menyia-nyiakan kepercayaan masyarakat itu. Kami akan bekerja lebih keras lagi," kata Jamien Tahir. (BW/HW). BOKS I Audio Video Alat Rumah Tangga Komponen Radio Televisi H/P Kipas Angin Speaker Radio Mobil Televisi Warna Kipas Ventilasi Tuner Radio Kaset Lemari Es Veriable Resistor Stereo Freezer Transformer Stereo Mobil Mesin Cuci Sistem Speaker A.C. Matsushita Electric di Jepang Kegagalan demi kegagalan dialami Konosuke Matsushita sejak ia mendirikan perusahaannya di tahun 1918. Dan ketika ia berhasil menciptakan stop kontak dua saluran, mulailah sebuah sejarah panjang membentang dengan penuh sukses. Keberhasilan-keberhasilan pun meningkat. Dari sebuah perusahaan yang terus-menerus menemui kegagalan, akhirnya berkembang menjadi suatu usaha raksasa di bidang elektronika. Di Jepang, Matsuhita Electric adalah sebuah perusahaan yang terbesar dan di segani dalam bidangnya. Sekarang, perusahaan tersebut sudah mempekerjakan lebih dari 118.800 orang di Jepang, dan 38.400 orang di negara-negara lainnya, dan telah memasukkan lebih dari 10.000 macam barang produksi pada lebih dari 130 negara dengan merek: National, Panasonic, dan Technics dan Quasar. Akhir tahun 1984, Matsushita Electric telah memasarkan produknya senilai US 19.350 milyar. Itu merupakan pemasaran dari seluruh pabrik-pabriknya yang di Jepang dan di luar Jepang. Matsushita saat ini telah mempunyai 48 pabrik dan 35 sales company di 37 negara, di luar Jepang. Kebijaksanaan yang diterapkan pada semua kegiatan, diarahkan kepada pengembangan masyarakat dengan menggunakan teknologi tingkat tinggi. Fasilitas produksi yang serba cukup dan tenaga kerja yang terlatih. Itu semua untuk menciptakan suplai barang produksi yang mutakhir dan dapat diandalkan dalam jumlah yang melimpah. Sekarang, Matsushita telah memiliki 39 fasilitas riset dan pengembangan, termasuk laboratorium riset pusat dengan ribuan teknisi. Mereka bekerja siang malam untuk mengadakan riset dan pengembangan guna menghasilkan barang produksi baru. Berkat usaha yang mengesankan ini, telah dihasilkan lebih dari 56.000 paten untuk Matsushita Electric. Mereka yang bekerja tak kenal lelah di Matsushita Electric itu ternyata tidak pernah merasa puas dengan sejarah perusahaan yang cemerlang yang ditandai dengan pencapaian yang menonjol. Secara berkesinambungan, perhatian Matsushita dicurahkan pada mutu, layanan, serta pembaharuan yang tiada akhir, demi layanan pada konsumen. Konosuke Matsushita kini dikenal luas di kalangan bisnis internasional, terutama karena kiat-kiatnya yang ditulisnya untuk beberapa penerbitan terkemuka. Ia juga menerbitkan majalah PHP (Peace, Happiness through Prosperity) yang menanamkan kebajikan dan kebijaksanaan pada setiap pembaca. Bukunya yang terbit tahun lalu, Not for Bread Alone, sangat laris terjual. Berpartner dengan perusahaan yang begitu besar, maka dapat diharapkan bahwa PT National Gobel akan semakin berkembang di masa-masa mendatang. (HW) BOKS II KISAH SANG INDUK POHON PISANG Adalah seorang pemuda bernama Thayeb Mohammad Gobel yang berjumpa dengan Konosuke Matsushita di tahun 1957. Gobel yang berusia 27 tahun ketika itu mendapat bea siswa dari Colombo Plan di Tokyo untuk jurusan plastik. Tahun 1954 ia sudah menjadi direktur PT Pabrik Radio dan Mesin Teknik "Intan Indonesia". Kesempatan belajar di Tokyo digunakannya untuk mencari pengusaha elektronik terbesar di Tokyo. Konosuke Matsushita pun menjadi tujuannya. Pemuda berusia 27 tahun itu bersua