Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=#CC0033>Reuni</font> di Pesta Inaugurasi

Inaugurasi Barack Obama menjadi ajang reuni keluarga besar Soetoro. Sanak-saudara Obama dari ayah tirinya, Lolo Soetoro, diundang sebagai tamu VIP pada pelantikan yang disaksikan langsung oleh lebih dari dua juta orang itu. Perhatian dunia tersedot pada langkah pertama yang ia ambil dalam pekan pertama setelah ia resmi berkantor di Gedung Putih. Tempo melaporkan dari Washington, DC.

26 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wisma Indonesia, Tilden Street. Kediam­an resmi Duta Besar Republik Indonesia di Washington, DC—ibu kota Amerika Serikat—itu berselubung suasana hangat dan gelak tawa pada Rabu pekan lalu. Senyum sumringah menghiasi wajah para tamu, yang semua­nya orang Indonesia.

Di antara mereka, tampak Maya SoetoroNg, adik kandung satu ibu Presiden Barack Obama, pemimpin baru Amerika. Wajah Maya berseriseri. Sebentarsebentar dia melempar senyum hangat. Pantas saja Maya bahagia. Para tamu yang saat itu menginap di Wisma Indonesia adalah kerabatnya dari keluarga Soetoro. Mereka datang ke Washington dengan tujuan khusus: mengha­diri upacara pelantikan Obama di Capitol Hill pada Selasa pekan lalu. Sembilan anggota keluarga Soetoro itu mendapat undangan khusus dan tempat duduk di deretan VIP (very important person) pada hampir seluruh rangkaian acara inaugurasi.

”Ini seperti reuni,” kata Maya dalam bahasa Indonesia hampir tanpa aksen kepada Atria Rai, kontributor Tempo yang berada di Washington pada acara pelantikan itu.

Maya mengaku bahagia. Dan itu bukan sematamata karena abangnya menjadi orang nomor satu Amerika, melainkan juga karena ia bisa bertemu dengan sanakkeluarga dari pihak ayahnya, Lolo Soetoro. Berkalikali ia mencium dan memeluk saudarasaudara­nya. Mereka berbagi cendera mata dan bertukar buah tangan.

”Saya senang dapat memperkenalkan anak dan suami saya, juga kedua mertua saya, kepada saudarasaudara dari Indonesia,” Maya bertutur dengan lancar kepada Tempo. Dia datang ke Wisma didampingi suami, anak, dan mertuanya, yang khusus terbang dari Kanada.

Kegembiraan yang sama menjalarjalar di wajah keluarga besar Soetoro. Seminggu berada di Washington, mereka merasa tidak siasia: bisa melepas rindu kepada Maya dan menyaksikan langsung pelantikan Obama.

”Kami senang dan berterima kasih, Maya tidak melupakan kami. Dialah yang mengupayakan agar kami mendapat undangan ke seluruh acara inaugu­rasi. Ini suatu kemewahan bagi kami,” ujar Sonny Trisulo, sepupu Maya.

Maya pernah hidup di Indonesia hingga usia 14 tahun. Dan dia mengatakan dirinya dan Obama tak akan pernah melupakan saudarasaudaranya di Indonesia.

”Barry itu, meski bukan anak kan­dung Om Lolo, tidak pernah mendapatkan perlakuan berbeda dari ayahnya, juga dari eyang kami di Yogya,” ungkap Haryo Soetendro, juga sepupu Maya.

Haryo mengisahkan, setiap Lebaran, Obama selalu diajak mudik ke rumah orang tua Lolo di Yogyakarta. Haryo masih ingat betapa Barry—begitu mereka menyebut Obama—menikmati tradisi silaturahmi berkeliling ke rumah sanaksaudara.

”Saya masih ingat, Barry selalu berpakaian necis setiap Lebaran. Kami pulang dari masjid dengan sarung dan sandal jepit, eh, tiba di rumah kami lihat dia sudah berpakaian rapi, lengkap dengan sepatu, kemeja lengan panjang, dan jam tangan,” kenang Ami Arnscheidt, sepupu Maya yang berdomisili di Inggris.

”Barry paling suka makan bakso, juga soto ayam dan gadogado,” kata Maya menimpali dalam pertemuan para sepupu yang riuhrendah itu. ”Dia sering mengeluh kepada saya betapa susahnya mencari makanan Indonesia yang enak di sini, terutama di Chicago,” adik perempuan Obama itu menambahkan.

Meski mereka tidak memiliki kesempatan bercengkerama dengan Obama langsung, rasa rindu dan bangga itu dapat mereka ungkapkan kepada Maya. ”Berada di sini dan melihat langsung saudara kami (Obama) dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, rasanya luar biasa sekali dan merupakan pengalaman yang tak akan pernah kami lupakan,” ungkap Sonny Trisulo dengan terharu. ”Ya… paling tidak, saya bisa bilang ke orangorang kalau saya pernah menjitaki kepala Presiden Amerika sewaktu dia masih kecil,” kata Haryo Soetendro berkelakar.

Dalam suasana reuni sore itu, Maya mengungkapkan ia bersama suami dan anaknya akan tinggal di Washington selama satu tahun untuk mendampingi kakaknya.

Maya menampik kabar bahwa sudah ada pekerjaan yang disiapkan untuknya karena sang kakak kini menjadi presiden. ”Kakak saya orangnya tidak seperti itu,” katanya. Maya menyebutkan dia mungkin akan menulis buku cerita anakanak yang kisahnya ber­asal dari cerita rakyat Indonesia.

Suasana Indonesia itu tidak hanya terasa di Wisma Indonesia. Kehangatan khas Indonesia meruak hingga ke Gedung Putih. Pada hari kedua resmi berkantor di Gedung Putih, Obama berkunjung ke kantor Kementerian Luar Negeri. Di sana, dia disapa dalam bahasa Indonesia oleh salah satu anggota staf lokal, Charles Silver.

”Selamat siang, Pak,” ujar Silver di tengah staf kementerian yang mengitari Obama. Dengan ramah dan tangkas, Obama balik menjawab dalam bahasa Indonesia yang lancar, ”Terima kasih. Apa kabar?”

Gayung bersambut. Keduanya kemudian terlibat dalam percakapan pendekpendek dalam bahasa Indonesia. Kepada Obama, Silver mengatakan pernah bertugas cukup lama di Indonesia, di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, sebagai Counselor for Public Affairs. Obama lantas memuji bahasa Indonesia Silver yang bagus. Dalam percakapan singkat itu, Obama juga menyebutkan, jika datang ke Indonesia, dia ingin berkunjung ke Menteng Dalam, Jakarta Pusat, tempat tinggalnya di masa kanakkanak.

Kunjungan Obama ke ­kementerian yang kini dipimpin Hillary Clinton itu merupakan bagian dari sejumlah agenda penting yang dijalankan Obama selang beberapa hari setelah ia dilantik. Selama dua hari itu, sang Presiden bergerak cepat merealisasi sejumlah janji yang pernah dia sampaikan di masa kampanye.

Langkah cepat itu antara lain ditegaskannya kembali penutupan kamp Guantanamo. Pemerintah Presiden George W. Bush menggunakan Guantanamo untuk menyekap tahanan kasus terorisme. Dalam pekan pertama masa dinasnya, Obama juga menandatangani peraturan pemerintah yang mengharuskan tahanan kasus terorisme diperiksa dengan standar pemeriksaan militer resmi.

Di masa pemerintahan Bush, tahanan Guantanamo ratarata diperiksa dengan cara disiksa hingga di luar batas perikemanusiaan. Belum lagi kasus penyiksaan sadis oleh militer Amerika yang terekam dalam fotofoto di penjara Abu Ghuraib pada masa jatuhnya Saddam Hussein beberapa tahun silam.

Langkah cepat Obama lainnya adalah pengangkatan dua utusan khusus untuk wilayah ”panas”: Timur Tengah dan AfganistanPakistan. Kebijakan di dua wilayah ini akan menjadi satu batu ujian politik luar negeri pemerintahan Obama. Mantan senator George Mit­chell diangkat sebagai utusan khusus untuk Timur Tengah. Dia akan bertanggung jawab atas proses perdamaian di wilayah itu. Mitchell selama ini dikenal sebagai tokoh yang menyuarakan perlunya solusi dua negara (Palestina dan Israel) untuk menyelesaikan konflik di wilayah itu.

