Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dugaan kebocoran dokumen rahasia Gaza yang melibatkan seorang ajudan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengguncang politik Israel. Bocornya dokumen itu membuat marah keluarga sandera yang ditawan Hamas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus itu terungkap setelah terbitnya perintah untuk merahasiakan sesuatu. Namun putusan hakim yang mencabut sebagian perintah itu telah memberikan gambaran awal mengenai kasus yang menurut pengadilan telah membahayakan sumber keamanan. Informasi itu juga mungkin telah merugikan upaya Israel untuk membebaskan para sandera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Informasi intelijen yang dirahasiakan dan sensitif diambil dari sistem IDF (Pasukan Pertahanan Israel) dan dibawa keluar secara ilegal," kata putusan Pengadilan Magistrat Rishon Le-Zion pada hari Minggu, 3 November 2024.
Bocornnya informasi itu telah menyebabkan ancaman serius terhadap keamanan Israel dan menimbulkan risiko bagi sumber informasi, menurut pengadilan. Kebocoran tersebut juga dapat merugikan upaya pembebasan para sandera.
Netanyahu telah membantah stafnya telah melakukan kesalahan. Ia mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu bahwa dia hanya mengetahui dokumen yang bocor itu dari media.
Keempat tersangka terdiri dari satu juru bicara dari lingkaran Netanyahu dan tiga di antaranya anggota lembaga keamanan tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar. Rincian dari dokumen yang dimaksud dipublikasikan oleh surat kabar Jerman Bild pada tanggal 6 September, menurut surat kabar Israel Haaretz, salah satu media yang telah mengajukan banding ke pengadilan untuk mencabut perintah pembungkaman tersebut.
Artikel tersebut, yang diberi label eksklusif, konon menguraikan strategi negosiasi Hamas, kelompok militan Islam Palestina yang telah berperang melawan Israel di Gaza selama lebih dari setahun.
Saat itu, Amerika Serikat, Qatar dan Mesir menengahi pembicaraan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang akan mencakup kesepakatan untuk membebaskan sandera yang ditawan di Gaza. Namun perundingan tersebut gagal karena Israel dan Hamas saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut. Artikel yang dimaksud sebagian besar sesuai dengan tuduhan Netanyahu terhadap Hamas atas kebuntuan tersebut.
Artikel itu diterbitkan beberapa hari setelah enam sandera Israel ditemukan dieksekusi di terowongan Hamas di Gaza selatan. Pembunuhan para sandera itu memicu protes massal di Israel dan membuat marah keluarga sandera, yang menuduh Netanyahu menggagalkan perundingan gencatan senjata karena alasan politik.
Pada hari Sabtu, sejumlah keluarga bergabung dalam seruan jurnalis Israel untuk mencabut perintah pembungkaman tersebut. "Orang-orang ini telah hidup dalam pusaran rumor dan setengah kebenaran," kata pengacara mereka, Dana Pugach.
"Selama setahun terakhir mereka menunggu informasi intelijen atau informasi apa pun tentang negosiasi pembebasan sandera tersebut. Jika sebagian informasi itu telah dicuri dari sumber militer, maka kami rasa keluarga memiliki hak untuk mengetahui detail apa pun yang relevan," ujarnya.
Dalam sesi lain pada hari Minggu tentang penyelidikan oleh dinas keamanan dalam negeri Shin Bet, polisi dan militer, pengadilan memerintahkan satu tersangka dibebaskan, sementara yang lainnya tetap ditahan, menurut Haaretz.
Ketika ditanya tentang investigasi tersebut, Bild mengatakan bahwa mereka tidak mengomentari sumbernya. "Keaslian dokumen yang kami ketahui dikonfirmasi oleh IDF (Pasukan Pertahanan Israel) segera setelah dipublikasikan," katanya.
Perang di Gaza meletus setelah militan yang dipimpin Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan membawa 251 sandera kembali ke daerah kantong itu, menurut penghitungan Israel. Serangan balasan Israel telah menewaskan lebih dari 43.000 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar Gaza.
REUTERS
Pilihan editor: Fakta-fakta Menarik Soal Korea Utara yang Membantu Rusia Melawan Ukraina