dengan pria matang menjelang usia 60 tahun. Gobel menceriterakan keinginan pemerintahnya kepada Matsushita, bukan keinginan pribadinya. Matsushita pun mulai tertarik akan nasionalisme yang disampaikan oleh Gobel. Bahwa Indonesia sedang merintis jalan untuk menyampaikan informasi yang cepat kepada seluruh masyarakatnya yang tersebar pada belasan puluh ribu pulau di nusantara. Teknologi yang tepat adalah melalui radio transistor yang bisa dioperasikan dengan batu baterai. Di samping mendapat informasi, masyarakat juga mendapatkan hiburan melalui radio, meski di daerahnya belum lagi terjangkau aliran listrik. Pikiran murni dari pemuda Gobel mendapat sambutan baik dari Matsushita yang juga punya rasa nasionalisme besar, sebagaimana layaknya masyarakat Jepang yang lain. Dan Matsushita pun mulai memberikan dorongan moral, serta memberikan technical assistance pada perusahaan milik Gobel. Jamien A. Tahir, Wakil Presiden Direktur PT National Gobel mengatakan bahwa kondisi yang diberikan Gobel pada waktu itu membuat iri para partner Matsushita yang lain. "Itu bisa terjadi karena almarhum Pak Gobel ketika itu menyuarakan keinginan bangsa Indonesia, bukan untuk kepentingan pribadinya," jelas Jamien. Pokok pikiran Gobel yang disampaikan kepada Matsushita itu adalah berlandaskan ucapan HOS Tjokroaminoto yang selalu menjadi pegangannya dalam mengembangkan usahanya. "Berbuatlah sebanyak mungkin untuk kepentingan orang banyak, kita akan mendapat darinya. Tetapi, jika berbuat hanya untuk kepentingan diri sendiri, kita akan merugi." Begitu bunyi kalimat HOS Tjokroaminoto. Karena itu, Gobel memilih industri radio dan televisi sebagai usahanya. Kedua benda tersebut merupakan medium komunikasi yang sangat bermanfaat bagi orang banyak. Sekaligus untuk alat penyampaian gagasan pemerintah kepada masyarakat Indonesia. Bagi Gobel, usaha yang dirintisnya itu tak ingin hanya bertumbuh pada saat ia masih hidup. Usaha itu diharapkan punya kesinambungan meski ia telah tiada. Gobel kemudian melihat kehidupan pohon pisang yang terdapat di seluruh Kepulauan Indonesia dan tak mengenal musim. Pohon pisang itu sebelum membuka jantung dan mengeluarkan buah, ia sudah menyiapkan penerusnya dengan anak-anak pohon pisang. Pohon pisang itupun rela mati untuk memberi kesempatan pada kelompok pohon pisang dari sang induk. Sebelum mati - setelah dipungut buahnya - pohon pisang rela berkorban. Semua bahagian yang ada pada diri pohon pisang - mulai dari akar, batang, daun, jantung, sampai buahnya - bermanfaat bagi manusia, mahluk hidup yang lain, serta lingkungannya. Kehidupan pohon pisang itu menjadi suri tauladannya, dan ditanamkan pula pada seluruh karyawannya. Pengelolaan perusahaan juga menggunakan peri kehidupan tersebut. Perikehidupan itu diberlakukan secara taat asas dalam disiplin sehari-hari. Jamien menceritakan bagaimana disiplin itu ditegaskan dengan contoh yang diberikan sendiri oleh pendiri perusahaan. Lelaki kelahiran Gorontalo tanggal 12 September 1930 itu selalu sudah berada di kantor sebelum para karyawan yang lain datang. "Perusahaan adalah istri kedua Pak Gobel," ujar Jamien. Ini bukan merupakan perbuatan laku-lajak Gobel, tetapi justru keinginannya untuk dekat dengan para karyawannya. Dengan cara itu ternyata Gobel dapat mendekati mengapa banyak karyawan yang lesu sebelum istirahat siang tiba. Setelah diadakan pendekatan langsung, ternyata banyak karyawan yang tak sarapan sebelum berangkat kerja. "Penyebabnya memang beragam," tukas Jamien. Tetapi, Gobel melihat bahwa apapun latar belakangnya, akan sangat membantu gairah kerja bila di sediakan sarapan, walau berupa segelas kopi, dan beberapa potong roti untuk sarapan itu. Namun, sebagai ayah dan "pendidik" yang baik, Gobel tidak melaksanakannya secara serampangan. Agar tak mengganggu waktu kerja, maka sarapan itu diberikan dengan batas waktu sampai pukul 07.45, karena pukul 08.00 mereka sudah harus mulai bekerja. Akibatnya, mereka yang ingin mendapatkan sarapan dari kantor akan datang lebih awal. Sekali lagi, perikehidupan pohon pisang berlaku di sini, bahwa sebelum mendapat sesuatu, berkorban lebih dahulu. Pada mulanya, Gobel tak ingin mendirikan usaha patungan. Namun, perkembangan sejarah mengharuskan PT Transistor Radio Mfg.Co. itu melangsungkan "perkawinan" dengan Matsushita. Awalnya karena pergolakan politik yang timbul pada tahun 1965, menjadikan usaha tersebut lumpuh. Rencana pendirian pabrik di Surabaya, Ujungpandang, serta di kota-kota besar lainnya pun terbengkalai. Tahun 1967, Ralin mengadakan joint-venture dengan Philips. Gobel pun tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Matsushita akhirnya menjadi pilihannya setelah sekian lama "berpacaran". Itu dilakukan bukan saja karena Matsushita merupakan perusahaan raksasa di Jepang, tetapi yang paling utama adalah karena punya perikehidupan yang mirip. Matsushita meneladani air mengalir yang selalu memberi hikmah kepada kehidupan manusia. Terlebih lagi, kedua tokoh itu punya cita-cita perjuangan sama, berbakti kepada negara melalui industri. Tanggal 27 Juli 1970 baru "akad nikah" jointventure dengan Matsushita pun dilaksanakan setelah secara berhati-hati dipikirkan. Dan tepat sewindu sesudah "akad nikah" dilangsungkan, Gobel mulai menyerahkan tongkat kepemimpinan pada orang lain, bukan pada keturunannya sendiri. Dalam pidato ulang tahun kedelapan, di Balai Sidang Jakarta Gobel menyatakan mengundurkan diri dari kepemimpinan eksekutif PT National Gobel. Jabatan Presiden Direktur diserahkannya kepada Hajime Kinoshita. Gobel pindah kedudukan menjadi Presiden Komisaris perusahaan. Selama jabatan eksekutifnya, Gobel telah banyak menanam bibit unggul. Bibit-bibit itulah yang kemudian ditempatkannya pada posisi-posisi pimpinan. Yang lain disediakan pula dalam pemekaran usaha Kelompok Gobel sebagai pimpinan. Sehingga pada saat Gobel meninggalkan pimpinan langsung dalam PT National Gobel, ia bukan sembarang pergi. Kepergiannya di dasarkan pada alasan yang tepat dan tujuan yang pasti. Pada saat itu pula Gobel merasa gembira karena ia punya kesempatan menyaksikan munculnya tenaga-tenaga muda menggantikan kedudukannya. Akan hal penunjukan penggantinya kepada H. Kinoshita adalah sama sekali bukan adanya permintaan dari pihak Matsushita, tetapi karena Kinoshita selama itu memang telah banyak membantunya. Dan punya pikiran yang sama dalam perjuangan berbakti kepada negara melalui industri. Ulang tahun kedelapan PT National Gobel ketika itu tidak saja ditandai dengan pengunduran diri Gobel dari pimpinan eksekutif, tetapi juga dengan penyerahan saham kepada para karyawan dan karyawatinya. Itu dilakukannya dengan penyerahan maksud agar mereka lebih merasakan ikut memiliki perusahaan. Karena bagi Gobel, faktor manusia dalam usahanya adalah faktor yang menjadi perhatian utamanya. "Manusia merupakan kekuatan strategis yang mengelola modal," ucapnya ketika itu. Manusia itu pula yang menggunakan alat-alat dan menangani manajemen perusahaan. Bakti Gobel kepada negara telah ditandai dengan disematkannya "Satya Lencana Pembangunan" kepadanya pada tahun 1972 oleh Pemerintah RI melalui Menteri Perindustrian M. Yusuf ketika itu. Sedangkan Pemerintah DKI memberinya pula predikat Pengusaha Teladan di tahun 1977. Dan Pemerintah Jepang pun menganugerahinya "Bintang Pusaka Suci Kelas Tiga" pada tahun 981. Lelaki sederhana yang selalu berpikir untuk kemajuan perusahaannya itu bahkan tidak pernah mengambil dividennya. "Dividen itu diinvestasikannya kembali pada perusahaan," tegas Jamien. "Ia sudah cukup dari gaji yang diterimanya dari beberapa perusahaan dalam Kelompok Gobel. Bahkan rumahnya yang mewah di Kebayoran Baru juga direlakan untuk mess tenaga-tenaga Jepang. Ia lebih senang tinggal di Tebet, dan bila ada pesta di rumahnya, sulit mendapat tempat parkir tamu-tamunya," lanjut Jamien mengenang bekas boss-nya itu. Gobel telah tiada. Penyakit jantung yang berlanjut pada ginjal, telah merenggut nyawanya, Sabtu, 21 Juli 1984. Ia menolak untuk transplantasi ginjal, walau putranya telah rela memberikan sebuah ginjalnya pada sang ayah. Gobel tak ingin penderitaannya diderita pula oleh anak-anaknya. Ia pasrah, dan pulang ke Indonesia setelah perawatan di Jepang. Kamar tidur di rumahnya di Jalan Prof. Dr. Soepomo 55 A itu pun diubah menjadi sebuah rumah sakit untuk merawatnya sampai ia berpulang ke rahmatullah. Ketika meninggal, nyata terlihat bahwa Gobel bukan hanya milik keluarga dan perusahaannya. Masyarakat ikut memilikinya. Sebagai tokoh politik, ia juga disegani. Masyarakat bahkan mulai khawatir akan kelangsungan perusahaan yang sudah bertumbuh menjadi besar itu. Mereka mengkhawatirkan bahwa perikehidupan pohon pisang itu tak berlanjut secara taat asas. Bahkan Pudjiono Kusen, Kepala Departemen Mesin cuci, dalam Berita National - berkala intern PT National Gobel - menyatakan bahwa ia sangat merasa kehilangan dan khawatir disiplin semakin menurun setelah Gobel tiada. Karena kepergian Gobel justru pada saat PT National Gobel tinggal landas. Kecemasan itu nyatanya tak perlu ada. Karena sang induk pohon pisang telah menyiapkan segalanya. Manajemen telah ditata dengan menempatkan orang-orang yang memang diperlukan pada kedudukannya. Jamien sendiri sebagai Wakil Presiden Direktur PT National Gobel menyatakan: misalnya bila salah seorang pimpinan meninggalkan pekerjaan selama satu bulan, perusahaan akan berjalan seperti biasa, sebab mekanisme organisasi perusahaan telah berjalan dengan baik. Bahkan setelah Gobel tiada, menurut Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 443/M/SK/11/1985 yang diumumkan tanggal 3 Desember 1985, PT National Gobel termasuk salah satu di antara sebelas perusahaan yang mendapat penghargaan "Upakarti Jasa Kepeloporan". Artinya, sekalipun sang pendiri telah tiada, prestasi itu tetap dicapai, berkat landasan yang telah ditanamkan oleh sang pendiri, dan diharapkan tetap berkesinambungan. Dalam acara ulang tahun ke-15 PT National Gobel yang terpaksa diadakan tanggal 10 Desember 1985 ini, kelompok penyanyi Bimbo pun akan menyampaikan sebuah lagu ciptaannya yang dibuat untuk mengenang keteladanan almarhum Drs. Haji Thayeb Mohammad Gobel. Induk pohon pisang itu telah dinikmati buahnya, dan anak pohon pisang itu pun telah berkembang. Daunnya sudah boleh dipetik untuk pembungkus. Buahnya pun mulai tampak. (HW)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo