Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Unjuk rasa menuntut reformasi pemerintahan dan monarki terus bergulir di Thailand.
Isu pemberlakuan darurat militer dan kudeta menyebar.
Parlemen Thailand menolak usul perubahan konstitusi soal monarki.
BALON-BALON bebek berwarna kuning mengapung di lautan pengunjuk rasa di jalanan Bangkok pada Jumat, 27 November lalu. Jumlah “bebek” makin banyak jika ditambah dengan bebek mainan pada helm dan topi sebagian demonstran. Mereka menuntut Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha lengser, tapi menolak penggantiannya lewat kudeta. “Kudeta ke-14 tidak akan terjadi karena rakyat pasti keluar dan melawan,” kata pemimpin aksi, Panupong Jadnok, seperti dilaporkan Reuters.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prayuth adalah pemimpin kudeta ketika tentara merebut kekuasaan pada 2014. Kudeta itu adalah yang ke-13 sejak sistem monarki absolut di sana beralih menjadi monarki konstitusional pada 1932. Meski menuntut Prayuth turun, pengunjuk rasa tidak mau penggantinya kelak jenderal militer lagi. “Saya baru 18 tahun dan sudah mengalami dua kudeta,” tutur Tan, pelajar sekolah menengah atas yang ikut turun ke jalan. “Saya tak ingin sejarah itu terulang lagi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diperkirakan lebih dari 5.000 orang berpartisipasi dalam aksi damai itu. Informasi tentang unjuk rasa dan “latihan” menentang kudeta itu menyebar di media sosial beberapa waktu sebelum hari-H. Foto-foto anak muda yang tengah menyiapkan balon dan bebek mainan, yang menjadi simbol gerakan protes menentang pemerintah, juga membanjiri Internet. Sejumlah aktivis prodemokrasi, seperti Panusaya Sithijirawattanakul dan Parit Chiwarak, yang kerap berurusan dengan polisi gara-gara terlibat unjuk rasa, menggaungkan rencana aksi tersebut di akun media sosial masing-masing.
Salah satu penggerak unjuk rasa, United Front of Thammasat and Demonstration, ikut menyebarkan “undangan” agar orang-orang berkumpul. Organisasi yang beranggot aktivis pelajar dan mahasiswa ini kerap menggelar protes di depan Thammasat University di Bangkok dan menjadi motor gerakan prodemokrasi di Thailand. “Kudeta adalah pembubaran pemerintah. Ketika hal itu terjadi, rakyat akan menentangnya,” ucap juru bicara organisasi.
Masyarakat awam juga menentang wacana kudeta. Natalie, pekerja kantoran di Bangkok, mengatakan kudeta bakal menjadi bencana untuk Thailand. Menurut dia, perebutan kekuasaan secara paksa seharusnya tidak terulang, apalagi di tengah krisis yang sekarang membelit negeri itu. “Saya menginginkan pemilihan umum untuk mengganti perdana menteri,” ujar Natalie seperti dilaporkan AFP. “Pemerintah seharusnya mendengarkan rakyat.”
Gelombang protes menuntut reformasi pemerintahan terus melanda Thailand sejak Juli lalu. Dimotori para pelajar dan mahasiswa, unjuk rasa yang berpusat di Bangkok kian besar. Para demonstran juga menuntut reformasi monarki dan penghapusan aturan lèse-majesté—penghinaan terhadap kerajaan. Thailand adalah salah satu negara di dunia dengan aturan paling keras untuk melindungi monarki.
Mereka yang dinyatakan melanggar lèse-majesté bisa dipenjara hingga 15 tahun. Aturan ini kerap disalahgunakan untuk menekan kebebasan berpendapat. Menurut laporan organisasi pembela hak asasi manusia Thailand, iLaw, terdapat 98 dakwaan berdasarkan lèse-majesté sejak 2014 hingga 2018.
Aturan lèse-majesté kembali dipakai ketika polisi Thailand memanggil belasan tokoh demonstrasi yang dinilai menghina monarki. Parit Chiwarak, Panusaya, serta pengacara dan aktivis hak asasi manusia Arnon Numpha tersandung perkara ini. Maraknya penggunaan aturan tersebut berarti tekanan dari pemerintah dan kerajaan terhadap para demonstran makin besar.
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn dan Ratu Suthida menemui pendukungnya di Bangkok pada 25 November 2020. Reuters/Chalinee Thirasupa
Belakangan, unjuk rasa kerap berakhir ricuh. Polisi menggunakan kekerasan untuk menghentikan aksi. Inilah yang dikhawatirkan sejumlah orang: militer menggunakan alasan “kerusuhan” tersebut untuk melakukan kudeta lagi. Isu kudeta bahkan sudah beredar sejak awal bulan ini. “Orang-orang percaya, jika darurat militer berlaku, hal selanjutnya yang terjadi adalah kudeta,” kata Wakil Sekretaris Partai Maju ke Depan (MFP) Rangsiman Rome kepada Tempo pada Rabu, 25 November lalu.
Rangsiman adalah aktivis mahasiswa yang dulu bergabung dalam kelompok penentang junta militer selepas kudeta 2014. Rangsiman kemudian ikut membangun Partai Masa Depan Maju (FFP) dan gerakan mereformasi monarki agar lebih bermanfaat bagi rakyat Thailand. Ketika FFP dibubarkan pemerintah Thailand pada Februari lalu, Rangsiman bersama puluhan anggota partai itu hijrah ke MFP, yang bergabung di kubu oposisi.
Menurut Rangsiman, situasi di Thailand sudah mengkhawatirkan. Publik pun makin berani memprotes monarki secara terbuka. Hal ini tak belum pernah terjadi, bahkan dalam unjuk rasa besar yang berujung pada kudeta 2014. Pemerintah dan aparat keamanan akhirnya merespons demonstrasi dengan kekerasan. Kericuhan yang memburuk pada akhirnya bisa memancing pemberlakuan darurat militer. “Kami belajar dari pengalaman 2014. Dua hari sebelum melancarkan kudeta, tentara memberlakukan darurat militer.”
Perdana Menteri Prayuth berusaha meredam gelombang aksi massa di Bangkok. Pemerintah merilis dekret keadaan darurat mengenai keamanan Bangkok pada 15 Oktober dinihari. Menurut Prayuth, gerakan protes masyarakat telah melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum dan penanganan pandemi Covid-19, serta mengancam keamanan nasional. Lewat aturan ini, pemerintah melarang kegiatan berkumpul lebih dari lima orang di muka umum.
Dekret keadaan darurat itu dicabut sepekan kemudian. Namun kekerasan aparat terhadap demonstran terus terjadi. Puncaknya adalah kericuhan dalam unjuk rasa di depan gedung parlemen Thailand pada 17 November lalu. Sebanyak 55 demonstran dilaporkan terluka, enam di antaranya terkena peluru tajam. Insiden ini adalah yang terburuk selama protes bergema dalam lima bulan terakhir.
Panglima Angkatan Darat, Jenderal Narongphan Jittkaewthae, mengatakan militer tak bakal melancarkan kudeta untuk mengakhiri krisis. Menurut dia, masalah politik harus diselesaikan dengan cara-cara politis. Narongphan juga menampik permintaan kudeta dari pendukung kerajaan untuk menghadapi demonstran prodemokrasi. “Peluangnya di bawah nol,” tutur Narongphan seperti dilaporkan Bangkok Post.
Di tengah kecamuk protes, anggota parlemen Thailand sepakat mengadopsi sebagian usul untuk mengubah konstitusi. Ada tujuh usul yang terhimpun. Partai oposisi mengajukan lima usul, partai pemerintah satu. Adapun mosi terakhir datang dari kelompok prodemokrasi yang menuntut reformasi monarki. Usul pertama dan kedua kurang-lebih sama, yaitu membentuk dewan perubahan konstitusi. “Mereka nanti bisa membuat draf konstitusi baru,” ucap Rangsiman Rome dari MFP.
Namun parlemen tak menyepakati usul ketiga hingga ketujuh. Alasannya, usul perubahan menyerempet monarki dan kekuasaan raja di bagian pertama dan kedua konstitusi yang berlaku saat ini. Banyak anggota parlemen menolak bagian ini diamendemen. Jika usul perubahan diterima, ada peluang kekuasaan raja dikurangi atau bahkan diperluas. “Bagian pertama dan kedua konstitusi baru nanti harus sesuai dengan konstitusi yang lama,” ujar Rangsiman.
Penolakan parlemen mengubah monarki menjadi ganjalan reformasi yang dituntut pengunjuk rasa. Mereka sudah jengkel terhadap gaya hidup Raja Maha Vajiralongkorn. Menurut Nan, warga Bangkok yang meminta nama lengkapnya tak ditulis karena alasan keamanan, komunikasi raja dan rakyatnya amat buruk. “Dia menginginkan kekuasaan dan peran absolut,” kata Nan kepada Tempo.
Kehidupan Raja Maha Vajiralongkorn sudah lama digunjingkan warga Thailand. Jurnalis Andrew MacGregor Marshall, yang rutin meliput isu politik Thailand, menyebutkan Raja Vajiralongkorn menghabiskan pajak dari rakyat untuk memenuhi gaya hidup mewahnya. Dalam wawancara di program 60 Minutes, Marshall mengatakan kehidupan rumah tangga Raja Vajiralongkorn penuh skandal. Sang Raja disebut memiliki banyak perempuan simpanan.
Raja Vajiralongkorn pun lebih banyak menghabiskan waktu di Jerman ketimbang di negerinya. Sebuah petisi di Change.org mendesak Jerman mencekal Raja Vajiralongkorn. Petisi itu mendapatkan lebih dari 130 ribu tanda tangan sebelum situsnya diblok pada Oktober lalu. “Saya berharap dia lebih banyak tinggal di Bangkok. Ada lebih banyak petugas dan sumber daya untuk menjaga keamanannya,” kata Rangsiman Rome. “Biayanya pun jauh lebih murah daripada mengongkosi dia tinggal di Jerman.”
Sejak 2007, Vajiralongkorn dan keluarganya lebih banyak tinggal di Bavaria, Jerman bagian selatan. Mereka punya vila di wilayah itu. Putranya yang berusia 15 tahun pun bersekolah di sana. Media massa Jerman kerap memberitakan aktivitas Vajiralongkorn, yang disebut datang dengan visa privat tapi juga memiliki status diplomatik dari Kedutaan Besar Thailand.
Menurut Rangsiman, aktivitas politik, apalagi penggunaan kekuasaan, yang diduga dilakukan Raja Vajiralongkorn di luar negeri bisa menimbulkan persoalan baru. Pemerintah Jerman sudah merilis pernyataan yang melarang pemimpin asing melakukan aktivitas politik dalam negeri di negara itu. Raja harus kembali ke Thailand untuk menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan, terutama yang menyangkut kepentingan dalam negeri, seperti penandatanganan undang-undang. “Jika dia ternyata melakukannya di Jerman, kami khawatir ini menjadi masalah antara Thailand dan Jerman,” kata Rangsiman.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, REUTERS, STRAIT TIMES, PRACHATAI, BANGKOK POST, THE GUARDIAN, AL JAZEERA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo