Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUHU di Dresden, ibu kota Saxony, wilayah timur Jerman, menunjukkan tiga derajat Celsius. Angin mencapai kecepatan 130 kilometer per jam selama berminggu-minggu. Hujan pada Senin pekan lalu juga sedang turun. Tapi cuaca ini tak mengendurkan semangat demonstran anti-islamisasi Eropa yang dimotori Patriot Eropa Melawan Islamisasi di Barat (Pegida).
Media-media kondang Jerman, seperti koran Die Zeit, majalah Focus, dan koran Die Welt, melaporkan, dengan tubuh dibungkus jaket tebal, syal, topi, dan sarung tangan, pengunjuk rasa berkumpul di Skate Park, Lingneralle, pusat Kota Dresden. Selama aksi, beberapa orang membawa termos berisi kopi dan teh untuk mengusir dingin.
Mereka meneriakkan yel-yel "Luegnerpresse" (kebohongan pers), memprotes berita tak mengenakkan tentang Pegida yang ditulis media Jerman. Demonstran membentangkan spanduk "Bersatu melawan kekerasan, keyakinan pada agama Islam di tanah Jerman". Tak ketinggalan poster bergambar Kanselir Angela Merkel berwajah sayu, berkerudung warna hitam, bertulisan "Bu Merkel, ini rakyat".
Demo oleh massa Pegida memang semakin kuat menggoyang Jerman sejak awal Desember 2014. Setiap Senin, ribuan orang turun ke jalan di hampir semua kota besar. Demo di Dresden menyedot simpatisan terbanyak. "Demo sebesar itu belum pernah terjadi di Jerman," kata Kepala Polisi Federal Jerman Dieter Roman kepada Tempo di tengah kerepotan mengatur keamanan demo serupa di Hannover, Senin pekan lalu. Lebih dari 1.500 polisi disebar di seputar aksi unjuk rasa.
Roman menyatakan demo hari itu, yang ke-12 dan berlangsung setelah serangan berdarah di kantor Charlie Hebdo di Paris, dihadiri 25 ribu orang (Pegida mengklaim jumlah massa 40 ribu orang). Media Jerman menyebutnya sebagai rekor karena pengunjuk rasa sebanyak itu belum pernah terkumpul sebelumnya. Bukan perkara gampang mengumpulkan orang ketika cuaca musim dingin amat tidak bersahabat.
Pegida terbilang lihai. Siasat mereka: demo digelar setelah jam kerja, mulai sekitar pukul 18.00. Tak lazim memang menggelar demo pada malam hari. Pukul 6 sore di Jerman pada musim dingin sudah seperti pukul 21.00 di Jakarta. Tapi, dengan begitu, simpatisan Pegida tak perlu absen dari kantor.
Pegida dibentuk pada 20 Oktober 2014 oleh Lutz Bachmann. Pria 41 tahun yang menjalankan agensi hubungan masyarakat ini punya catatan keluar-masuk bui. Ia beberapa kali terlibat perampokan, penipuan, pencurian, penghasutan, perdagangan obat bius, menyetir dalam keadaan mabuk, atau tak membawa surat izin mengemudi. Tapi simpatisan Pegida tak hirau karena mereka perlu sarana pelepas unek-unek kepada pemerintah.
Bachmann sendiri mengaku bukan bagian penting dari Pegida. "Saya hanya geligi kecil dalam sebuah roda yang lebih besar," ujarnya dalam wawancara dengan Süddeutsche Zeitung, seperti dikutip The Guardian, Kamis pekan lalu.
Selain Bachmann, pentolan Pegida adalah Rene Jahn, 49 tahun, dan Kathrin Oertel, 36 tahun. Mereka menggunakan media sosial untuk menarik massa. Halaman Facebook Pegida sudah mendapat 85 ribu klik Like sehari setelah unjuk rasanya pada akhir Oktober, dua kali lebih banyak dibanding dua pekan sebelumnya. Setelah peristiwa Charlie Hebdo, jumlah penyuka bertambah—hingga pekan lalu sudah terjaring lebih dari 141 ribu Like.
Mereka mengelola gerakan itu dengan hati-hati, berharap simpatisan tak takut diasosiasikan dengan neo-Nazi. Promosi demo lewat Facebook dilakukan dengan halus. Pegida menyebut unjuk rasa itu "jalan-jalan malam hari" alias abendspaziergang. Seperti dilaporkan Al Jazeera America pada 26 Desember 2014, ajakan demonya berbunyi, misalnya, "Bergabunglah dengan kami untuk jalan-jalan malam melewati Pasar Natal."
Selain itu, Pegida menggaet dukungan dengan mewartakan kejadian yang melibatkan pengungsi yang umumnya bernada miring melalui blog Politically Incorrect. Misalnya berita pengungsi muslim yang memukuli sesama muslim sampai babak-belur dan diselamatkan warga atau pengungsi yang diusir dari rumah sewanya karena tak mau menandatangani kontrak. Bahannya disadur dari kliping dan video berbagai media.
Simpatisan Pegida umumnya orang-orang muda dan kaum tua yang marah dan kecewa kepada pemerintah. Mereka merasa suara mereka diabaikan, sementara imigran dari Kosovo, Rumania, Serbia, Albania, dan Turki serta pengungsi Suriah, Afganistan, Pakistan, dan Yordania tak henti berdatangan.
Bermacam ketakutan menghantui mereka dengan banyaknya imigran muslim yang bertendensi menetap selamanya dengan membawa kebiasaan dan kultur baru. Mereka khawatir tatanan sosial-budaya Jerman sebagai bukan negara multikultural seperti Amerika Serikat bakal berubah.
Pengikut Pegida yang sebagian besar kalangan konservatif dari sayap kanan juga takut terjadi islamisasi. Mereka melihat jumlah muslim dan masjid bertambah dari tahun ke tahun. Perempuan berjilbab dan berburkak kian banyak. "Di pusat-pusat kota, orang-orang membagikan Quran gratis, burkak berseliweran di keramaian. Ada apa ini? Apakah ini upaya mengislamkan Jerman?" kata Thomas Hartkopf, 28 tahun, mahasiswa teknik mesin di Hamburg, kepada Tempo melalui telepon, Selasa pekan lalu.
Martina Riepe, 33 tahun, berkomentar sama. "Saya tak membenci Islam dan saya bukan Nazi. Saya warga biasa. Tapi saya tak mau ada islamisasi di Eropa, apalagi di Jerman. Saya cinta Jerman," ujar pemilik restoran di Koeln ini via telepon.
Semakin sempitnya lapangan kerja merupakan sumber kecemasan lain. "Anda lihat di Sachsen (wilayah Saxony) ini, 70 persen tenaga kerja adalah orang asing, bukan orang Jerman asli. Bagaimana masa depan anak-anak nanti?" tutur seorang demonstran yang tak mau disebut namanya.
Hal itu ditambah prasangka bahwa uang pensiun terancam berkurang karena digunakan untuk mengurus pengungsi. "Di sini juga ada banyak anak miskin, tapi pemerintah tak memikirkan ini. Pengungsi yang mendapat prioritas," ujar demonstran lain. Apalagi harga barang dan pajak di sana terus naik. Hal ini diakui Frank Delmel, yang tinggal di Berlin bersama istrinya.
Demonstran pun takut kriminalitas meningkat. Sekarang saja polisi mengaku kewalahan menghadapi fenomena ini. Menurut Dieter Roman, 70 persen pelaku kejahatan, seperti pencurian, perampokan, dan penipuan, umumnya adalah pendatang.
Ketakutan diperparah oleh faktor jaminan sosial yang timpang. Di Jerman, ada Harz IV, yakni orang-orang yang menjadi penganggur karena perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut atau tutup dan mereka mendapat bantuan dari pemerintah. Setiap bulan, mereka menerima 382 euro (sekitar Rp 5,6 juta), hanya sedikit di atas "hadiah" bagi pengungsi yang baru menginjakkan kaki di Jerman, 362 euro per orang per bulan. Angka "hadiah" ini juga mendekati pendapatan pensiunan dengan 40 jam kerja seminggu selama bertahun-tahun sebesar 391 euro per bulan. Atmi Pertiwi (DW, Reuters, The Guardian, Al Jazeera), Tutty Baumeister (Hannover), Kunang Helmi (Berlin)
Ribuan Pula yang Anti-Pegida
Selain simpatisan, tak sedikit orang yang anti-Pegida di kota-kota di Jerman. Di Dresden, kota kelahiran Pegida, ada 6.000-an orang menentang. Berikutnya muncul Muenchen, sekitar 20 ribu orang; Dueselldorf (5.000 orang); Stuttgart (15 ribu orang); Mainz (1.000 orang); dan Heidelberg (10 ribu orang). Mereka mengusung jargon "No Pegida. Nie Wieder Faschismus" (Tidak untuk Pegida. Tidak Ada Lagi Fasisme). Muncul pula plakat "Refugees Welcome" Stuttgart.
Di Rostock, 2.000 demonstran mengusung plakat dengan tulisan "Rostock Nazifrei" (Rostock Bebas Nazi). Hamburg, yang penolak Pegida-nya sekitar 4.000 orang, membuat poster bertulisan "Hei Pegida, Kebencianmu kepada Islam Memalukan Kami".
Di Koeln, ada sekitar 7.000 penentang. Mereka muncul dengan aksi mematikan lampu selama lima menit di katedral dan jembatan—dua simbol kota yang biasanya terang-benderang pada malam hari. Di Hannover, ibu kota Negara Bagian Niedersachsen, ada aksi mematikan lampu pusat pertokoan, gedung wali kota, dan gedung opera ketika demonstran Pegida melewati wilayah itu.
Seorang penentang Pegida, Sandra Wedenmeyer, heran terhadap demo anti-Islam. "Islam sudah ada di Jerman selama bertahun-tahun, kenapa baru sekarang diributkan?" kata pengacara berusia 40 tahun asal Hannover ini. Menurut dia, Jerman, seperti negara-negara Eropa lain, adalah negara yang terbuka buat siapa saja. "Kami toleran terhadap agama atau kultur apa saja."
Ia menyebutkan tindak kriminal bisa dilakukan siapa saja, bahkan oleh orang Jerman. "Bukan indikator jika ada orang asing kejahatan jadi meningkat," ujarnya kepada Tempo lewat sambungan telepon, Selasa pekan lalu.
Bagi Holga Rosegger, penentang Pegida lainnya, Jerman terbuka buat siapa saja yang membutuhkan pertolongan. "Prediksi peningkatan jumlah muslim cuma tujuh persen sampai 2050. Bagaimana ada islamisasi? Cuma orang idiot yang khawatir terjadinya islamisasi di Jerman," kata mahasiswa teknik lingkungan berusia 19 tahun asal Muenchen ini.
Demo anti-Pegida di Hannover bahkan dihadiri Perdana Menteri Niedersachsen, Stephen Peil, dan Wali Kota Hannover, Stefan Schostock. Polisi terpaksa membuat pagar pembatas sepanjang kawasan Steintor, Reizgas, sampai Schlagstöcken agar demo massa anti dan pro-Pegida yang berbarengan tidak bentrok.
Peil mengatakan Jerman menentang rasisme dan terorisme, tapi tak menentang kelompok agama. Toleransi, menurut dia, dilindungi undang-undang. "Jerman adalah negara toleran terhadap agama apa pun. Siapa pun boleh beragama apa pun atau tidak beragama sekalipun. Kami punya cukup tempat untuk menampung para pengungsi," ucap Peil kepada Tempo di Hannover.
Atmi Pertiwi (DW, Reuters, The Guardian, Al Jazeera), Tutty Baumeister (Hannover)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo