Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUALA LUMPUR - Hanya beberapa bulan setelah kemenangan pemilu yang mengejutkan, pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menghadapi tantangan berat yang harus dihadapi koalisi multi-etnis dan reformisnya, yakni soal ras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir pekan lalu, Ibu Kota Kuala Lumpur dibanjiri pengunjuk rasa berpakaian putih yang berdatangan dari seluruh negeri. Sekitar 55 ribu warga muslim Melayu itu berunjuk rasa di Lapangan Merdeka, menyusul keberhasilan mereka menekan pemerintahan baru Malaysia untuk membatalkan niat mengadopsi Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (ICERD).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diselenggarakan koalisi kelompok muslim Melayu, unjuk rasa pada Sabtu lalu itu dihadiri para pemimpin partai yang berkuasa sebelumnya, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), dan Partai Islam se-Malaysia (PAS). Keduanya mendesak warga Melayu bersatu untuk merebut kembali kekuasaan politik setelah kegagalan mereka memenangi pemilihan umum pada Mei lalu.
"Jika Islam terganggu, jika ras (Melayu) terganggu, jika hak kami terganggu, maka kami akan bangkit untuk membela hak kami," kata Presiden UMNO, Ahmad Zahid Hamidi, kepada para demonstran. Mantan Perdana Menteri Najib Razak dan istrinya, Rosmah Mansor, juga berpartisipasi dalam rapat umum. Keduanya sedang menghadapi dakwaan korupsi yang dapat memaksa mereka ke balik jeruji besi.
Konvensi ini memang menjadi isu panas di negeri jiran itu sejak bulan lalu. Partai dan kelompok oposisi menyuarakan kekhawatiran bahwa konvensi tersebut akan mengancam posisi Islam sebagai agama resmi dan mengikis hak istimewa khusus warga Melayu, yang membentuk komunitas etnis terbesar di Malaysia.
Masalah ini bermula ketika Mahathir, dalam pidatonya di Majelis Umum PBB pada September lalu, berjanji bahwa Malaysia akan meratifikasi semua instrumen inti PBB yang tersisa ihwal perlindungan hak asasi manusia, termasuk ICERD.
Malaysia bersama Myanmar dan Korea Utara menjadi bagian dari 14 negara yang hingga kini belum meneken konvensi tersebut. Pada 1965, ICERD diadopsi dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB, dengan satu suara abstain. Konvensi ini mulai berlaku pada 1969. Ketika semua negara muslim di dunia mengadopsi konvensi ini dengan pendekatan masing-masing, Malaysia dan Brunei Darussalam menjadi negara berpenduduk muslim terakhir yang belum mengakuinya.
Meskipun perdana menteri tertua di dunia ini mengakui bahwa ratifikasi "tidak akan mudah" karena sensitivitas seputar ras dan agama di Malaysia, ikrar ini disambut baik di dalam dan luar negeri sebagai indikasi komitmen pemerintah koalisi Pakatan Harapan terhadap hak asasi manusia, reformasi, dan demokratisasi.
Seperti diprediksi Mahathir, partai-partai oposisi etno-nasionalis dan Islam konservatif menentang keras konvensi ini karena khawatir akan mengancam posisi khusus muslim Melayu, yang mencakup sekitar 60 persen dari populasi dan diberikan status khusus sebagai bumiputra dalam Pasal 153 konstitusi negara.
Setelah kerusuhan Melayu-Malaysia pada 1969 yang mematikan, kebijakan afirmatif berbasis ras, Kebijakan Ekonomi Baru, diperkenalkan dengan mengutamakan warga Melayu atas perumahan yang terjangkau, beasiswa universitas, dan kontrak pemerintah dalam upaya menghapus kemiskinan.
Setelah berminggu-minggu menghadapi tekanan kelompok-kelompok pro-Melayu, pemerintah Malaysia pun berubah haluan dan membatalkan ratifikasi ICERD pada 26 November lalu.
Seorang anggota parlemen dalam koalisi yang berkuasa mengatakan rencana awal untuk meratifikasi ICERD menguatkan narasi yang didorong UMNO dan PAS, bahwa pemerintah tidak memikirkan masyarakat Melayu, terutama kelas pekerja.
"Orang Melayu lebih berfokus pada masalah sosial-ekonomi. Jika Anda tidak berfokus pada kemiskinan dan kesulitan mereka, jelas mereka akan marah," kata anggota parlemen yang meminta Reuters tidak menyebutkan namanya tersebut.
Kemarahan warga Melayu menjadi masalah bagi Mahathir. Sebab, dalam pemilihan lalu, koalisi Pakatan hanya memperoleh 30 persen pemilih Malaysia, meskipun memenangi dukungan luar biasa dari etnis Tionghoa dan minoritas India. Lembaga pemungutan suara independen, Merdeka Center, menambahkan, sekitar 40 persen etnis Melayu mendukung UMNO, sementara sisanya memilih PAS, partai Islam konservatif.
Salah satu figur tokoh penasihat DAP, Partai Demokrasi di Malaysia, Lim Kit Siang, menilai aksi massa pada akhir pekan lalu itu merupakan kemunduran bagi koalisi partai pemerintah untuk memulai sebuah "Malaysia Baru".
Lim menilai penolakan tidak akan terjadi apabila pemerintah Malaysia bisa mengirim pesan dengan tepat dan meyakinkan secara efektif mengenai pentingnya ICERD. Ia menilai pemerintah Malaysia seharusnya bisa menyampaikan dengan benar dan strategis bahwa ratifikasi ICERD tak berarti anti-Melayu dan anti-muslim.
"Seharusnya Pakatan Harapan bisa mencegah penyelenggara aksi ini membajak makna dan membelokkan pesan politik yang jadi racun dan tak bisa dipertanggungjawabkan mengenai isu anti-Melayu, anti-muslim, dan anti-pemimpin Melayu," ujarnya, kemarin. REUTERS | MALAY MAIL | THE STAR | YAHOO NEWS | ASIA TIMES | SITA PLANASARI AQUADINI
Status Negara Soal ICERD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo