Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senin pekan lalu, Hamid Karzai membuat banyak orang tercengang. Berjubah hijau, ia mengayunkan langkah ke kantor Komisi Pemilihan Umum di Kabul, bersama dua orang lelaki. Di sebelah kanannya, lelaki bersorban, tokoh suku Hazara yang telah dua kali menempati posisi wakil presiden dalam pemerintahannya. Ia Karim Khalili. Dan kehadiran pria di sebelah kirinyalah yang mengagetkan orang: Mohammad Qasim Fahim.
Ketiganya datang ke kantor Komisi untuk mendaftarkan pencalonan mereka sebagai trio presiden dengan dua wakil presiden untuk pemilihan presiden pada 20 Agustus mendatang. Karzai mengajak Qasim dan Karim untuk merebut kursi kepresidenan periode kedua. Konstitusi mensyaratkan Presiden Afganistan harus didampingi dua wakil presiden.
Masalahnya, Qasim, sang calon wakil presiden, punya reputasi teramat buruk selama perang sipil 1990-an. Saat itu ia komandan pasukan tokoh legendaris anti-Soviet, Ahmad Shah Massoud. Tentang dia, Human Rights Watch menyimpan catatan khusus bertajuk ”Tangan-tangan Berlumuran Darah” pada 2005.
Laporan itu mencatat, Qasim, 50 tahun, adalah komandan milisi dalam pembantaian di Afshar. Korbannya, sekitar 800 warga minoritas muslim Syiah Hazara, dibantai, diperkosa, dan dijarah di Kabul pada September 1992. ”Dia salah satu panglima perang yang paling kejam di negeri ini, dengan darah banyak warga Afganistan di tangannya selama perang sipil,” ujar Brad Adam, Direktur Asia Human Rights Watch.
Toh, catatan hitam itu tak serta-merta menyingkirkan Qasim dari lingkaran orang berkuasa. Setelah agresi Amerika yang berhasil mendongkel Taliban berakhir pada 2001, Karzai menggandeng Qasim dan Ahmad Zia Massoud, saudara pahlawan perjuangan anti-Soviet, Ahmad Shah Massoud, sebagai wakil presiden. Karzai malah masih menambah kekuasaan Qasim sebagai menteri pertahanan pada 2002.
Tapi, ketika Karzai menang pemilihan presiden pada 2004, negara Barat tak membiarkan Qasim bersekutu dengan Karzai. Tekanan ini memaksa Karzai berpisah dengan Qasim. Para diplomat negara Barat di Kabul percaya Qasim masih terlibat dalam banyak kegiatan ilegal, termasuk mengomandani milisi bersenjata Jamiat-e-Islami, melakukan serangkaian penculikan warga negara asing di Kabul, merampok bank, serta memperdagangkan senjata dan obat bius belakangan ini.
Sebenarnya Karim Khalili, yang menjadi wakil presiden selama tujuh tahun, juga bekas panglima perang dari faksi yang dituduh melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan lain selama perang saudara. Tapi Karim lalu mencuci dosanya dengan bekerja sama: ia melucuti dan membubarkan milisinya setelah Taliban dikalahkan.
Adapun Qasim diduga diam-diam menimbun senjata milisinya di Lembah Panjshir, bekas markas kelompok perlawanan Aliansi Utara anti-Soviet dan anti-Taliban di utara Kabul. Qasim tak pernah diam. Setelah terdepak dari lingkaran kekuasaan, ia mendirikan kelompok oposisi, kemudian keluar dari kelompok itu karena Karzai menyodorkan tawaran untuk maju sebagai kandidat wakil presiden.
Kini Karzai membela Qasim habis-habisan. Karzai mengartikan kritik terhadap Qasim sebagai usaha menghapuskan kontribusi Qasim melawan Uni Soviet dan Taliban. ”Negeri ini butuh persatuan. Qasim akan menjadi faktor stabilitas dan persatuan bagi rakyat Afgan,” ujarnya. Persatuan bisa dicapai di Afganistan; salah satunya lewat pembagian kue kekuasaan di antara sejumlah suku. Qasim berasal dari suku Taji, Khalili dari suku Hazara, sedangkan Karzai berasal dari suku Pashtun, suku terbesar di Afganistan.
Daftar jasa Qasim masih panjang di mata Karzai. Termasuk sumbangannya dalam perang melawan terorisme dan kerja samanya dengan pasukan Amerika di Afganistan. Dan ini membuat Amerika salah tingkah. ”Dia akan menjadi wakil presiden yang mampu pergi ke setiap tempat di negeri ini,” ujar Karzai. Artinya, rakyat Afganistan menerima Qasim.
Tapi bagi analis politik Shukria Barakzai di Kabul, pilihan Karzai terhadap Qasim menunjukkan Afganistan tak mampu keluar dari masa lalu, sistem panglima perang yang bergelimang darah. ”Ini menjadikan langkah untuk membuat masyarakat progresif, demokratis, dan melindungi hak-hak rakyat menjadi lebih sulit,” ujarnya.
Raihul Fadjri (AP, AFP, The Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo