Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Agar Rusia tak Merajalela di Ukraina

Ukraina timur terus memanas. Rusia tak hanya membantu dengan senjata, tapi juga dengan pasukan.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan lalu, Presiden Ukraina Petro Poroshenko berdiri di bandar udara. Dia berpidato sebentar. Gara-garanya situasi di Ukraina timur yang kian buruk. "Rusia memasuki­ Ukraina," katanya. Ia pun menyatakan pembatalan kunjungan kerja ke Turki dan memilih mojok rapat dengan Dewan Keamanan Nasional. "Presiden harus berada di Kiev hari ini."

Bukan hanya Kiev yang geram. Jauh di New York, di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, diplomat Rusia dan negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga beradu mulut dalam pertemuan darurat Dewan Keamanan. "Sekarang kita melihat bukti yang tak terbantahkan bahwa pasukan Rusia beroperasi di Ukraina," ujar Duta Besar Inggris untuk PBB, Mark Lyall Grant.

Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Samantha Power, tak kalah garang. Ia menuding Rusia terang-terangan berbohong soal keterlibatannya dalam konflik di Ukraina timur. Di satu sisi, Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara soal perlu diakhirinya pertumpahan darah secepat mungkin saat berbicara dengan Presiden Poro­shenko, Selasa sebelumnya. Tapi, pada saat yang sama, pasukan tempur Rusia memasuki Donetsk di Ukraina.

Duta Besar Rusia Vitaly Churkin tak kalah garang dalam menjawab. Dia meminta Washington berhenti campur tangan. Ia menjelaskan bahwa yang disebut tentara Rusia yang masuk ke Ukraina adalah "relawan". "Memang ada relawan Rusia di Ukraina timur. Tak satu pun yang menyembunyikannya," katanya. Ia justru menuding Barat di belakang Ukraina.

Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Jen Psaki, lebih galak ketimbang Power. "Apa yang mereka lakukan adalah serbuan. Ini pelanggaran kedaulatan Ukraina," ucapnya. Ia menyebutkan Rusia telah masuk ke Ukraina, ikut turun tangan dengan pasukan tempur, kendaraan militer, artileri, dan sistem senjata canggih, termasuk peluru kendali.

Tudingan ini juga diperkuat oleh NATO. Bahkan mereka sudah menjatuhkan beberapa sanksi terhadap perseorangan dan perusahaan Rusia karena tindakan di Ukraina.

Pejabat Amerika yang tak bersedia disebut namanya mengatakan kepada The Washington Post bahwa tindakan Rusia itu mungkin dalam rangka membuka jalur darat Rusia-Crimea, yang dicaplok Rusia pada Maret lalu. Waktu itu referendum sudah sampai di titik akhir. Atau sebagai upaya Rusia untuk mengetes Amerika dan Eropa atas respons mereka bila terjadi pendudukan atau penyerobotan wilayah.

Yang pasti, apabila pemberontak berhasil membuka koridor darat Rusia-Crimea, hal itu akan membuat Rusia menguasai seluruh Laut Azov serta kawasan yang kaya gas dan mineral. Saat ini Ukraina kehilangan hampir separuh kawasan pantainya, beberapa pelabuhan besar, dan kawasan mineral di Laut Hitam akibat pencaplokan Rusia atas Crimea.

Di Donetsk dan Luhansk di kawasan timur Ukraina, kini berdiri dua kelompok pemberontak: Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Seperti Crimea, keduanya menyatakan ingin lepas dari Ukraina, yang menyebabkan pertempuran hingga kini. Lebih dari 2.200 orang tewas dalam konflik ini dalam lima bulan terakhir dan lebih dari sejuta orang mengungsi.

Bukti keterlibatan Rusia di Donetsk dan Luhansk banyak ditemukan, bahkan "invasi" mereka. Misalnya Kiev menyorongkan hasil sadapan telepon para pemberontak dengan militer Rusia, seperti saat pesawat Malaysia Airlines MH17 jatuh, yang diduga akibat serangan misil. Juga foto-foto dari citra satelit yang menunjukkan konvoi truk Rusia yang membawa pasukan atau senjata.

NATO juga memiliki foto-foto citra satelit sejenis, yang menggambarkan tentara biasa atau anggota pasukan khusus Rusia yang dilengkapi senjata canggih beroperasi di tanah Ukraina. "Ini adalah senjata canggih yang membutuhkan kru yang terlatih dengan baik, komando yang terlatih, dan elemen kontrol. Dan ini tak seperti yang digunakan oleh relawan," kata pejabat senior NATO, Brigadir Jenderal Nico Tak, di Belgia.

Militer Ukraina memang menemukan keterlibatan Rusia di lapangan. Misalnya, seperti dikemukakan juru bicara militer Ukraina, Kolonel Andriy Lysenko, apa yang dilihat pada Kamis siang dua pekan lalu. Dua lajur tank dan kendaraan militer Rusia memasuki Kota Novoazovsk di Laut Azov setelah terjadi serangan roket ke pasukan Ukraina dari wilayah Rusia. Setelah itu, pertempuran menjadi berbalik: pasukan Ukraina terpukul mundur. Pada penghabisan hari, pemberontak dan pasukan Rusia berhasil menguasai Novoazovsk. Satu per satu wilayah Donetsk dan Luhansk diduduki pemberontak yang didukung Rusia.

Menurut Lysenko, ada lebih dari 1.000 tentara Rusia beroperasi di Ukraina. Tapi jumlah yang jauh lebih besar justru datang dari organisasi keluarga tentara Rusia, di antaranya Komite Ibu-ibu Tentara. Menurut Ketua Komite Valentina Melnikova, ada 7.000-8.000 tentara Rusia yang diyakini berada di Ukraina, dan sekitar 200 orang telah tewas. "Saya yakin saya benar," ujarnya.

Informasi itu ia peroleh dari keluarga yang suami atau anaknya dikirim ke dekat perbatasan dengan Ukraina tapi tiba-tiba tak bisa dihubungi lagi. "Komandan militer melakukan operasi khusus yang sangat rahasia," katanya. Tentara juga tidak tahu akan dikirim ke mana.

Pemimpin organisasi lain yang oleh Kementerian Kehakiman dilabeli agen asing, Soldiers' Mothers of St Petersburg, Ella Polyakova, menuding Kremlin memang merahasiakan segala hal tentang operasi di Ukraina, termasuk pengiriman tentara, bahkan waktu pemulangan jenazah tentara yang tewas. "Pemerintah seharusnya menjelaskan mengapa tentara-tentara ini tewas di wilayah negara lain dan mengapa mereka tetap bungkam," ucap Polyakova, yang juga duduk di Dewan Hak Asasi Manusia Rusia.

"Perdana Menteri" Republik Rakyat Donetsk Alexander Zakharchenko mengakui adanya 3.000-4.000 orang Rusia, termasuk tentara profesional, yang bertempur bersama pasukannya. Sebagian dari mereka tewas dalam pertempuran. "Banyak tentara datang dari Rusia. Mereka lebih suka menghabiskan liburan mereka tidak di pantai, tapi bahu-membahu dengan saudara-saudara mereka berjuang demi kemerdekaan Donbass," katanya.

Bahkan Presiden Vladimir Putin juga belakangan mengakui adanya tentara Rusia di Ukraina. Tapi ia menyangkal soal pasu­kan khusus atau intelijen.

Hal itu tak begitu susah dibuktikan karena beberapa orang penting Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk adalah orang Rusia dan mantan personel militer atau intelijen. Misalnya Igor Girkin atau biasa dikenal dengan nama Strelkov (Pria Bersenapan), yang dianggap sebagai komandan militer Republik Rakyat Donetsk ataupun Republik Rakyat Luhansk. Ia warga Rusia yang baru pensiun sebagai kolonel cadangan di badan intelijen Rusia, Federal Security Services (dulu KGB), Maret tahun lalu. Ia pernah bertugas di Chechnya, Serbia, dan Trans-Dniester (wilayah di Moldova yang memproklamasikan kemerdekaan sendiri).

Juga "Perdana Menteri" Republik Donetsk sebelum Zakharchenko, Alexander Borodai, yang mundur awal Agustus lalu. Borodai adalah orang Rusia yang masuk Ukraina karena ajakan Girkin. Seperti Girkin, ia pernah "bekerja" di Crimea sebelum "lepas" dari Ukraina dan di Chechnya.

Yang lain adalah Igor Bezler, salah satu komandan pasukan di Horlivka, timur laut Donetsk. Meski kelahiran Crimea, ia memiliki latar belakang militer Rusia. Ia pun memiliki kewarganegaraan ganda, Ukraina dan Rusia.

Karena itu, Kiev dan NATO berkeras mendesak Rusia menarik diri dari Ukraina. Antara Kiev dan Kremlin pekan lalu terjadi pembahasan gencatan senjata. Petro Poroshenko dan Vladimir Putin mengobrol lewat telepon. Setelah obrolan, pernyataan yang keluar beda.

Poroshenko menyatakan telah ada gencatan senjata permanen, tapi kemudian menganulirnya. Kremlin menyatakan tak ada gencatan senjata. Tapi kemudian ia mengajukan poin-poin untuk menyelesaikan konflik di Ukraina, di antaranya penarikan pasukan Ukraina dari kawasan yang dikuasai pemberontak, pertukaran tawanan, dan penempatan pengamat internasional untuk memantau gencatan senjata.

Di sisi lain, anggota-anggota Uni Eropa dan NATO menegaskan tekanan terhadap Kremlin. Pekan lalu Prancis menunda pengiriman dua kapal Mistral ke Rusia, yang rencananya dikirim Oktober mendatang. Uni Eropa juga mengeluarkan ancaman penambahan sanksi ekonomi. Selain itu, pada konferensi tingkat tinggi NATO di Minsk, Belarus, pekan lalu, dibahas upaya penyelesaian konflik Ukraina. Semua pihak yang terlibat diajak bicara. Tapi tindakan militer dihindari. "Solusi militer untuk masalah ini tidak akan terjadi," kata Presiden Amerika Barack Obama.

Tapi yang juga menjadi pekerjaan rumah besar bagi NATO adalah memastikan Rusia keluar dari Ukraina dan tak melakukan agresi lagi dari ke negara-negara lain. Saat ini tiga negara bekas Soviet di kawasan Baltik yang memiliki banyak warga keturunan Rusia—Estonia, Latvia, dan Lituania—khawatir mengalami hal yang sama dengan Ukraina. Bedanya dengan Ukraina, bagi NATO, ketiga negara ini adalah anggota NATO yang memang wajib dibantu, termasuk secara militer.

Untuk mereka, Obama—yang berkunjung ke Estonia dalam perjalanan menuju pertemuan NATO—memberi janji. "Kami akan di sini untuk Estonia. Kami akan di sini untuk Latvia. Kami akan di sini untuk Lituania. Kalian telah kehilangan kemerdekaan sekali. Dengan NATO, kalian tak akan pernah kehilangan (kemerdekaan) lagi," ujarnya.

Purwani Diyah Prabandari (The Guardian, Foreign Policy, The Washington Post)


Saling Sorong Peta

Perang di Ukraina timur tak hanya terjadi di lapangan atau ruang-ruang para pemimpin dan diplomat di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Saling serang juga terjadi di media sosial.

Gatal terhadap kelakuan Rusia, dua pekan lalu, misi Kanada di NATO menaruh peta Rusia yang sudah mereka "kerjai" di akun Twitter mereka. Tak seperti peta biasanya, di peta ini dicantumkan besar-besar tulisan "RUSSIA" pada wilayah Rusia dan "NOT RUSSIA" di kawasan Ukraina.

Serangan yang dituliskan Kanada: "Geografi bisa jadi sulit. Ini petunjuk untuk tentara Rusia yang terus saja tersesat dan tidak sengaja memasuki #Ukraina."

Peta itu memang untuk meledek Rusia. Sehari sebelumnya, Ukraina mengeluarkan video yang menunjukkan pasukan payung Rusia di wilayah Ukraina, dekat perbatasan. Dalih Moskow: orang-orang itu tak sengaja menyeberangi perbatasan yang memang tidak ada tanda perbatasannya.

Postingan tersebut segera menyebar. Hanya hitungan hari, lebih dari 30 ribu akun menyebarkannya.

Kanada merupakan anggota NATO yang juga menentang turunnya Rusia di Ukraina bagian timur, yang sedang dilanda perseteruan saudara. "Tindakan agresi Rusia dan intimidasi terhadap Ukraina mengundang tindakan kolektif," kata Menteri Luar Negeri Kanada John Baird, Selasa dua pekan lalu. "Kanada, bersama negara-negara yang berpikiran sama, jelas harus berbicara tegas."

Tapi Rusia tak diam saja diserang. Mereka memberi jawaban dengan menaruh peta yang lebih bagus dan menunjukkan kawasan sekitar Laut Hitam. Di peta ini, Semenanjung Crimea adalah bagian dari Rusia. Crimea dicaplok Rusia setelah referendum yang tak diakui Kiev dan masyarakat internasional, Maret lalu.

Sedangkan Abkhazia dan Ossetia Selatan, yang menyatakan kemerdekaan dari Georgia tapi belum diakui masyarakat internasional, ditandai oleh garis-garis. Rusia dan Georgia berperang memperebutkan kawasan ini pada 2008.

Pesan dalam peta tersebut: "Membantu kolega Kanada kita untuk memahami geografi kontemporer #Eropa @CanadaNATO."

Purwani D. Prabandari (BBC, France24)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus