Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Arab Saudi</font><br />Melawan dengan Pakaian Dalam

Pemerintah Saudi membuka 44 ribu lowongan kerja bagi perempuan. Tidak murni demi emansipasi, tapi untuk mengurangi jumlah penganggur.

13 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BASHAIR Babaeer sibuk menata pakaian dalam di toko tempatnya bekerja di salah satu pusat belanja di Kota Jeddah. Gadis 20 tahun asal Riyadh, ibu kota Arab Saudi, ini melakukan gawean itu agar barang dagangannya tampil menarik di mata pelanggan. Hampir 10 jam sehari ia menjadi pramuniaga. Namun Babaeer mengaku senang walau harus bekerja keras. Ia juga sangat girang terhadap profesi barunya, yang memungkinkannya bertemu dengan banyak orang.

Akhir tahun lalu, Babaeer berhenti sebagai petugas kebersihan di sebuah kampus. Dia banting setir jadi pramuniaga, sebuah pekerjaan yang sebelumnya terlarang bagi perempuan Saudi. "Pekerjaan saya sekarang ini idaman setiap wanita yang bertaraf pendidikan pas-pasan," ujar Babaeer, yang hanya mengantongi ijazah sekolah menengah, kepada situs berita arabnews.com, Selasa pekan lalu.

Pramuniaga memang pekerjaan haram bagi perempuan Saudi. Itu berlaku sebelum Kerajaan Arab Saudi mengumumkan dekritnya pada 4 Januari lalu. Keputusan Raja Abdullah yang dikeluarkan itu berisi larangan bagi lelaki untuk bekerja di toko pakaian dalam dan perlengkapan khusus wanita. Ini artinya telah terbuka kesempatan kerja bagi perempuan, yang sebelumnya secara hukum syariat dilarang berinteraksi dengan banyak orang di tempat umum.

Kegirangan Babaeer juga dirasakan ribuan gadis Saudi lainnya. Sebab, dengan dibukanya keran kebebasan bekerja bagi perempuan di tempat umum, terbuka peluang sedikitnya 44 ribu lowongan kerja bagi wanita. Tindakan ini sekaligus mengurangi jumlah penganggur di kalangan wanita Arab Saudi, yang sudah mencapai 150 ribu orang. "Ini kesempatan baru bagi perempuan untuk bekerja," kata Fahd al-Tukhaifi, pejabat dari Badan Pemerintah Arab Saudi yang mengurusi pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia.

Selain soal kebebasan, terbukanya peluang kerja juga memberikan kesempatan memperoleh upah lebih baik bagi wanita di Arab Saudi. Menurut Mauni, gadis pramuniaga baru di toko pakaian dalam di Mekah, dari profesi barunya itu ia bisa mendapatkan 5.000 riyal atau Rp 11,9 juta per bulan. Upahnya sekarang jauh lebih tinggi daripada saat ia bekerja sebagai petugas kebersihan, yang dibayar 1.000 riyal atau Rp 2,3 juta per bulan. "Saya ingin ini menjadi tonggak bagi wanita di Saudi yang mampu mengambil peran dan haknya," ujar Mauni, yang juga aktivis emansipasi perempuan di kotanya, kepada situs berita Saudigazette.com.

Keputusan Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud membuka lapangan pekerjaan untuk perempuan itu memang membawa angin segar bagi usaha pakaian dalam wanita di Arab Saudi. Sebanyak 7.353 toko pakaian dalam di seluruh Kerajaan Arab Saudi kini dibanjiri pembeli. Angka penjualan pakaian dalam meningkat hingga 75 persen.

"Pelanggan wanita yang datang kini membeli dalam jumlah besar. Mereka lebih santai karena tidak lagi takut atau canggung membeli pakaian dalam," kata Azhaar Aqeel Zain, direktur sebuah toko pakaian di Mekah.

l l l

PEREMPUAN Arab Saudi memang selalu risi bahkan takut membeli pakaian dalam di pusat belanja karena para pelayannya laki-laki. Kondisi itu diperburuk dengan tidak disediakannya kamar pas bagi kaum Hawa untuk mencoba pakaian dalam. Jika pelanggan tetap ingin mencoba, mereka harus menyewa kamar ganti yang disediakan atau pergi ke toilet mal yang jauh, terkadang jorok, dan tidak nyaman.

Parahnya, ada juga perempuan yang hanya berdiri di depan pintu toko dan menyebutkan ukuran dan warna kutang yang akan mereka beli, karena canggung untuk memilih. Alhasil, kata Rana Jad, seorang mahasiswi di College Dar al-Hikma, Jeddah, "Tak jarang pakaian dalam yang kami beli salah ukuran."

Lama-kelamaan perempuan Arab berpikir bahwa berbelanja pakaian dalam yang prakteknya dilayani lelaki hanya membuang uang. Saking kesalnya, para aktivis hak asasi manusia Arab Saudi pimpinan Fatima Qaroub memulai aksi memboikot beli pakaian dalam. Gerakan bermula dari laman-laman situs jejaring Facebook yang bertemakan "Gerakan Menghentikan Malu". Gerakan itu bergulir selama dua tahun, sebelum akhirnya Raja Abdullah mengabulkan tuntutan mereka. "Sekarang kami lega, karena lebih bebas memilih pakaian dalam kami sendiri," Fatima menandaskan.

Rasa malu untuk membeli pakaian dalam bagi perempuan Arab Saudi sebenarnya berpangkal pada ketentuan syariat Islam yang diterapkan secara keras dan kaku. Para mufti Arab Saudi berpendapat, tidak pantas bagi perempuan yang belum menikah bekerja di tempat umum, yang menyebabkan mereka bisa berinteraksi dengan lelaki secara bebas.

Hingga kini para mufti Arab Saudi masih menentang keputusan Raja Abdullah. Mereka khawatir terhadap revolusi sosial yang sedang melanda negara ultrakonservatif itu. Seorang kolumnis untuk koran Asharq al-Awsat, Abeer Mishkhas, mengatakan saat ini terjadi ketegangan antara ulama dan pemerintah.

Bahkan mufti Kerajaan, Syekh Abdel Aziz al-Sheikh, telah memperingatkan para pemilik toko yang mempekerjakan perempuan sebagai pramuniaga. Sang syekh mengatakan, "Mempekerjakan perempuan itu merupakan kejahatan dan dilarang oleh syariat Islam, dan pelanggaran itu akan ditanggung pemilik toko."

l l l

RUPANYA, keberhasilan tuntutan untuk wanita bisa melayani sesamanya dalam bisnis pakaian dalam di Arab Saudi "menular" ke gerakan emansipasi wanita lainnya. Pengadilan Arab Saudi untuk pertama kali bersedia menerima kasus gugatan terhadap pemerintah Kota Riyadh karena melarang perempuan mengemudi.

Mahkamah akhirnya menerima kasus tersebut setelah para penggugat yang dipimpin Manal al-Sharif secara konsisten menuntut hak mereka. Alasannya, tidak ada satu pun undang-undang di Arab Saudi yang melarang perempuan mengemudi. Larangan tersebut hanya berdasarkan pandangan­ para ulama yang khawatir para perempuan belum menikah bisa kehilangan keperawanan akibat terlalu sering keluyuran di jalan-jalan.

"Kami ingin hak kami, jangan sampai fatwa menghalangi perempuan bisa berdaya," kata Manal al-Sharif, aktivis hak perempuan Arab Saudi yang pernah ditangkap dan ditahan sembilan hari hanya karena mengemudikan mobilnya sendiri, kepada stasiun televisi Amerika Serikat, CNN.

Perubahan sosial tampaknya sedang menggeliat di negara yang banyak memarginalkan peran wanita ini. Perempuan di sana sudah capek dipandang sebelah mata. Fatwa para mufti yang melarang kebebasan para perempuan sangat membelenggu.

Bahkan, dalam acara resmi internasional di Arab Saudi yang melibatkan para perempuan terdidik di sana, tempat duduk antara laki-laki dan perempuan pun dipisah. Seperti yang ada di Grand Ballroom Hotel Hilton, Jeddah. Terdapat partisi kaca satu sisi setinggi 180 sentimeter yang digunakan untuk memisahkan tempat duduk tetamu laki-laki dan perempuan. Hal ini membuat para pembicara sebuah acara di ruang tersebut tidak bisa melihat—karena tertutup kaca satu sisi pandang—bila dari bagian tempat duduk perempuan ada yang mengacungkan tangan untuk bertanya.

Tapi celah kebebasan itu kini mulai merekah. Raja Abdullah, yang naik takhta sejak 2005, dikenal lebih moderat dibanding pemimpin Arab Saudi lainnya. Dia mau mendengar keinginan warga negara wanita, terutama setelah bubarnya masa kerja Dewan Syura yang terdahulu, tahun lalu. Buktinya, selain soal pengaturan bisnis pakaian dalam, Raja Arab Saudi keenam ini juga mulai memperbolehkan perempuan ikut dipilih dan memilih dalam pemilihan Dewan Syura—penasihat kerajaan—pada 2015.

"Kami tidak akan lagi memarginalkan perempuan dalam kehidupan, karena itu tidak lagi sesuai dengan syariat Islam," kata Raja Abdullah dalam pidato saat pergantian Dewan Syura, September lalu, yang dikutip situs Arabnews.com. Menurut dia, syariat Islam menghendaki kedudukan sama antara lelaki dan perempuan. Pengaturan lebih lanjut akan dimusyawarahkan kembali dengan para ulama senior.

Sandy Indra Pratama (Arab News, CNN, Reuters, Saudi Gazette)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus