Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Maung Zarni, seorang aktivis hak asasi manusia dan pakar genosida asal Myanmar yang baru dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2024, menyatakan terima kasih. Namun, aktivis yang menentang kekerasan di Negara Bagian Rakhine dan krisis pengungsi Rohingya itu menegaskan bahwa penghargaan Nobel bukanlah “sesuatu yang sempurna.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Zarni yang dinominasikan oleh Mairead Corrigan Maguire—pemenang Nobel Perdamaian pada 1976— mengatakan, “Komite Nobel di masa lalu telah memilih beberapa orang yang paling mengerikan, seperti mendiang Henry Kissinger. Juga orang-orang lain, yang oleh banyak aktivis di seluruh dunia dianggap sebagai penjahat perang,” katanya kepada Anadolu, Ahad 21 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mengenai konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Myanmar, yang berada di bawah rezim kudeta, dia mengatakan meskipun situasinya suram, perayaan Tahun Baru tradisional tetap dilakukan. Ia mengungkapkan harapannya bahwa di tengah gejolak ini, ia dapat menyampaikan berita positif kepada masyarakat Myanmar dan aktivis global, sehingga mendorongnya untuk mengumumkan nominasi Nobelnya kepada pers.
Selain membahas nominasi Nobel, Zarni juga mengkritik penunjukan Julie Bishop sebagai utusan khusus PBB untuk Myanmar. Ia menyatakan kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan PBB untuk menghasilkan solusi politik di negaranya.
Bishop, mantan menteri luar negeri Australia, bulan ini ditunjuk sebagai utusan khusus PBB untuk Myanmar oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mendukung dialog politik dan solusi damai terhadap krisis yang sedang berlangsung di Myanmar, yang berada di bawah kekuasaan militer sejak kudeta pada 2021.
Namun, Zarni mengatakan bahwa penunjukan Bishop tidak akan membuahkan hasil positif. Menurutnya, Dewan Keamanan PBB, yang memainkan peran penting dalam mengesahkan misi penjaga perdamaian dan menegakkan resolusi internasional, telah kehilangan otoritas moral dan efektivitasnya.
“Pada dasarnya, bukan hanya Dewan Keamanan sendiri telah kehilangan tujuan moralnya. Dewan Keamanan juga kehilangan kohesinya karena cara anti-demokrasi dalam mengatur sistem veto,” katanya, merujuk pada cara salah satu dari lima anggota tetap dewan tersebut dapat memveto tindakan apa pun, bahkan jika anggota dewan lainnya menyetujuinya.
PBB sebelumnya telah menunjuk banyak utusan untuk Myanmar tanpa kemajuan berarti, katanya, seraya mempertanyakan kualifikasi dan efektivitas mereka.
Aktivis perdamaian terkenal Irlandia Utara, Maguire, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1976, menulis surat nominasi kepada Komite Hadiah Nobel Perdamaian yang mengungkapkan keinginannya untuk mencalonkan Zarni atas "aktivismenya yang berdampak dan tak kenal lelah demi perdamaian dan keharmonisan di antara komunitas manusia selama tiga dekade. "
“Di luar negara asalnya Burma (Myanmar), ia telah memberikan nasihat, bekerja dalam solidaritas dan membantu aktivis non-kekerasan untuk perdamaian dan kebebasan dari Tibet, Timor Timur (sekarang Timor Leste), Nigeria, India, Thailand, Palestina dan diaspora Yahudi, " demikian bunyi surat itu.
“Sebagai seorang pendidik alami, dia telah menginspirasi banyak aktivis dan generasi muda di seluruh dunia dengan prinsip aktivismenya yang mewujudkan persekutuan universal semua umat manusia yang bersatu dalam damai,” tambahnya.
Selain membahas Myanmar, Zarni yang juga pakar genosida telah menegaskan bahwa tindakan Israel selama enam bulan terakhir di Gaza sebagai “genosida”.
Pria berusia 61 tahun itu telah melakukan penelitian ekstensif mengenai genosida di negara-negara seperti Bosnia dan Herzegovina, Kamboja, Jerman, dan Austria, dan ia menyamakan tindakan Israel terhadap Palestina seperti tindakan Nazi terhadap kaum Yahudi.
“Saya baru saja kembali dari Austria… Saya mengunjungi salah satu kamp konsentrasi Nazi terbesar bernama Mauthausen, sekitar 160 kilometer di luar ibu kota Wina. Dan tahukah Anda, apa yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina sebenarnya jauh lebih buruk daripada apa yang dilakukan dilakukan Nazi terhadap kaum Yahudi," katanya.
Zarni mengatakan Israel melakukan genosida dengan bantuan negara-negara besar Barat.
“Saya pikir Israel melakukan genosida dengan bantuan negara-negara Barat, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis. Jadi menurut saya ini adalah genosida yang digabungkan secara kolektif,” katanya.
Berbeda dengan Nazi yang bertindak independen, Israel bergantung pada dukungan berbagai negara Barat, banyak di antaranya adalah anggota atau pemimpin NATO, katanya.
Pilihan Editor: Tak Menyuarakan Rohingya, Suu Kyi Dikritik
ANADOLU