Sedangkan Richard Holbrooke, yang pernah mengurusi konflik Balkan, diangkat sebagai utusan khusus untuk Afganistan dan Pakistan. Kedua wilayah ini membuat Amerika kerepotan karena di sinilah AlQaidah bersarang. Di sini pula perang melawan terorisme yang dilancarkan Bush mendapat perlawanan sengit dari kelompok militan. Obama bahkan berencana menambah jumlah anggota pasukan Amerika di sini, mengingat kompleksnya persoalan di kedua wilayah ini.

Perhatian dunia kepada Presiden Amerika ke44 ini memang jauh melebihi perhatian terhadap presidenpresiden sebelumnya. Pelantikannya di Washington disaksikan langsung oleh dua juta lebih orang dari seluruh penjuru Amerika Serikat. Mereka menyemut di National Mall, lapangan rumput yang berhadapan langsung dengan gedung parlemen Amerika, Capitol Hill. Tidak hanya orang berkulit hitam dan putih, warga Asia di Amerika pun turut larut dalam kegembiraan. Mereka menyambut dengan gegapgempita sang presiden baru yang berada di balkon gedung saat mengucap sumpah.

”Saya tidak pernah bermimpi hari ini akan tiba,” ujar seorang perempuan kulit hitam separuh baya. Dia datang dari New York untuk menyaksikan hari bersejarah itu. ”Saya berdoa semoga Presiden Obama dapat membawa pembaruan setelah delapan tahun bangsa Amerika terpuruk,” katanya.

Dalam pidato seusai pelantikannya, Obama menggelorakan semangat rak­yatnya yang terpuruk oleh deraan krisis ekonomi dan keuangan. ”Tantang­an yang kita hadapi sangat nyata. Tantangan itu serius dan banyak. Itu tidak akan bisa diatasi dalam waktu singkat. Tapi, ketahuilah, ini Amerika. Masalah itu akan kita atasi,” kata Obama.

Bukan hanya penonton, sukarelawan yang jumlahnya sekitar 25 ribu orang pun larut dalam kegembiraan. Muath Alsufi, warga negara Amerika keturunan Yaman, salah satunya. Sukare­lawan itu sudah berada di lokasi pelantikan sejak pukul 03.30. ”Sudah lama saya menjadi penggemar berat Presiden Obama,” kata Alsufi. ”Maka saya mendaftarkan diri menjadi sukarelawan pada hari ini,” ujarnya kepada Tempo.

Tugas Alsufi pada hari inaugurasi adalah sebagai pengatur lalu lintas arus manusia. Menurut dia, ribuan warga keturunan Yaman yang berdomisili di sekitar Washington ikut mendukung Barack Obama.

Kegembiraan serupa terlihat di antara para petugas yang membagikan makanan gratis untuk penonton. Kotakkotak donat dan minuman ringan yang diedarkan kepada jutaan penonton ludes dilahap di tengah udara Wa­shington yang membeku.

Inaugurasi Obama mencatat rekor baru dalam sejarah Amerika, dari jumlah penonton hingga parade inaugu­rasinya yang mahaekstravaganza. Bayangkan, marching band dari seluruh penjuru Amerika ikut hadir dalam parade, termasuk dari Punahou School, sekolah tempat Obama menimba ilmu di Hawaii. Mereka seolah memecahkan langit Washington dengan tambur dan trompet.

Hadir pula dalam parade itu kelompok anak cacat yang tergabung dalam Special Olympic serta astronaut dari NASA—belum lagi marching band kelompok militer. Kegembiraan dan kebersamaan ini agaknya sesuai dengan keinginan Obama.

Beberapa hari sebelum dilantik, dia berucap, ”Saya ingin upacara inaugu­rasi nanti bukan hanya pesta untuk saya, melainkan bagi seluruh rakyat Amerika.” Dan Amerika pun berpesta, melupakan sejenak krisis ekonomi yang membelit.

Angela Dewi (Jakarta), Atria Rai (Washington, DC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus