Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Gaza telah menjadi kuburan bagi perempuan dan anak perempuan ketika krisis di wilayah kantong tersebut memasuki hari ke-200. Laporan ActionAid pada Rabu, 24 April 2024, mencatat setidaknya 70 persen dari ribuan korban jiwa di Gaza sejauh ini adalah perempuan. ActionAid adalah badan amal internasional urusan perempuan.
Serangan Israel di Gaza telah menewaskan setidaknya 34.262 orang dan membuat 77.229 lainnya luka-luka sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas, yang diklaim menewaskan 1.139 orang. Hamas sampai berita ini diturunkan masih menyandera puluhan warga Israel di Gaza.
Menurut UN Women, badan PBB untuk urusan perempuan, sebanyak 10 ribu perempuan di Gaza terbunuh, di mana 6 ribu dari jumlah tersebut adalah ibu-ibu.
Tim medis di Gaza membantu kelahiran seorang bayi melalui operasi caesar dari rahim seorang ibu yang tewas dalam serangan Israel di Rafah akhir pekan lalu, yang memakan korban jiwa hingga 19 warga sipil. Serangan yang menargetkan rumah-rumah warga itu terjadi di tengah pengeboman intens di Rafah, Deir Al Balah dan Kota Gaza.
“Perempuan dan anak perempuan terkena dampak krisis di Gaza dengan cara yang unik selama 200 hari terakhir,” demikian laporan ActionAid, seperti dikutip dari websitenya.
Menurut UNFPA, hanya tiga dari 11 rumah sakit berfungsi di Gaza mampu memberikan layanan persalinan sehingga ada ibu hamil yang terpaksa bersalin tanpa perawatan atau keperluan medis yang memadai, seperti antibiotik dan obat pereda nyeri.
ActionAid mencatat krisis pangan yang ekstrem menyebabkan banyak perempuan mengalami kekurangan gizi sehingga tidak dapat menyusui bayinya yang baru lahir, sementara beberapa ibu hamil mengalami keguguran di usia kehamilan yang sangat terlambat akibat kekurangan gizi.
Menurut asesmen badan-badan bantuan, Gaza kini sedang menuju bencana kelaparan sementara bantuan kemanusiaan yang masuk masih tidak memadai. Sejak awal April, rata-rata 186 truk bantuan telah menyeberang ke Gaza setiap hari melalui penyeberangan darat Kerem Shalom dan Rafah, menurut catatan badan bantuan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA).
Menurut UNRWA, jumlah tersebut masih jauh di bawah kapasitas operasional penyeberangan perbatasan dan target minimum 500 truk per hari. Bahkan, organisasi Oxfam menilai kini dibutuhkan 1.500 truk per hari untuk mengatasi kekurangan pangan di Gaza.
Hanifa, seorang ibu di Gaza yang mengungsi ke wilayah selatan, mengatakan suara bom terdengar keras sehingga membuat susah tidur sepanjang malam. Ia berkata kadang para ibu bangun dan memikirkan bagaimana cara memberi makan anak-anaknya.
“Kami tidak tahu apakah kami akan bangun atau tidak, dan jika kami bangun, makanan apa yang bisa kami temukan untuk dimakan,” katanya kepada ActionAid.
Selain krisis makanan, para perempuan juga menghadapi isu sanitasi. Sebanyak 690 ribu perempuan dan anak perempuan harus mengatur menstruasi mereka setiap bulan di tengah kurangnya produk menstruasi, air bersih, sabun, toilet, dan privasi.
Sebuah laporan baru-baru ini oleh UNRWA mengklaim perempuan dan anak perempuan termasuk di antara tahanan di Gaza yang diduga mengalami perlakuan buruk oleh pasukan Israel, termasuk potensi kekerasan dan pelecehan seksual. Riham Jafari, Koordinator Advokasi dan Komunikasi di ActionAid Palestina, mengatakan masyarakat di Gaza mengalami mimpi buruk dan tidak bisa bangun.
“Alih-alih menjadi tempat di mana mereka dapat hidup dan berkembang, Gaza malah menjadi kuburan bagi perempuan dan anak perempuan, yang merupakan mayoritas dari jumlah korban tewas yang sangat mengejutkan,” ujarnya.
Jafari mengatakan mereka yang selamat dari pengeboman tiada henti malah harus berjuang di tengah kekurangan makanan dan air yang ekstrem, serta hidup dalam kondisi yang penuh sesak dan tidak sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sumber: actionaid.org
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini