Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>BURMA</font><br />Dari Penjara Menentang Junta

Penguasa militer Burma membebaskan ribuan tahanan politik. Wartawan pendukung Suu Kyi hanya makan sesendok nasi untuk sepekan.

6 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUPUK mata tua Win Tin selalu sebak setiap kali ia berbicara. ”Saya tidak mendendam…, tapi saya tidak akan lupa,” katanya dengan suara bergetar. Menghabiskan 19 tahun masa hidupnya dalam penjara junta militer Burma, salah satu tokoh pendiri Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi itu kini menghirup udara bebas.

Bersama 9.000 tahanan lain, Win Tin termasuk yang beruntung dibebaskan dua pekan lalu, lewat program amnesti yang disebut militer Burma sebagai ”kebaikan hati”. Win Tin, kini 79 tahun, termasuk tahanan politik terlama yang mendekam di penjara penguasa militer Burma. Ketika ditangkap pada Juli 1989, Win Tin adalah tokoh oposisi, wartawan senior sekaligus penyair, dan dikenal sebagai orang dekat Suu Kyi.

Di penjara Insein, Win Tin dikurung dengan tuduhan menghasut dan menyebarkan propaganda antimiliter. Dalam sel isolasi di penjara itulah ia menghabiskan hari-hari penuh siksaan. ”Saya diperlakukan sangat buruk sebelum 2003,” katanya mengenang.

Acap ia dilarang tidur, juga tidak diizinkan makan. ”Kurang tidur tentu sangat menyiksa,” katanya. Perlakuan keji itu masih ditambah dengan proses interogasi maraton selama bertahun-tahun. Di tengah malam, dengan tangan diborgol ke belakang dan kepala menjunjung sebilah balok, ia harus berdiri berjam-jam menantang udara yang menusuk hingga ke tulang.

Sepanjang masa kurungannya itu, matanya ”kenyang” menyaksikan penderitaan para tahanan lain. ”Disiksa karena minta makan itu perkara biasa,” katanya. ”Sesendok besar nasi untuk sepekan, bayangkan….”

Perlakuan buruk itu membuat kondisi kesehatan Win Tin merosot tajam. Terakhir, ia dikabarkan menderita sakit jantung. Harian pemerintah, Myanmar Times, menyebutkan para tahanan yang dibebaskan atas kebaikan hati pemerintah itu dalam kondisi kesehatan yang tak memungkinkan mereka ditahan lebih lama.

Setelah tak lagi mendekam di penjara penguasa militer, Win Tin bertekad akan melanjutkan perjuangannya menegakkan demokrasi di Burma. ”Politik adalah panggilan jiwa saya. Bagaimanapun kejamnya mereka memperlakukan saya selama di penjara, saya tak akan surut,” katanya.

Win Tin menyebut proses pembebasannya belum menggambarkan kemajuan berarti dalam kehidupan demokrasi di Burma. ”Tidak ada perubahan apa pun. Sebaliknya, kondisinya terus memburuk,” katanya.

Seorang tahanan politik lain, Ashin Pannasiri, lepas dari kurungan dengan cara melarikan diri. Ia salah satu tokoh biksu yang ikut dalam demo berdarah tahun lalu. Dalam peristiwa itu Pannasiri tertangkap dan digelandang ke pusat pemeriksaan. ”Jubah saya dilucuti dan mereka memaksa saya melakukan sit-up berkali-kali.” Para pemeriksa meninju dan menampar wajahnya. ”Sepatu militer mereka juga menginjak jari kaki saya,” katanya.

Pada Mei lalu, ia dikirim ke kamp kerja paksa di Negara Bagian Chin, yang berbatasan dengan India. Di sana, dengan borgol membelenggu kakinya, Pannasiri harus memecahkan batu dan menggali parit. Tujuh hari dalam sepekan, bersama sekitar 100 tahanan lain, ia bekerja tanpa istirahat. Acap kali dengan perut lapar karena makanan sangat terbatas.

Akhir penderitaannya terjadi bulan lalu ketika ia berhasil melewati pagar berduri. Dua hari dua malam, dengan punggung bersimbah darah karena tertoreh kawat, ia berjalan menerabas hutan menuju perbatasan India. Pannasiri kini hidup di India.

Nasib mereka jauh lebih mujur daripada rekan seperjuangan mereka, Ohn Kyaing. Mantan anggota parlemen yang dibekukan militer pada 1990 ini ditahan pekan lalu di rumahnya. Tak diketahui nasibnya. Sebelumnya, Kyaing pernah menjalani masa penahanan 15 tahun dengan tuduhan menyebarkan pamflet antipemerintah.

Aktivis Hak Asasi Manusia Internasional dan pihak oposisi Burma menyebutkan sedikitnya 2.000 orang masih ditahan penguasa militer. Mereka ditahan tanpa alasan jelas dan diperlakukan dengan keji selama belasan tahun. Sebagian besar mereka adalah tokoh oposisi pendukung NLD, yang dihadang para petinggi militer agar tak naik ke tampuk kekuasaan setelah menang pada pemilu 1989.

Suu Kyi sendiri masih menjalani masa tahanan rumah. Dalam 19 tahun itu, ganti-berganti ia menjalani masa kurungan dan tahanan rumah. Pertengahan bulan lalu, ia dikabarkan mogok makan. Suu Kyi menolak menyantap makanan yang dikirimkan rezim penguasa ke rumahnya.

Amnesti Internasional terus mendesak penguasa militer Burma membebaskan semua tahanan. Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ibrahim Gambari, dalam beberapa kali kunjungannya ke Burma juga mengajukan klausul pembebasan tahanan politik jika Burma ingin diterima lebih luas dalam pergaulan internasional dan mendapat bantuan dari negara asing. Tapi, dalam dua pertemuan pertama, Than Shwe, pemimpin junta, tak meladeni permintaan Gambari itu.

Baru belakangan, perwakilan junta menunjukkan tanda-tanda melunak. Namun, pihak oposisi dan dunia internasional memandang mereka belum menampakkan iktikad baik untuk memberikan ruang bagi demokrasi. Paket undang-undang yang baru diumumkan bulan lalu dipandang masih pro-militer. Dalam situasi seperti itu Win Tin pastilah akan terus bergerak. Sesendok nasi yang diberikan sepekan sekali justru membuatnya kian keras melawan.

Angela Dewi (AFP, AP, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus