Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Palestina</B></font><BR />Demi Gaza, Hamas Nanti Dulu

Miliaran dolar dana bantuan kemanusiaan mengalir ke Gaza. Pejabat Hamas menyebutnya politisasi kemanusiaan belaka.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ya, akhirnya mereka membicarakan Palestina. Di Sharm el-Sheikh, daerah peristirahatan di Laut Merah, sejumlah petinggi dunia duduk bersama, membicarakan topik yang sama. Khusus soal Gaza yang luluh-lantak setelah serangan Israel yang berakhir dua bulan lalu, ada dana miliaran dolar yang siap dialirkan untuk memulihkan kehidupan di sana. Tentu saja, bukan bantuan tanpa syarat.

Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, misalnya, memastikan Amerika menggulirkan dana US$ 900 juta atau sekitar Rp 10 triliun untuk Palestina. Namun ia juga menggarisbawahi: Hamas tidak boleh ”membonceng” bantuan itu. Konferensi rekonstruksi Gaza yang berlangsung sehari itu mengusung agenda bersayap.

Mengumpulkan dana, menurut sejumlah politikus yang hadir pada konferensi itu, memang bukan persoalan sulit. Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas menyebutkan Palestina memerlukan dana tak kurang dari US$ 2,8 miliar atau setara dengan Rp 33,6 triliun. Hari itu juga negara-negara donor bersepakat menggelontorkan sekitar Rp 36 triliun. Dana sebesar itu, yang datang dari 70 negara donor, kata Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Aboul Gheit, benar-benar di luar dugaan.

Namun sejumlah negara memasukkan embel-embel yang mengarah ke Hamas. Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband, misalnya, menegaskan Palestina memerlukan pemerintahan tunggal. Prancis juga satu suara.

Israel, yang tak menghadiri konferensi, bahkan menyebutkan terang-terangan tak ingin bantuan jatuh ke tangan Hamas. ”Sebagaimana komunitas internasional, kami tak mendukung Hamas,” kata juru bicara pemerintah, Mark Regev. ”Kami hanya mendukung rakyat Gaza.”

Seragamnya suara negara-negara penyandang dana tentu membuat gerah Hamas. Apalagi konferensi itu sama sekali tak mengundang Hamas, yang menguasai pemerintahan di Gaza. Konferensi hanya menunjuk Presiden Mahmud Abbas sebagai perwakilan rakyat Gaza.

Juru bicara Hamas, Fawzi Barhoum, menyebut bantuan dana kemanusiaan ini sebagai politisasi Gaza karena ”bantuan diserahkan kepada Abbas”. Abbas sendiri lebih adem berkomentar. Ia meminta pihak-pihak yang bertikai menyingkirkan perbedaan jika ingin membangun Gaza kembali.

Dimasukkannya faktor ”asal bukan Hamas” itu dinilai sejumlah peng­amat justru merupakan kegagalan pertama pemerintah baru Amerika Serikat. Padahal, sebagaimana dijanjikan Presiden Barack Obama, konflik Pa­lestina harus selesai dengan cara damai. Daniel Levy, mantan juru run­ding Israel, yang kini menjadi peneli­ti di New American Foundation, Wa­shington, mengatakan Amerika harus bisa mendesak Hamas duduk berunding. ”Apa pun cara yang akan ditempuh pemerintah Obama, mereka harus bisa meyakinkan Hamas bersedia berunding.”

Persoalannya, sejak pemerintah George W. Bush masih berkuasa, posisi Hamas di mata Amerika dan sekutunya tak beranjak dari daftar teroris. Padahal Hamas, dalam banyak kesempatan, berusaha menampakkan wajah moderat mereka dengan membuka peluang berunding, kecuali soal sikap pengakuan terhadap Israel.

Menurut Levy, jika pendekatan ­Amerika yang penuh tekanan terhadap keberadaan Hamas tak dikendurkan, seberapa pun bantuan ekonomi untuk Gaza, tak akan ada artinya. Levy meminta Amerika mencontoh Inggris, yang melakukan politik di­plomasi bawah tanah dengan sejumlah petinggi Hizbullah untuk bisa meng­ajak mereka duduk berunding.

Ketika para petinggi dunia bertemu di Mesir itu, sejumlah organisasi kemanusiaan mengalami kesulitan di pintu perbatasan. Menurut mereka, hasil konferensi akan percuma jika tak ada komitmen membuka pintu perbatasan. ”Rakyat Gaza butuh bahan makanan,” kata Michael Bailey, Direktur Oxfam Internasional. ”Jika politikus itu menyebut ini bantuan yang bisa diselewengkan, apa yang akan disa­lahgunakan dari gandum, buah-buahan, dan makanan pokok lainnya?”

Di Gaza, seorang remaja yang kini hidup dengan satu kaki juga tak peduli dengan pertemuan Sharm el-Sheikh. Qarish Barmawi, 13 tahun, yang dihubungi Tempo, mengatakan bantuan akan berarti bila ia kembali bisa memiliki dua kaki. ”Saya sedih melihat teman-teman saya dapat berjalan, berlari, dan bermain bola. Saya ingin kaki saya kembali sempurna,” katanya.

Angela Dewi (Jakarta), Akbar Pribadi Brahmana Aji (Sharm el-Sheikh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus